Tentang Medika

Foto saya
Bandung, jawa barat, Indonesia
Mencoba memenuhi keingitahuan terhadap kegiatan Pemerintahan, dengan membahas hal-hal umum sampai yang mendetail mengenai kultur,struktur serta prosedur dalam proses penyelenggaraannya

Sabtu, 29 Oktober 2011

KINERJA APARATUR PEMERINTAH

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja aparatur Kinerja merupakan penampilan hasil kerja pegawai baik secara kuantitas maupun kualitas. Kinerja dapat berupa penampilan kerja perorangan maupun kelompok (Ilyas, 1993). Kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi kinerja sejumlah individu dalam organisasi. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi (determinan) kinerja individu, perlu dilakukan pengkajian terhadap teori kinerja. Secara umum faktor fisik dan non fisik sangat mempengaruhi. Berbagai kondisi lingkungan fisik sangat mempengaruhi kondisi karyawan dalam bekerja. Selain itu, kondisi lingkungan fisik juga akan mempengaruhi berfungsinya faktor lingkungan non fisik. Pada kesempatan ini pembahasan kita fokuskan pada lingkungan non-fisik, yaitu kondisi-kondisi yang sebenarnya sangat melekat dengan sistem manajerial. Menurut Prawirosentono (1999) kinerja seorang pegawai akan baik, jika pegawai mempunyai keahlian yang tinggi, kesediaan untuk bekerja, adanya imbalan/upah yang layak dan mempunyai harapan masa depan. Secara teoritis ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu, yaitu: variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Menurut Gibson (1987). Kelompok variabel individu terdiri dari variabel kemampuan dan ketrampilan, latar belakang pribadi dan demografis. Menurut Gibson (1987), variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu. Sedangkan variabel demografis mempunyai pengaruh yang tidak langsung. Kelompok variabel psikologis terdiri dari variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini menurut Gibson (1987) banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Kelompok variabel organisasi menurut Gibson (1987) terdiri dari variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. Menurut Kopelman (1986), variabel imbalan akan berpengaruh terhadap variabel motivasi, yang pada akhirnya secara langsung mempengaruhi kinerja individu. Penelitian Robinson dan Larsen (1990) terhadap para pegawai penyuluh kesehatan pedesaan di Columbia menunjukkan bahwa pemberian imbalan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap kinerja pegawai dibanding pada kelompok pegawai yang tidak diberi. Menurut Mitchell dalam Timpe (1999), motivasi bersifat individual, dalam arti bahwa setiap orang termotivasi oleh berbagai pengaruh hingga berbagai tingkat. Mengingat sifatnya ini, untuk peningkatan kinerja individu dalam organisasi, menuntut para manajer untuk mengambil pendekatan tidak langsung, menciptakan motivasi melalui suasana organisasi yang mendorong para pegawai untuk lebih propduktif. Suasana ini tercipta melalui pengelolaan faktor-faktor organisasi dalam bentuk pengaturan sistem imbalan, struktur, desain pekerjaan serta pemeliharaan komunikasi melalui praktek kepemimpinan yang mendorong rasa saling percaya. 2. Kinerja kelembagaan/organisasi Menurut Brown dan Coulter (1983:50) ada dua pendekatan berbeda yang umum digunakan dalam menganalisis dan mengukur kinerja organisasi publik. Pendekatan pertama adalah mengukur kinerja dengan menggunakan data dan informasi yang berasal dari dalam organisasi pemerintah yang diukur tersebut. Seringkali dihubungkan dengan model produksi seperti pada Gambar 1, pendekatan pertama ini dikenal sebagai pengukuran objektif dengan dua indikator utama yaitu efisiensi dan efektivitas (Carter dkk. 1992:35; Downs dan Larkey 1986:5; Brown dan Coulter 1983:50). Efisiensi dan efektivitas dapat dikatakan sebagai dua istilah yang paling populer digunakan dalam pengukuran kinerja organisasi pemerintah walaupun kedua istilah ini seringkali digunakan secara tidak tepat (Mulreany 1991:7). Secara umum efisiensi didefinisikan dan diukur dari perbandingan input dan output atau rasio di mana input diubah menjadi output (Carter dkk. 1992:37; Mulreany 1991:8; Boyle 1989:19; Gleason dan Barnum 1982:380). Berdasarkan definisi ini, efisiensi organisasi dapat dicapai dengan meminimalkan input dan mempertahankan output atau dengan mempertahankan input tetapi memaksimalkan output atau secara bersamaan meminimalkan input dan memaksimalkan output. Namun, banyak yang berpendapat bahwa penggunaan istilah efisiensi umumnya hanya dilihat satu sisi yaitu dalam arti meminimalkan input atau mengurangi biaya untuk menghasilkan sejumlah tertentu output (input efficiency). Istilah efisiensi jarang digunakan dalam arti memaksimalkan output atau meningkatkan pelayanan dengan menggunakan sejumlah tertentu input (output efficiency) (McGowan 1984:19; Boyle 1989:19; Carter, Klein dan Day 1992:38). Dalam kajian-kajian ilmu ekonomi, memaksimalkan output dan mempertahankan input (output efficiency) lebih dikenal sebagai produktivitas (Pass dkk. 1993:436-7). Sumber: Boyle, R., 1989. Managing Public Sector Performance: a comparative study of performance monitoring systems in the public and private sector, Institute of Public Administration, Dublin:17. Selain itu, dalam kajian-kajian menyangkut kinerja organisasi dikenal juga istilah efisiensi produksi dan efisiensi distrbusi (Mulreany 1991). Efisiensi produksi atau disebut juga efisiensi teknis, efisiensi X, efisiensi manajerial, atau efisiensi internal tercapai apabila organisasi dapat menghasilkan output dengan biaya semurah mungkin. Dengan kata lain, efisiensi produksi inilah sebenarnya yang dimaksudkan dengan efisiensi (Goldsmith 1996:26). Selanjutnya, efisiensi alokasi (allocative efficiency) tercapai apabila semua output organisasi dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebaliknya, akan terjadi inefisiensi alokasi apabila output organisasi pemerintah tidak dimanfaatkan oleh masyarakat seperti rumah-rumah guru sekolah yang dibangun tetapi tidak dimanfaatkan atau tangki-tangki air bersih yang dibangun tetapi tidak digunakan karena kering. Jika dibandingkan dengan efisiensi, definisi efektivitas lebih problematik dan membingungkan. Pada organisasi publik, tujuan organisasi yang kurang jelas dan sering saling bertentangan sehingga semakin menyulitkan untuk menyepakati definisi efektivitas yang dapat diterima secara luas. Meskipun demikian, menurut Cameron (1981a:45) sedikitnya ada empat pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan dan mengukur efektivitas organisasi. Pertama dan paling umum digunakan adalah mengukur efektivitas dengan sejauh mana sebuah organisasi mencapai tujuan atau target yang sudah ditetapkan yang disebut dengan Goal Model (Mulreany 1991:19; Boyle 1989:19-20; Downs dan Larkey 1986:7; Gleason dan Barnum 1982:380). Pendekatan ini mengasumsikan bahwa tujuan-tujuan organisasi jelas dan dapat diukur (clear and measurable objectives) serta semakin banyak tujuan dan target organisasi dapat dicapai maka semakin efektiflah organisasi tersebut. Tetapi karena tidak semua organisasi publik memiliki tujuan yang jelas dan terukur maka pencapaian tujuan dianggap kurang relevan untuk mengukur efektivitas organisasi pemerintah. Pendekatan kedua mengukur efektivitas organisasi, menurut Cameron (1981b:4), disebut System-Resource Model yaitu suatu organisasi dapat dikatakan efektif apabila organisasi tersebut mampu memperoleh semua sumber daya yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan organisasi tersebut. Semakin banyak sumber daya yang dapat dikumpulkan oleh sebuah organisasi dari lingkungannya maka semakin efektiflah organisasi tersebut. Dengan kata lain, kalau pendekatan Goal Model menekankan pada output maka pendekatan System-Resource Model mengutamakan pada input. Pendekatan ketiga untuk mengukur efektivitas organisasi disebut Internal Process Model yang menekankan pada proses dan mekanisme kerja dalam organisasi. Menurut model ini, sebuah organisasi dapat dikatakan efektif apabila proses dan mekanisme kerja di dalam organisasi tersebut berlangsung damai. Hal ini ditandai dengan adanya saling percaya di antara pegawai dan lancarnya arus informasi horizontal dan vertikal di dalam organisasi (Cameron 1981b:4). Pendekatan keempat dan terakhir dalam mengukur efektivitas organisasi adalah Stategic-Constituencies Model yang mengukur efektivitas suatu organisasi dengan sejauh mana organisasi tersebut dapat memuaskan stakeholder-nya. Stakeholder ini terdiri dari orang-orang yang menyediakan input untuk organisasi atau yang menggunakan output dari organisasi atau yang memiliki kerjasama dengan organisasi atau individu yang peranannya sangat penting bagi kelangsungan hidup organisasi (Cameron 1981b:4). 3. Kinerja kepegawaian/SDM Kepegawaian dalam era otonomi daerah merekomendasikan manajemen kepegawaian yang diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna. Pada era otonomi daerah ini ditegaskan sistem pembinaan karir tertutup dalam arti negara. Dengan demikian Pegawai Negeri Sipil dilihat sebagai satu kesatuan, yang hanya berbeda tempat pekerjaannya. Dalam sistem ini dimungkinkan perpindahan dari suatu departemen/lembaga/provinsi/ kabupaten/kota ke departemen/lembaga/provinsi/kabupaten/kota lainnya Kebijakan pengembangan sumber daya aparatur negara sangat diperlukan bukan saja untuk menghadapi berbagai perubahan strategik ditingkat nasional dan internasional, tetapi terlebih lagi untuk mengisi pelaksanaan otonomi daerah. Pada dasarnya langkah kebijakan tersebut berintikan pada pembangunan SDM aparatur negara yang professional, netral dari pengaruh kekuatan politik, berwawasan global, bermoral tinggi, serta mempunyai kemampuan berperan sebagai perekat kesatuan dan persatuan bangasa serta Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). -Hambatan dan Tantangan Sistem Kepegawaian Dalam perkembangan keadaan saat ini, diperkirakan akan timbul berbagai masalah yang menyangkut kepegawaian sebagai dampak berlakunya otonomi daerah. Dari berbagai permasalahan yang ada, akan menonjol berbagai persoalan utama yang meliput: (a) Dengan adanya desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada daerah, ada kemungkinan jumlah dan struktur PNS di daerah menjadi tidak terkendali. Apalagi bila dalam pengangkatan pegawai baru dan promosi serta mutasi tidak mengikuti prinsip “merit sistem” tetapi lebih pada “marriage sistem (sistem kekeluargaan)” yang dianut oleh pemerintah pusat selama ini. Karena sulit meninggalkan paradigma lama yang telah berakar selama 33 tahun itu, kewenangan yang besar kepada daerah tersebut dimungkinkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000 yang memungkinkan Gubernur, Bupati dan Walikota mengangkat dan memberhentikan PNS di daerahnya mulai dari pangkat I/a sampai dengan golongan IV/e, Pembina Utama. Suatu kewenangan yang sebelum terbit Peraturan Pemerintah ini, hanya dimiliki oleh Presiden dan dilakukan secara terpusat. (b) Kualitas PNS daerah akan sangat bervariasi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Akibat dari kewenangan dalam butir (a) tersebut. Apalagi kalau mobilitas PNS antar daerah terhambat sebagai akibat dari “Daerah sentrisme”. Tanpa kualitas memadai serta mobilitas yang tidak dimungkinkan ini, maka pembinaan karier PNS yang selama ini telah terjaga dan terjamin baik, kemungkinan besar akan terkorbankan. Apalagi dengan pemerintahan koalisi yang multi partai, pemimpin pemerintahan di daerah tidak akan terlepas dari “sindrom” kepartaian. (c) Dalam waktu lima tahun kedepan, manajemen kepegawaian di daerah masih perlu banyak pembenahan. Namun sebagai akibat dari butir (b) tersebut kapasitas kelembagaan daerah untuk menyelenggarakan manajemen kepegawaian ini masih menjadi pertanyaan besar. Karena manajemen kepegawaian yang baik harus dilaksanakan oleh suatu badan yang netral, tidak terimbas pengaruh politik dan tunduk pada salah satu kekuatan politik. Ditambah dengan daya serap daerah yang masih sangat terbatas, kerancuan dan kekacauan manajemen kepegawaian diperkirakan menimbulkan masalah sisi lain dari otonomi dan desentralisasi, apabila manajemen dan administrasi kepegawaian tidak dikembalikan terpusat. Paling tidak untuk lima tahun kedepan. Akar permasalahan buruknya kepegawaian negara di Indonesia pada prinsipnya terdiri dari dua hal penting: (1) persoalan internal sistem kepegawaian negara itu sendiri, (2) persoalan eksternal yang mempengaruhi fungsi dan profesiolisme kepegawaian negara. Dan situasi problematis terkait dengan persoalan internal sistem kepegawaian dapat dianalisis dengan memperhatikan subsistem yang membentuk kepegawaian negara. Subsistem kepegawaian negara terdiri dari: (1) rekrutmen, (2) penggajian dan reward, (3) pengukuran kinerja, (4) promosi jabatan, (5) pengawasan. Kegagalan pemerintah untuk melakukan reformasi terkait dengan subsistem-subsistem tersebut telah melahirkan birokrat-birokrat yang dicirikan oleh kerusakan moral (moral hazard) dan juga kesenjangan kemampuan untuk melakukan tugas dan tanggungjawabnya (lack of competencies). Persoalan rekrutmen merupakan persoalan utama bagi manajemen kepegawaian di Indonesia. Rekrutmen yang tidak tepat akan berakibat pada pemborosan anggaran dan menghambat kinerja organisasi untuk waktu yang akan datang. Sistem penggajian dan reward juga memegang peran yang penting bagi sinergitas organisasi pada umumnya dan kinerja instansi pada khususnya. Apalagi dengan adanya standar penilaian kinerja yang harus di-up to date, dalam arti standar penilaian yang sudah ada (DP3) sudah tidak relevan lagi digunakan untuk seluruh satuan kerja instansi pemerintah dalam semua lingkup kerja. Standar penilaian kerja perlu diperbaharui agar sesuai dengan tuntutan dan kemajuan dunia kerja. Promosi jabatan dengan netralitas kepegawaian sehingga berakibat rasa keadilan bagi seluruh PNS merupakan salah satu upaya yang dapat mewujudkan kinerja kepegawaian yang maksimal. Dan persoalan yang tidak kalah penting adalah persoalan pengawasan. Dalam manajemen kepegawaian, pengawasan dimaksudkan untuk menjamin berlangsungnya iklim kerja yang kondusif dan responsif terhadap segala jenis perubahan baik perubahan dari lingkungan internal maupun lingkungan eksternal organisasi. -Isu Putra Daerah Isu Putra daerah merupakan isu yang paling mengemuka dalam sistem kepegawaian di Indonesia pasca kebijakan desentralisasi diberlakukan di Indonesia. Putra daerah mengandung makna bahwa setiap daerah biasanya melakukan suatu sistem rekrutmen kepegawaiannya dengan mendasarkan pada asal seseorang calon pegawai tersebut dari daerah yang bersangkutan. Hal ini mensyaratkan adanya kepemilikan KTP daerah tertentu untuk dapat melamar suatu pekerjaan, khususnya pada instansi pemerintah. Kebijakan putra daerah ini tentu saja mempunyai nilai positif dan negarif. Nilai positifnya, ketika warga dalam suatu daerah tersebut bisa memperoleh pekerjaan dan pengangguran di suatu daerah akan berkurang. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang sangat populis ketika diterapkannya otonomi daerah, apalagi dengan adanya pemekaran wilayah yang merupakan surga bagi para pencari kerja bagi masyarakat di daerah yang bersangkutan. Nilai negatifnya adalah bahwa terkadang pola rekrutmen di suatu daerah kurang memperhatikan standar kompetensi calon pelamar sehingga tentu saja akan berakibat pada kompetensi masing-masing calon pencari kerja. Akibat lebih lanjut adalah pemborosan biaya karena harus mengeluarkan anggaran untuk meng-up grade calon pegawai tersebut agar sesuai dengan standar kompetensi di daerah lain. Implikasi lebih lanjut adalah kinerja organisasi menjadi kurang optimal. Inilah yang menjadi Pekerjaan Rumah yang berat bagi pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah agar dalam pemberdayaan putra daerah tersebut tetap memperhatikan standar kompetensi pegawai. Desentralisasi mensyaratkan pola rekrutmen berada di tangan pemerintah daerah. Namun, hal itu tentu saja tidak dapat berjalan dengan mulus karena adanya permasalahan yang ada di daerah. Kesiapan dari daerah merupakan kunci utama untuk menjalankan sistem kepegawaian yang diserahkan langsung kepada pemerintah daerah. Di sini, daerah harus bekerja ekstra keras untuk menggali potensi yang ada di daerahnya terutama potensi sumber daya manusia daerah. Pemerintah daerah harus jeli melihat peluang dan tantangan yang kemungkinan muncul di suatu daerah tertentu.
selengkapnya baca.....

MODEL REMUNERASI YANG IDEAL


1. Latar belakang Remunerasi pemerintahan adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kebijakan Reformasi Birokrasi. Dilatarbelakangi oleh kesadaran sekaligus komitmen pemerintah untuk mewujudkan clean and good governance. Namun pada tataran pelaksanaannya, Perubahan dan pembaharuan yang dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa tersebut tidak mungkin akan dapat dilaksanakan dengan baik (efektif) tanpa kesejahteraan yang layak dari pegawai yang mengawakinya. Perubahan dan pembaharuan tersebut. dilaksanakan untuk menghapus kesan Pemerintahan yang selama ini dinilai buruk. Antara lain ditandai oleh indikator: • Buruknya kualitas pelayanan publik (lambat, tidak ada kepastian aturan/hukum, berbelit belit, arogan, minta dilayani atau feodal style, dsb.) • Sarat dengan perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) • Rendahnya kualitas disiplin dan etos kerja aparatur negara. • Kuaiitas.manajemen pemerintahan yang tidak produktif, tidak efektif dan tidak efisien. • Kualitas pelayanan publik yang tidak akuntabel dan tidak transparan. Remunerasi bermakna sangat strategis terhadap suksesnya Reformasi birokrasi, mengingat dampak paling signifikan terhadap kinerja lembaga akan sanga ditentukan oleh perubahan kultur birokrasi didalam melaksanakan tugas pokoknya. Sedangkan keberhasilan merubah kultur tersebut. akan sangat ditentukan oleh tingkat kesejahteraan anggotanya. Namun tanpa iming-iming Remunerasi, sesungguhnya Reformasi birokrasi sudah dilaksanakan sejak tahun 2002 yang lalu. Yaitu dengan mencanangkan dan melaksanakan beberapa perubahan dan pembaharuan dibidang instrumental, bidang struktural dan bidang kultural pegawai. Prinsip dasar kebijakan Remunerasi adalah adil dan proporsional. Artinya kalau kebijakan masa laiu menerapkan pola sama rata (generalisir), sehingga dikenal adanya istilan PGPS (pinter goblok penghasilan sama). Maka dengan kebijakan Remunerasi, besar penghasilan (reward) yang diterima oleh seorang pejabat akan sangat ditentukan oleh bobot dan harga jabatan yang disandangnya.(dni/cnj) Secara garis besar yang mendasari munculnya kebikakan remunerasi bagi pegawai negeri adalah: • Amanat Undang-undang No. 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian bahwa system penggajian Pegawai Negeri adalah berdasarkan merit yang disebutkan dlm pasal 7 • ayat 1 : Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggungjawabnya • ayat (2) : Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya. • Struktur gaji kurang memenuhi prinsip “equity” karena gaji tidak dikaitkan dengan kompetensi dan prestasi; • Struktur gaji kurang ideal dan ratio gaji terendah dan tertinggi terlalu kecil (1:3,3); • Sistem pensiun yang kurang menjamin kesejahteraan PNS setelah memasuki masa purna bakti • Gaji PNS kurang kompetitif di bandingkan dengan gaji di sector swasta, khususnya untuk tingkat manajer dan pimpinan; • Besarnya gaji tidak memenuhi prinsip “equity” karena gaji tidak dikaitkan dengan kompetensi dan prestasi, namun didasarkan pada pangkat dan masa kerja; • Struktur gaji kurang mendorong motivasi kerja karena jarak antara gaji terendah dan gaji tertinggi terlalu pendek (ratio 1:3,3) sehingga kenaikan pangkat hanya diikuti dengan kenaikan penghasilan dalam jumlah yang tidak berarti; • Tunjangan jabatan struktural yang besar menimbulkan kompetisi yang tidak sehat. • kurang transparan karena disamping gaji PNS masih menerima sejumlah honorarium dari pos non-gaji Sesuai dengan Undang-undang NO. 17 tahn 2007, tentang Rencana pembangunan Nasional jangka panjang 2005-2025 dan Peraturan Meneg PAN, Nomor : PER/15/M.PAN/7/2008, tentang Pedoman umum Reformasi birokrasi. Kebijakan Remunerasi diperuntukan bagi seluruh Pegawai negeri di seluruh lembaga pemerintahan. Yang berdasarkan urgensinya dikelompokan berdasarkan skala prioritas ke dalam tiga kelompok : 1. Prioritas pertama adalah seluruh Instansi Rumpun Penegak Hukum, rumpun pengelola Keuangan Negara, rumpun Pemeriksa dan Pengawas Keuangan Negara serta Lembaga Penertiban Aparatur Negara. 2. Prioritas kedua adalah Kementrian/Lembaga yang terkait dg kegiatan ekonomi, sistem produksi, sumber penghasil penerimaan Negara dan unit organisasi yang melayani masyarakat secara langsung termasuk Pemda. 3. Prioritas ketiga adalah seluruh kementrian/lembaga yang tidak termasuk prioritas pertama dan kedua. Remunerasi merupakan motivator yang penting dalam mempengaruhi bagaimana dan mengapa orang bekerja pada suatu organisasi dan bukan pada organisasi lainnya. Kebijakan dan sistem remunerasi yang efektif dapat membantu organisasi untuk dapat mencapai tujuan-tujuan, di antaranya mampu menarik tenaga kerja yang berkualitas baik dan dapat mempertahankannya untuk memiliki komitmen terhadap organisasi, memotivasi tenaga kerja untuk dapat berprestasi tinggi, mendorong adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan membantu mengendalikan biaya imbalan tenaga kerja, Remunerasi mencakup semua pengeluaran yang dikeluarkan oleh organisasi untuk pegawai dan diterima atau dinikmati oleh pegawai, baik secara langsung, rutin atau tidak langusng. 2. Tujuan Dan Sasaran Perbaikan Sistem Remunerasi Pegawai Negeri Tujuan : menyiapkan dan menerapkan sistem remunerasi yang memenuhi prinsip-prinsip merit, equity, kompetitif guna meningkatkan profesionalisme dan memacu kinerja PNS. Sasaran: tersusunnya sistem remunerasi yang dapat mendorong peningkatan profesionalisme dan kinerja PNS serta dorongan untuk tidak melakukan korupsi. 3. Tiga konsep dalam sistem remunerasi Pay for position, pay for people dan pay for performance. Pay for position artinya membayar seseorang sesuai dengan posisi dan jabatannya. Biasanya dihitung dengan rumus tertentu, berupa gaji pokok dan tunjangan tertentu untuk posisi dan jabatannya. Lalu, pay for people, membayar sesuai dengan keunggulan yang dimiliki karyawan. Karyawan dengan keahlian khusus memperoleh tunjangan khusus. Dan pay for performance, membayar sesuai dengan prestasi atau kinerja karyawan – biasanya berbentuk bonus prestasi. Dalam menentukan standar penggajian untuk setiap posisi atau jabatan, sering kali tidak menggunakan indikator spesifik, misalnya job grading atau job value seperti kompetensi yang dipersyaratkan, tingkat risiko kerja dan besarnya tanggung jawab. “Kebanyakan masih menggunakan metode perkiraan, padahal bisa dihitung dengan cermat menggunakan beberapa indikator,”. Pada bonus untuk pay for performance, sering indikator kinerja tidak jelas atau masih bersifat normatif sehingga sulit diukur. “Ini menyebabkan bonus yang dibagikan pun sering dianggap tidak adil oleh karyawan karena tidak menggunakan indikator kinerja yang terukur. Pada dasarnya fungsi sistem remunerasi adalah attracting (menarik talenta dari luar organisasi), developing (mengembangkan kompetensi), motivating (mendorong kinerja) dan retaining (mempertahankan karyawan agar tidak hengkang). Konsepnya harus seimbang dan adil di internal organisasi dan setara dibanding pasar tenaga kerja (external equity). Sejauh ini masih jarang perusahaan di Indonesia yang memberikan kompensasi bagi peningkatan kompetensi seseorang (pay for person). Selain itu, banyak yang masih mencampuradukkan antara kompensasi untuk posisi (pay for position) dengan kinerja (pay for performance) seseorang. “Paradigma yang salah dimulai dengan asumsi bahwa kompetensi yang tinggi akan memberikan kinerja yang tinggi. Padahal kompetensi tidak berbanding lurus dengan kinerja,”. 4. Konsep Merit Pay dan Penilaian Kinerja Kata merit berasal dati bahasa inggris yang memiliki arti jasa, manfaat serta prestasi. Dengan demikian Merit Pay merupakan pembayaran imbalan (reward) yang dikaitkan dengan jasa atau prestasi kerja (kinerja) seseorang atau manfaat yang telah diberikan karyawan kepada organisasi. Secara sederhana konsep merit pay merupakan sistem pembayaran yang mengkaitkan imbalan (reward) dengan prestasi kerja (performacne) karyawan.
Implikasi dari konsep merit pay bahwa seseorang yang memiliki kinerja yang baik, maka akan memperoleh imbalan yang lebih tinggi begitu pula sebaliknya. Artinya, semakin tinggi kinerja yang diraih karyawan akan semakin tinggi pula kenaikan imbalannya. Perencanaan merit pay merupakan prosedur untuk membedakan gaji yang didasarkan kinerja yakni sistem kompensasi yang didasarkan gaji individual atau gaji yang diukur melebihi periode tertentu.Untuk pembayaran didasarkan perstasi atau kinerja yang merupakan bagian dari sistem pembayaran reguler maka para pekerja harus dievaluasi secara reguler kinerjanya (performance appraisal).
Penilaian kinerja karyawan merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan manajemen agar merit pay dapat diterapkan dengan baik, sebab asumsi umum dalam bisnis bahwa merit pay merupakan pembayaran imbalan kepada karywan yang memiliki kinerja tinggi serta pemberian insentif untuk kelanjutan kinerja yang baik. Untuk mengetahui kinerja karyawan tersebut tinggi atau rendah diperlukan penilaian yang baik dari pihak manajemen. Sebab jika sistem penilaian tidak baik, maka penerapan merit pay juga tidak akan efektif. Jadi salah satu kunci bekerjanya sistem merit pay akan tergantung pada seberapa baik sistem penilaian kinerja (performance appraisal) dalam organisasi tersebut (Brookes,1993). Hal ini dikemukakan oleh Wilkerson (1995) bahwa kebanyakan penilaian kinerja selama ini tidak bisa diterima karena memiliki kelemahan, yakni : 1. Pekerja staff,manajer diikat banyak sistem,proses dan orang. Tetapi fokus penilaian kinerja hanya pada individu, hal ini menghasilkan penilaian yang bersifat individual bukan bukan sebagai suatu sistem dalam suatu organisasi. 2. Penilaian kinerja menganggap sistem dalam organisasi tersebut konsisten, dan dapat diprediksi. Padahal dalam kenyataan sistem dan proses merupakan subyek yang dapat berubah karena secara sadar manajemen harus melakukan perubahan sesuai dengan kemampuannya serta tuntutan bisnis. 3. Penilaian kinerja menuntut persyaratan proses penilaian yang obyektif,konsisten dapat dipercaya serta adil,tetapi disisi lain penilaian kinerja akan dapat dilihat karyawan sebagai hal yang memdadak dan didasarkan favoritisme. Schuler dan Jackson (1999) menganjurkan agar sebelum menerapkan sistem imbalan berdasarkan kinerja perlu melakukan penilaian yang mendalam terhadap pertanyaan-pertanyaan ini.
Terdapat sepuluh pertanyaan yang harus dijawab sebelum menerapkan sistem imbalan berdasarkan kinerja, yakni : (1) Apakah pembayaran dinilai oleh karyawan. (2) Apakah sasaran yang akan dicapai oleh sistem imbalan berdasarkan kinerja. (3) Apakah nilai-nilai organisasi menguntungkan bagi sistem pembayaran kinerja. (4) Dapatkah kinerja diukur secara akurat. (5) Seberapa sering kinerja diukur dan di evaluasi. (6) Tingkat kesatuan apa (individu,kelompok, atau organisasi) yang akan digunakan untuk mendistribusikan imbalan. (7) Bagaimana bayaran akan dikaitkan dengan kinerja (misalnya: melalui peningkatan jasa,bonus,komisi atau insentif) (8) Apakah organisasi mempunyai sumber keuangan yang memadai untuk membuat agar pembayaran berdasarkan kinerja bermakna. (9) Tahap-tahap apa saja yang akan ditempuh untuk memastikan bahwa karyawan dan manajemen punya komitmen terhadap sistem itu (10) Serta tahap-tahap apa saja yang akan ditempuh untuk memantau dan mengendalikan sistem itu.
Agar penilaian kinerja dapat dilaksanakan dengan baik diperlukan metode yang memenuhi persyaratan dibawah ini, yakni : (1) Yang diukur adalah benar-benar prestasi dan bukan faktor-faktor lain, seperti yang menyangkut pribadi seseorang. (2) Menggunakan tolokukur yang jelas dan yang pasti menjamin bahwa pengukuran itu bersifat obyektif. (3) Dimengerti,dipahami dan dilaksanakan sepenuhnya oleh semua anggota organisasi yang terlibat. (4) Dilaksanakan secara konsisten, dan didukung sepenuhnya oleh pimpinan puncak organisasi (Ruky,1996)
5. Permasalahan
SISTEM REMUNERASI SAAT INI:
 Besarnya gaji kurang memenuhi kebutuhan untuk hidup layak (terendah Rp760.500 dan tertinggi Rp2.405.400);
 Gaji PNS kurang kompetitif di bandingkan dengan gaji di sektor swasta, khususnya untuk tingkat manajer dan pimpinan;
 Besarnya gaji tidak memenuhi prinsip “equity” karena gaji tidak dikaitkan dengan kompetensi dan prestasi, namun didasarkan pada pangkat dan masa kerja;
 Struktur gaji kurang mendorong motivasi kerja karena jarak antara gaji terendah dan gaji tertinggi terlalu pendek (ratio 1:3,3) sehingga kenaikan pangkat hanya diikuti dengan kenaikan penghasilan dalam jumlah yang tidak berarti;
 Tunjangan jabatan struktural yang besar menimbulkan kompetisi yang tidak sehat.
 Kurang transparan karena disamping gaji PNS masih menerima sejumlah honorarium dari pos non-gaji sehingga:
• terjadi distorsi dalam sistem penggajian;
• jumlah anggaran untuk belanja pegawai sulit diketahui secara pasti dan sulit dipertanggung jawabkan kepada publik.

6. Remunerasi Yang Ideal
Arah Kebijakan Jangka Panjang, program reformasi remunerasi Pegawai Negeri diharapkan dapat diarahkan pada sistem remunerasi yang adil dan transparan dengan:
 Merumuskan struktur gaji berdasarkan klasifikasi jabatan dan bobot jabatan (harga jabatan);
 Merumuskan jenis tunjangan yang dianggap layak untuk diberikan kepada PNS.
 Mengkaitkan sistem penggajian dengan sistem penilaian kinerja dengan tujuan untuk memacu prestasi dan motivasi kerja.
 Menata sumber-sumber pembiayaan gaji agar tercipta transparansi dalam system penggajian dan mendorong pengintegrasian anggaran rutin dan pembangunan agar tersedia dana yang cukup bagi pembayaran gaji PN secara layak. Dengan penerapan struktur gaji Pegawai Negeri ini maka tidak ada lagi honor-honor, dan penghasilan lain diluar gaji dan tunjangan yang resmi ;
 Mengupayakan agar penghasilan PNS disesuaikan dengan dengan tingkat inflasi, antara lain dengan membuat indeks untuk dijadikan dasar bagi penyesuaian gaji dan tunjangan.
 Agar beban anggaran belanja pegawai tidak terlalu besar maka perlu dirumuskan kebijakan outsourcing untuk jabatan fungsional umum, khususnya yang menyangkut masalah rekrutmen dan penggajian.
 Menyusun Peraturan Pemerintah tentang Dana Pensiun dalam menata pengelolaan dana pensiun;

7. Struktur Remunerasi
(1) Gaji
• Gaji ditetapkan dengan memperhatikan peranan masing-masing PNS dalam pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan;
• Dalam struktur remunerasi tidak digunakan istilah gaji pokok tetapi gaji untuk menghindari dampak keuangan negara terhadap perubahan uang pensiun Pegawai Negeri yang telah pensiun sebelum peraturan tentang gaji ini berlaku dan terhadap penerapan Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (pasal 16 ayat (2) tentang tunjangan profesi diberikan setara dengan 1 kali gaji pokok guru)
• Peranan setiap jabatan tersebut diukur dengan bobot jabatan yang dihasilkan melalui evaluasi jabatan;
• Evaluasi jabatan dilakukan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:
- Pengetahuan
- Kebutuhan akan kontrol dan supervisi
- Jenis dan kebutuhan akan pedoman
- Kompleksitas
- Ruang lingkup dan dampak
- Hubungan interpersonal
- Lingkungan kerja
• Penetapan besaran gaji berdasarkan klasifikasi jabatan dan peringkat jabatan
• Golongan /pangkat yang berlaku sementara waktu masih digunakan namun untuk eselonisasi kemungkinan tidak kita gunakan lagi tetapi diganti dengan peringkat jabatan manajerial
(2) Tunjangan Biaya Hidup (Kemahalan)
- Tunjangan ini diberikan untuk kebutuhan pangan, perumahan dan transport yang berbeda nilainya dari setiap daerah.
- Besarnya tunjangan dihitung dengan memperhatikan kebutuhan tingkat biaya hidup di masing-masing daerah;
- Tunjangan biaya hidup untuk daerah dibebankan pada APBD masing-masing
(3) Tunjangan Kinerja (Insentif):
- Tunjangan prestasi diberikan pada akhir tahun;
- Jumlahnya tergantung pada tingkat prestasi dan pencapaian target/output yang dicapai pegawai berdasarkan hasil penilaian kinerja tahunan;
- Jumlah maksimum adalah 3 kali gaji.
(4) Tunjangan Hari Raya
- Tunjangan diberikan setahun sekali dan besarnya adalah sama dengan gaji.
- Tunjangan diberikan kepada PNS dan CPNS yang masa kerjanya minimal 6 bulan;
- Tunjangan diberikan menjelang hari besar keagamaan.
(5) Tunjangan Kompensasi
Tunjangan kompensasi diberikan kepada:
- PNS yang ditugaskan di daerah terpencil, daerah yang bergolak;
- PNS yang bekerja di lingkungan yang tidak nyaman, berbahaya atau beresiko tinggi ;
- Besarnya tunjangan ditetapkan dengan memperhatikan tingkat ketidaknyamanan atau resiko yang dihadapi pegawai;
(6) Iuran bagi pemeliharaan kesehatan PNS dan keluarganya diberikan dalam jumlah yang minimal sama dengan yang dibayar PNS;
(7) Iuran bagi dana pensiun PNS dan THT dengan jumlah yang minimal sama dengan yang dibayar pegawai.

8. Pelaksanaan
 Kegiatan pengumpulan informasi jabatan dilakukan oleh seluruh instansi pusat dan daerah
 Pelaksanaan disetiap instansi dilakukan oleh tim yang ditunjuk pimpinan instansi selaku pembina kepegawaian
 Pelaksanaan pengumpulan informasi jabatan
 Pembiayaan dibebankan pada instansi masing-masing (softcopy disiapkan dari pusat/menpan)
 Hasil/ output yang diharapkan dari hasil pengumpulan informasi jabatan adalah semua jabatan yang ada disetiap instansi :
 Semua jabatan struktural
 Setiap jenjang jabatan fungsional tertentu
 Jabatan fungsional umum
 Meningkatkan perbandingan besaran gaji secara bertahap sehingga mencapai 1:20 antara gaji terendah dan tertinggi;
 Mengevaluasi hasil peningkatan disiplin dan kinerja pegawai negeri setelah ditingkatkan kesejahteraannya
 Menyempurnakan semua peraturan perundangan yang berkaitan dengan sistem kepegawaian ( al sistem penggajian, pembinaan karier, pensiun, penghargaan, disiplin, kinerja pegawai atau reward and punishment)


PENUTUP
- Penyempurnaan sistem penggajian merupakan bagian dari upaya penerapan manajemen kepegawaian berbasis kinerja dan pencegahan KKN;
- Penerapan sistem penggajian yang berdasarkan sistem merit seyogyanya didahului oleh:
- Penyusunan visi dan misi
- Penyempurnaan struktur organisasi
- Penataan pegawai
- Penyempurnaan sistem pensiun
- Penerapan sistem perencanaan dan penganggaran yang berbasis kinerja.
- Dalam rangka mempersiapkan penerapan sistem remunerasi baru, Pemerintah perlu membentuk Tim Remunerasi Nasional yang beranggotakan wakil-wakil dari Kementerian PAN, Dep.Keu,Depdagri,BKN, LAN, Setneg, Setkab,Polri dan TNI dan Bappenas.
- Penerapan sistem remunerasi baru dapat dilaksanakan apabila sudah ada perbaikan gaji pejabat negara
selengkapnya baca.....

Selasa, 05 Juli 2011

Peraturan Perundang-undangan mengenai Pelayanan Publik


Berikut merupakan Peraturan-Perundang-Undangan yang mengatur/ mendasari Pelayanan Publik di Indonesia:

UNDANG-UNDANG NO.25 TAHUN 2009, download

PP NO.6 TAHUN 2005, download

PERMENDAGRI NO. 4 TAHUN 2010, download

PERMENDAGRI NO.79 TAHUN 2007, download

PERMENDAGRI NO.35 TAHUN 2010, download

PERMENDAGRI NO.26 TAHUN 2006, download

PERMENDAGRI NO.24 TAHUN 2006, download

PERMENDAGRI NO.20 TAHUN 2008, download

KEPMENPAN NOMOR 26 TAHUN 2004, download selengkapnya baca.....

Senin, 04 Juli 2011

Pengawasan dan Pemeriksaan Pemerintahan



Pokok Bahasan I : Pengertian-pengertian Wasrik
Sub Pokok Bahasan I : 1. Pengertian Pengawasan
2. Pengertian Pemeriksaan
3. Wasrik Dengan Ruang Lingkupnya

Pendahuluan
Pengawasan adalah salah satu fungsi dasar manajemen yaitu pengamatan agar tugas-tugas yang telah direncanakandilaksanakan dengan tepat sesuai rencana, dan apabila terdapat penyimpangan diadakan tindakan-tindakan perbaikan (George R Terry).
Pemeriksaan sebagai-bagian dari penyelenggaraan pengawasan yang merupakan salah satu fungsi manajemen pemerintahan di Indonesia.
Pemerintahan (Government) menunjukkan kegiatan atau proses memerintah, yaitu melaksanakan control atas pihak lain (the activity or the process of governing).

Ad. 1. Pengertian Pengawasan (controlling)
* George R Terry dalam bukunya “Principles of management” menyatakan pengawasan sebagai proses untuk mendeterminir apa yang akan dilaksanakan, mengevaluir pelaksanaan dan bilamana perlu menerapkan tindakan-tindakan korektif sedemikian rupa hingga pelaksanaan sesuai dengan rencana.
* Henry Fayol dalam bukunya “General Industrial Management” menyatakan, pengawasan terdiri atas tindakan meneliti apakah segala sesuatu tercapai atau berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan berdasarkan instruksi-instruksi yang telah dikeluarkan, prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.
* Harold Koonzt dan Cyril O’Donnel dalam bukunya “Principles of Management” menulis bahwa, pengawasan adalah penilaian dan koreksi atas pelaksanaan kerja yang dilakukan oleh bawahan dengan maksud untuk mendapatkan keyakinan atau menjamin bahwa tujuan-tujuan perusahaan dan rencana-rencana yang digunakan untuk mencapainya dilaksanakan.
* S. P Siagian dalam bukunya “Filsafat Administrasi” memberikan definisi tentang pengawasan sebagai proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
* Sarwoto dalam bukunya “Dasar-dasar Organisasi dan Manajemen” menyatakan sebagai berikut: pengawasan adalah kegiatan manajer yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki.

Ad. 2. Pengertian Pemeriksaan (Auditing)
* Alvin A. Arens dan James K. Loebbecke yang diterjemahkan oleh John B Pasaribu dan Moh. Badjuri dalam bukunya “Auditing, Suatu Pendekatan Terpadu” menyatakan sbb: Auditing adalah proses pengumpulan dan penilaian bukti-bukti oleh orang yang bebas pengaruh dan berkompetensi dalam hal bahan-bahan informasi yang dapat dikumpulkan mengenai satuan ekonomi tertentu dengan tujuan menentukan dan melaporkan tingkat persesuaian antara informasi-informasi yang dapat dikumpulkan itu dengan criteria atau standar-standar yang sudah ditentukan.
* R Soemita Adikoesoema dalam bukunya “Auditing, Norma-norma dan Prosedur Pemeriksaan” menyatakan sbb: pemeriksaan (auditing) ialah proses akumulasi dan evaluasi dari bukti-bukti oleh seorang yang bebas (tidak memihak) dan kompeten tentang informasi kuantitatif dari suatu kesatuan ekonomis khusus untuk tujuan penetapan dan pelaporan tingkat hubungan antara informasi kuantitatif dari kriteria yang telah ditetapkan.
* Taylor dan Glezen dalam R Soemita Adikoesoema mengutip sbb:
a) Pemeriksaan (auditing) dalam arti luas ialah suatu fungsi yang meliputi pemeriksaan dari penyajian seseorang.
b) Pemeriksaan (auditing) dalam arti kata sempit adalah pemeriksaan keuangan, yang menguraikan pemeriksaan sistematis dari laporan-laporan keuangan, catatan-catatan atau buku-buku dan operasi-operasi yang bersangkutan, untuk menetapkan apakah sesuai dengan prinsip-prinsip akunting yang ditetapkan secara umum, kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah digariskan oleh pimpinan perusahaan dan kebutuhan-kebutuhan perusahaan yang bersangkutan.
* Sujamto dalam bukunya “beberapa pengertian di Bidang Pengawasan” menyatakan sbb: pemeriksaan adalah salah satu cara atau bentuk atau teknik pengawasan dengan jalan mengamati, mencatat/merekam, menyelidiki dan menelaah secara cermat dan sistematis, serta menilai dan menguji segala informasi yang berkaitan dengan obyek pemeriksaan dan menuangkan hasilnya dalam suatu berita acara pemeriksaan (BAP).

Ad.3. Wasrik Dengan Ruang Lingkupnya
- Pengawasan bertujuan menunjukkan atau menemukan kelemahan-kelemahan agar dapat diperbaiki dan mencegah berulangnya kelemahan-kelemahan itu.
- Pengawasan beroperasi terhadap segala hal, baik terhadap benda, manusia, perbuatan, maupun hal-hal lainnya.
- Pengawasan manajemen perusahaan untuk memaksa agar kejadian-kejadian sesuai dengan rencana.
Jadi pengawasan hubungannya erat sekali dengan perencanaan, dapat dikatakan bahwa “perencanaan dan pengawasan adalah kedua sisi dari sebuah mata uang” artinya rencana tanpa pengawasan akan menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dengan tanpa ada alat untuk mencegahnya.
Pemeriksaan adalah suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan.
Kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam pemeriksaan itu pada umumnya meliputi pengamatan, pencatatan/perekaman, penyelidikan dan penelaahan secara cermat dan sistematis serta penilaian dan pengujian segala informasi yang berkaitan dengan obyek pemeriksaan yang dapat berupa system, pekerjaan, atau kegiatan dapat pula berupa dokumen, bangunan, dan barang-barang lainnya bahkan dapat pula berupa manusia.
Hasil kegiatan dalam rangka pemeriksaan tersebut dituangkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
Pengawasan dan Pemeriksaan Pemerintahan
Pokok Bahasan II : Proses Pengawasan
Sub Pokok Bahasan II : 1. Menetapkan Standar Pengawasan;
2. Mengukur Pelaksanaan Pekerjaan;
3. Membandingkan Standar Pengawasan dengan Hasil Pelaksanaan Pekerjaan;
4. Tindakan Koreksi (Corrective Action).

Proses Pengawasan: adalah Proses yang menentukan tentang apa yang harus dikerjakan, agar apa yang diselenggarakan sejalan dengan rencana.
Artinya pengawasan itu terdiri atas berbagai aktivitas, agar segala sesuatu yang menjadi tugas dan tanggungjawab manajemen terselenggarakan.

Proses pengawasan terdiri dari beberapa tindakan (langkah pokok) tertentu yang bersifat fundamental bagi semua pengawasan manajerial, langkah-langkah pokok ini menurut George R Terry meliputi:
1) Menetapkan standar pengawasan;
2) Mengukur pelaksanaan pekerjaan;
3) Membandingkan standar pengawasan dengan hasil pelaksanaan pekerjaan;
4) Tindakan koreksi (corrective action).

Ad.1. Menetapkan Standar Pengawasan
Standar Pengawasan adalah suatu standar (tolok ukur) yang merupakan patokan bagi pengawas dalam menilai apakah obyek atau pekerjaan yang diawasi berjalan dengan semestinya atau tidak.
Standar pengawasan mengandung 3 (tiga) aspek, yaitu:
a) Rencana yang telah ditetapkan;
b) Ketentuan serta kebijaksanaan yang berlaku;
c) Prinsip-prinsip daya guna dan hasil guna dalam melaksanakan pekerjaan;
Aspek a) rencana yang telah ditetapkan tercakup:
- Kualitas dan kuantitas hasil pekerjaan yang hendak dicapai;
- Sasaran-sasaran fungsional yang dikehendaki;
- Faktor waktu penyelesaian pekerjaan.

Aspek b) ketentuan serta kebijaksanaan yang berlaku tercakup:
- Ketentuan tentang tata kerja;
- Ketentuan tentang prosedur kerja (tata cara kerja);
- Peraturan per UU-an yang berkaitan dengan pekerjaan;
- Kebijaksanaan resmi yang berlaku, dll.

Aspek c) prinsip-prinsip daya guna dan hasil guna dalam melaksanakan pekerjaan tercakup:
- Aspek rencana dan ketentuan serta kebijaksanaan telah terpenuhi:
- Pekerjaan belum dapat dikatakan berjalan sesuai semestinya apabila efisien dan efektivitasnya diabaikan, artinya kehemetan dalam penggunaan dana, tenaga, material dan waktu.

Keterangan: Ketiga aspek/unsure di atas, merupakan standar bagi pengawas dalam mengukur dan menilai obyek atau pekerjaan yang diawasi dan disebut juga sebagai standar pengendalian dan juga sebagai standar pelaksanaan.

Ad.2. Mengukur Pelaksanaan Pekerjaan
Penilaian atau pengukuran terhadap pekerjaan yang sudah/senyatanya dikerjakan dapat dilakukan melalui antara lain:
a) Laporan (lisan dan tertulis);
b) Buku catatan harian tentang itu;
c) Bagan;
d) Jadwal atau grafik produksi/hasil;
e) Insfeksi atau pengawasan langsung;
f) Pertemuan/konferensi dengan petugas-petugas yang bersangkutan;
g) Suvei yang dilakukan oleh tenaga staf atau melalui penggunaan alat teknik.

Ad.3. Membandingkan Standar Pengawasan dengan Hasil Pelaksanaan Pekerjaan
Aktifitas tersebut di atas merupakan kegiatan yang dilakukan pembandingan antara hasil pengukuran dengan standar.
Maksudnya, untuk mengetahui apakah diantaranya terdapat perbedaan dan jika ada, maka seberapa besarnya perbedaan tersebut kemudian untuk menentukan perbedaan itu perlu diperbaiki atau tidak.

Ad.4. Tindakan Koreksi (Corrective Action)
Apabila diketahui adanya perbedaan, sebab-sebabnya perbedaan, dan letak sumber perbedaan, maka langkah terakhir adalah mengusahakan dan melaksanakan tindakan perbaikannya.
Dari kegiatan tersebut di atas ada perbaikan yang mudah dilakukan, tetapi ada juga yang tidak mungkin untuk diperbaiki dalam waktu rencana yang telah ditentukan.
Untuk solusinya maka perbaikan dilaksanakan pada periode berikutnya dengan cara penyusunan rencana/ standar baru, disamping membereskan factor lain yang menyangkut penyimpangan tersebut, antara lain:
- Reorganisasi;
- Peringatan bagi pelaksana yang bersangkutan, dsb.







Pengawasan dan Pemeriksaan Pemerintahan
Pokok Bahasan III : Jenis-jenis Pengawasan
Sub Pokok Bahasan III : 1. Aspek Lembaga
2. Aspek Waktu
3. Aspek Jarak
4. Aspek Ruang

Ad.3.1. Aspek Lembaga
Aspek Lembaga terdiri atas:
a) Pengawasan atasan Langsung (pengawasan melekat/waskat);
b) Pengawasan fungsional;
c) Pengawasan politis (DPR/DPRD);
d) Pemeriksaan BPK;
e) Pengawasan dan pemeriksaan lainnya.

Ad.a. Pengawasan Atasan Langsung (Pengawasan Melekat/Waskat)
Dasar: Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa pengawasan terdiri dari:
(a) Pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan atasan langsung baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah;
(b) Pengawasan yang dilakukan secara fungsional oleh aparat pengawasan. Pengawasan yang dimaksud dalam butir (a) adalah merupakan pengawasan atasan langsung, sesuai dengan bunyi pasal 3 sebagai berikut:
(1) Pimpinan semua satuan organisasi pemerintahan, termasuk proyek pembangunan di lingkungan departemen/lembaga instansi lainnya, menciptakan pengawasan melekat dan meningkatkan mutunya didalam lingkungan tugasnya masing masing;
(2) Pengawasan melekat dimaksud dalam ayat (1) dilakukan:
a. Melalui penggarisan struktur organisasi yang jelas dengan pembagian tugas dan fungsi beserta uraiannya yang jelas pula;
b. Melalui perincian kebijaksanaan pelaksanaan yang dituangkan secara tertulis yang dapat menjadi pegangan dalam pelaksanaannya oleh bawahan yang menerima pelimpahan wewenang dari atasan;
c. Melalui rencana kerja yang menggambarkan kegiatan yang harus dilaksanakan, bentuk hubungan kerja antar kegiatan tersebut, dan hubungan antar berbagai kegiatan beserta sasaran yang harus dicapainya;
d. Melalui procedure kerja yang merupakan petunjuk pelaksanaan yang jelas dari atasan kepada bawahan;
e. Melalui pencatatan hasil kerja serta pelaporannya yang merupakan alat bagi atasan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan bagi pengambilan keputusan serta penyusunan pertanggung-jawaban, baik mengenai pelaksanaan tugas maupun mengenai pengelolaan keuangan;
f. Melalui pembinaan personil yang terus menerus agar para pelaksana menjadi unsur yang mampu melaksanakan dengan baik tugas yang menjadi tanggungjawabnya dan tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan maksud serta kepentingan tugasnya.
(3) Adanya aparat pengawasan fungsional dalam suatu organisasi pemerintahan tidak mengurangi pelaksanaan dan peningkatan pengawasan melekat yang harus dilakukan oleh atasan terhadap bawahan.

Rumus:
WASKAT = PAL + SPM

WASKAT = Pengawasan Melekat
PAL = Pengawasan Atasan Langsung
SPM = Sistem Pengendalian Majanemen
Apabila pengertian pengawasan melekat dan pengawasan atasan lansung kita kaitkan dengan pengertian pengendalian maka pengawasan atasan langsung tidak lain adalah pengendalian itu sendiri.
Rumus:


PAL = Pengawasan Atasan Langsung
DAL = Pengendalian

Ad.b. Pengawasan Fungsional (WASNAL)
Pasal 4 ayat (4) Inpres No. 15 Tahun 1983 menyatakan bahwa pengawasan fungsional terdiri dari:
(1) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP);
(2) Inspektorat Jenderal Departemen, Aparat Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen/instansi pemerintah lainnya;
(3) Inspektorat Wilayah Provinsi;
(4) Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kota Madya.

Penjelasan: Pengawasan fungsional (WASNAL) adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang diadakan khusus untuk membantu pimpinan (manajer) dalam menjalankan fungsi pengawasan di lingkungan organisasi yang menjadi tanggungjawabnya.

Ad.c. Pengawasan Politis (DPR/DPRD)
Pengawasan politis disebut juga pengawasan informal karena biasanya pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Pengawasan ini juga sering pula disebut social control.
Contoh-contoh pengawasan jenis ini misalnya pengawasan melalui surat-surat pengaduan masyarakat, melalui media masa dan melalui badan-badan perwakilan rakyat.
Social control sebagai pengawasan politis melalui jalur lembaga-lembaga perwakilan pada saat sekarang sudah terasa semakin mantap, di tingkat pusat pengawasan oleh DPR-RI atas jalannya pemerintah dan pembangunan terasa semakin intensif dan melembaga antara lain melalui forum rapat kerja komisi dengan pemerintah dan forum dengar pendapat (hearing) antara komisi-komisi DPR-RI dengan para pejabat tertentu, begitu juga yang dilaksanakan di Daerah antara Pemda dengan DPRD yang bersangkutan.

Ad.d. Pemeriksaan BPK
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) adalah merupakan perangkat pengawasan ekstern terhadap pemerintah, karena ia berada di luar susunan organisasi pemerintah (Pemerintah dalam arti yang sempit).
BPK tidak mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada kepala pemerintahan (Presiden), tetapi BPK mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) Republik Indonesia.










Ad.e. Pengawasan dan Pemeriksaan Lainnya
Dalam pengawasan dan pemeriksaan lainnya merupakan pengawasan umum yaitu suatu jenis pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap segala kegiatan pemerintah daerah untuk menjamin penyelenggaraan pemerintah daerah dengan baik.
Pengawasan umum terhadap pemerintah daerah dilakukan oleh Mendagri dan Gubernur/Bupati/Wali Kota kepada Daerah sebagai wakil pemerintah di daerah yang bersangkutan. Bagi Mendagri dan Gubernur/Bupati/Wali Kota, pengawasan atas jalannya pemerintahan Daerah (melalui pengawasan prepentif, pengawasan represif, dan pengawasan umum) adalah merupakan salah satu tugas pokoknya yang ditugaskan oleh undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Artinya bukan sekedar sebagai fungsi manajemen biasa.
Mendagri dalam menjalankan tugas dibidang pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah dalam prakteknya dibantu oleh inspektur jenderal dalam pengawasan umum dan dirjen pemerintahan umum dan dirjen otonomi daerah dalam hal pengawasan prepentif dan pengawasan represif.
Ditingkat provinsi, gubernur dibantu oleh inspektorat wilayah provinsi dalam hal pengawasan umum sedangkan pengawasan prepentif dan pengawasan represif Gubernur dibantu oleh sekretariat Daerah (c.q. Biro Hukum dalam produk peraturan perundang-undangan yang menyangkut perda).

Ad.2. Aspek Waktu
Didalam Aspek Waktu terdapat antara lain:
a) Pengawasan Prepentif;
b) Pengawasan Represif.

Ad.a. Pengawasan Prepentif
Jenis pengawasan prepentif adalah pengawasan atas jalannya pemerintah daerah yang sekarang diatur dalam undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah.
Secara umum arti pengawasan prepentif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum pelaksanaan, ini berarti pengawasan terhadap segala sesuatu yang bersifat rencana.
Pengawasan prepentif mengandung prinsip bahwa Peraturan Daerah dan keputusan Kepala Daerah mengenai pokok tertentu harus berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang, cara dari pemerintah melakukan pengawasan:
Pengawasan terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yaitu terhadap rancangan Perda yang mengatur pajak Daerah, retribusi Daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala Daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Mendagri untuk Raperda Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.
Pembinaan atas penyelenggaraan Pemda adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan atau Gubernur selaku wakil Pemerintahan di Daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi Daerah.
Pembinaan oleh Pemerintah, Menteri dan Pimpinan lembaga pemerintah non departemen melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh Mendagri untuk pembinaan dan pengawasan provinsi serta oleh Gubernur untuk pembinaan dan pengawasan Kabupaten/Kota.
Pengawasan atas penyelenggaraan Pemda adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar Pemda berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan Per UU-an yang berlaku.
Pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap Perda dan Peraturan Kepala Daerah.

Ad.b. Pengawasan Represif
Pengawasan Represif mempunyai pengertian secara umum sebagai pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan atau kegiatan dilaksanakan. Jadi pengawasan represif ini merupakan kebalikan dari pengawasan prefentif. Pemerintah melakukan cara sebagai berikut:
Pengawasan terhadap semua Perda diluar dari Raperda yang mengatur pajak Daerah, retribusi Daerah, APBD, dan RUTR, yaitu setiap Perda wajib disampaikan kepada Mendagri untuk Provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota untuk memperoleh Klarifikasi. Terhadap Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.
Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara Pemda apabila diketemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara Pemda tersebut.
Sanksi dimaksud antara lain dapat berupa penataan kembali suatu Daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan Daerah baik Perda, keputusan Kepala Daerah, dan ketentuan lain yang ditetapkan daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses sesuai dengan Per UU-an.

Ad.3. Aspek Jarak
Aspek jarak terdiri atas:
a) Pengawasan Langsung;
b) Pengawasan Tidak Langsung

Ad.a. Pengawasan Langsung
Pengawasan Langsung adalah pengawasan yang dilakukan dengan cara mendatangi dan melakukan Pemeriksaan di tempat (on the spot) terhadap obyek yang diawasi.
Jika pengawasan langsung ini dilakukan terhadap proyek pembangunan fisik, maka yang dimaksud dengan pemeriksaan di tempat atau pemeriksaan setempat itu dapat berupa pemeriksaan administrative atau pemeriksaan fisik dilapangan.
Kegiatan untuk secara langsung melihat pelaksanaan dari dekat ini, bukan saja perlu dilakukan oleh perangkat pengawasan akan tetapi lebih perlu lagi dilakukan oleh manajer atau pimpinan yang bertanggungjawab atas pekerjaan itu. Dengan demikian ia dapat melihat dan menghayati sendiri bagaimana pekerjaan itu dilaksanakan, dan bila dianggap perlu dapat diberikan petunjuk-petunjuk dan instruksi-instruksi ataupun keputusan-keputusan yang secara langsung menyangkut dan mempengaruhi jalannya pekerjaan, inilah perwujudan nyata dari fungsi pengendalian yang dilaksanakan oleh manajemen.
Kegiatan untuk melihat langsung ditempat pelaksanaan pekerjaan, baik yang dilakukan oleh pimpinan (manajer) yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pekerjaan maupun oleh petugas pengawasan itulah yang disebut inspeksi.
Inspeksi ini adalah istilah yang lebih dikaitkan dengan kegiatan manajer daripada kegiatan perangkat pengawasan.

Ad.b. Pengawasan Tidak Langsung
Pengawasan tidak langsung adalah merupakan kebalikan dari pengawasan langsung, artinya pengawasan tidak langsung itu dilakukan dengan tanpa mendatangi tempat pelaksanaan pekerjaan atau obyek yang diawasi atau tegasnya dilakukan dari jarak jauh, yaitu “dari belakang meja” caranya ialah dengan mempelajari dan menganalisa segala dokumen yang menyangkut obyek yang diawasi.
Dokumen-dokumen itu antara lain dapat berupa:
1) Laporan dari pelaksanaan pekerjaan, baik laporan berkala ataupun laporan insidentil;
2) Laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang diperoleh dari perangkat pengawasan lain;
3) Surat-surat pengaduan;
4) Berita atau artikel di media massa;
5) Dokumen-dokumen lainnya.

Disamping melalui dokumen-dokumen tertulis tersebut, pengawasan tidak langsung dapat pula mempergunakan bahan laporan lisan dan keterangan-keterangan lisan lainnya.
Sesuai dengan sifatnya yang demikian itu kiranya dapat dimengerti bahwa pengawasan tidak langsung itu merupakan cara pengawasan yang banyak mengandung kelemahan, karena segala bahan-bahan informasi tersebut belum tentu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya di lapangan. Oleh karena itu pengawasan tidak langsung sebaiknya hanya dapat dipakai sebagai pembantu atau pelengkap terhadap pengawasan langsung, terutama bila akan menyangkut pengambilan keputusan yang penting-penting.

Ad.4. Aspek Ruang
Janis-jenis pengawasan dalam aspek ruang terdiri atas:
a) Pengawasan intern;
b) Pengawasan ekstern;

Ad.a. Pengawasan Intern (Internal Control)
Pengawasan intern adalah merupakan kebalikan dari pengawasan ekstern, karena pengertian intern yang berarti “dari dalam” itu memang merupakan kebalikan dari ekstern yang berarti “dari luar” apabila ditinjau dari pemerintah BPKP merupakan pengawasan intern pemerintah, dan inspektorat jenderal ditinjau dari departemen merupakan pengawasan intern departemen yang bersangkutan.
Contoh lain inspektorat wilayah provinsi ditinjau dari provinsi yang bersangkutan, dan inspektorat wilayah Kabupaten/Kota ditinjau dari Kabupaten/Kota yang ber-sangkutan.
Penjelasan: Istilah pengawasan intern disini adalah sama sekali berbeda dengan Sistem Pengendalian Manajemen (SPM) yang oleh para ahli juga disebut Sistem Pengawasan Intern (SPI) atau Sistem Pengendalian Intern.

Ad.b. Pengawasan Ekstern (External Control)
Secara harafiah, pengawasan ekstern berarti “pengawasan dari luar” dalam pengawasan ekstern subyek pengawasan yaitu si pengawas berada di luar susunan organisasi obyek yang diawasi.
Contoh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah merupakan perangkat pengawasan ekstern terhadap pemerintah, karena ia berada diluar susunan organisasi pemerintah (pemerintah dalam arti yang sempit). Ia tidak mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada kepala pemerintahan (Presiden) tetapi BPK mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Contoh lain adalah pengawasan yang dilakukan oleh BPKP terhadap departemen dan lembaga pemerintah lainnya meskipun apabila dipandang dari segi pemerintah, BPKP itu merupakan perangkat pengawasan intern.
Contoh lain lagi adalah inspektorat jenderal, ditinjau dari komponen-komponen di departemen yang bersangkutan inspektorat jenderal adalah merupakan perangkat pengawasan ekstern, meskipun irjen merupakan perangkat pengawasan intern departemen yang bersangkutan.








Pengawasan dan Pemeriksaan Pemerintahan
Pokok Bahasan V : Pengawasan Pemerintahan Indonesia
Sub Pokok Bahasan V : 1. Pengawasan Dalam Organisasi Pemerintahan
2. Pengawasan Melekat (Waskat)
3. Pengawasan Fungsional (Wasnal)

Ad.1. Pengawasan Dalam Organisasi Pemerintahan
a. Landasan Kebijakan Pengawasan;
b. Jenis-jenis Pengawasan;
c. Upaya Peningkatan Pengawasan.

Pengertian pengawasan dan pemeriksaan pemerintahan adalah penilaian dan analisis dari pelaksanaan berbagai urusan pemerintahan di daerah dapat berjalan sesuai dengan standar dan kebijakan pemerintah yang berdasarkan peraturan Per UU-an dengan memberikan rekomendasi perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan terhadap pejabat yang berwenang.

a. Landasan Kebijakan Pengawasan
Dasar hukum pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah:
1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 217 - 223);
2) PP No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman, Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
3) Permendagri No. 23 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan daerah;
4) Permendagri No. 64 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota;

b. Jenis-jenis Pengawasan;
1) Aspek Lembaga terdiri dari:
(a) Pengawasan atasan langsung (Waskat);
(b) Pengawasan fungsional (Wasnal);
(c) Pengawasan Politis (DPR/DPRD);
(d) Pemeriksaan BPK;
(e) Pengawasan dan pemeriksaan lainnya, yaitu Pelaksanaan urusan pemerintahan umum dan pelaksaan urusan pemerintahan daerah.
2) Aspek Waktu
(a) Pengawasan Prepentif;
(b) Pengawasan Represif.
3) Aspek Jarak
(a) Pengawasan Langsung;
(b) Pengawasan Tidak Langsung.
4) Aspek Ruang
(a) Pengawasan Intern;
(b) Pengawasan Ekstern.

c. Upaya Peningkatan Pengawasan.
Dalam upaya peningkatan pengawasan dalam organisasi pemerintahan, penajaman prioritas sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 23 Tahun 2007 adalah penguatan pengawasan bidang Pemerintahan Dalam Negeri. Dalam PP No. 79 Tahun 2005 ditekankan antara lain: Pengawasan Administrasi Umum Pemerintahan meliputi:
- Kebijakan Daerah;
- Kelembagaan (tentang organisasi perangkat daerah), yaitu penataan organisasi;
- Pegawai daerah;
- Keuangan daerah;
- Barang Daerah.
Pengawasan umum pemerintahan itu meliputi baik urusan wajib ataupun urusan pilihan.
Pengawasan lainnya meliputi:
- Dana dekonsentrasi;
- Tugas pembantuan;
- Kebijakan pinjaman hibah luar negeri;
Kebijakan operasional pengawasan
1) Sasaran pemeriksaan rencana pengawasan tahunan (RPT), yaitu dituangkan dalam PKPT (Program Kerja Pengawasan Tahunan);
2) Pemeriksaan khusus akhir jabatan KDH;
3) Monitoring dan evaluasi terhadap administrasi umum pemerintahan dan urusan pemerintahan;
4) Pemeriksaan terhadap pengelolaan dana otonomi khusus;
5) Pemeriksaan pengaduan instansi atau masyarakat;
6) Pemeriksaan atas permintaan pejabat berwenang (laporan dana PILKADA);
7) Pemeriksaan kinerja penerimaan Negara (pajak ataupun bukan pajak);
8) Pemeriksaan tugas pokok dan fungsi oleh IRJEN terhadap ITWIL;
9) Pemeriksaan tindak lanjut atas pemeriksaan uang Negara oleh BPK.

Ad.2. Pengawasan Melekat (Waskat)
A. Tujuan Pengawasan Melekat
Tujuannya adalah sebagai segala usaha atau kegiatan untuk mengendalikan atau menjamin dan mengarahkan agar sesuatu tugas atau pekerjaan berjalan dengan semestinya.

B. Prinsip-prinsip Waskat
1) Melalui penggarisan struktur organisasi yang jelas dengan pembagian tugas dan fungsi beserta uraiannya yang jelas pula;
2) Melalui perincian kebijaksanaan pelaksanaan yang dituangkan secara tertulis yang dapat menjadi pegangan dalam pelaksanaannya oleh bawahan yang menerima pelimpahan wewenang dari atasan;
3) Melalui rencana kerja yang menggambarkan kegiatan yang harus dilaksanakan, bentuk hubungan kerja antar kegiatan tersebut, dan hubungan antara berbagai kegiatan beserta sasaran yang harus dicapainya;
4) Melalui prosedur kerja yang merupakan petunjuk pelaksanaan yang jelas dari atasan kepada bawahan;
5) Melalui pencatatan hasil kerja serta pelaporannya yang merupakan alat bagi atasan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan bagi pengambilan keputusan serta penyusunan pertanggungjawaban, baik mengenai pelaksanaan tugas maupun mengenai pengelolaan keuangan;
6) Melalui pembinaan personil yang terus menerus agar para pelaksana menjadi unsur yang mampu melaksanakan dengan baik tugas yang menjadi tanggungjawabnya dan tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan maksud serta kepentingan tugasnya.

C. Program Peningkatan Waskat
1) Sarana pengawasan melekat;
2) Manusia dan budaya;
3) Tugas pokok dan fungsi unit kerja;
4) Langkah-langkah pelaksanaan pengawasan melekat;
5) Pelaporan pengawasan melekat.

Ad.3. Pengawasan Fungsional (Wasnal)
A. Pengertian Pengawasan Fungsional (Wasnal)
Pengawasan Fungsional (Wasnal) adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang diadakan khusus untuk membantu pimpinan (Manajer) dalam menjalankan fungsi pengawasan di lingkungan organisasi yang menjadi tanggungjawabnya.

B. Aparat Pengawasan Fungsional
Aparat pengawasan fungsional terdiri atas:
- BPKP;
- Inspektorat Jenderal Departemen;
- Aparat Pengawas Lembaga Pemerintah Non Departemen Instansi Pemerintah Lainnya;
- Inspektorat Wilayah Provinsi;
- Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kota.
C. Kegiatan Pelaksanaan Pengawasan Fungsional
Kegiatan pengawasan dilaksanakan berdasarkan rencana program kerja pengawasan tahunan yang disusun sebagai berikut:
(1) Aparat pengawasan fungsional menyusun rencana kerjanya dalam bentuk usulan program kerja pengawasan tahunan;
(2) Usulan program kerja tahunan pengawasan tahunan tersebut disusun oleh BPKP menjadi program kerja pengawasan tahunan setelah berkonsultasi dengan aparat pengawasan fungsional yang bersangkutan.

D. Koordinasi Pelaksanaan Pengawasan Fungsional
Untuk menjamin keserasian dan keterpaduan pelaksanaan pengawasan Kepala BPKP memberikan pertimbangan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Negara perencanaan pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS mengenai anggaran pelaksanaan program kerja pengawasan tahunan.
Dalam merumuskan kebijaksanaan pengawasan dan secara terus menerus memimpin dan mengikuti pelaksanaannya Wakil Presiden dibantu oleh Menko Perekonomian dan Kepala BPKP.

E. Pelaporan Pengawasan Fungsional (Wasnal)
1) Hasil pelaksanaan pengawasan, baik berdasarkan program kerja, pengawasan tahunan maupun berdasarkan pengawasan khusus, dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional masing-masing kepada Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen/Pimpinan Instansin/Ybs. dengan tembusan kepada Kepala BPKP disertai saran tindak lanjut mengenai penyelesaian masalah yang terungkap daripadanya;
2) Menko Perekonomian dan Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen/Pimpinan instansi Pemerintah/Ybs. dengan tembusan kepada Kepala BPKP, khusus untuk masalah yang mempunyai dampak luas baik terhadap jalannya pemerintahan maupun terhadap kehidupan masyarakat;

3) Menko Perekonomian menyampaikan laporan hasil kerja pelaksanaan pengawasan kepada Presiden dengan tembusan kepada Wakil Presiden.

F. Tindak Lanjut Pengawasan Fungsional (Wasnal)
1) Tindakan administratif sesuai dengan peraturan per UU-an di bidang kepegawaian termasuk penerapan hukuman disiplin sesuai dengan peraturan disiplin PNS;
2) Tindakan tuntutan/gugatan perdata, antara lain:
- tuntutan ganti rugi/penyetoran kembali;
- tuntutan perbendaharaan;
- tuntutan perdata berupa pengenaan denda, ganti rugi, dll.;
3) Tindakan pengaduan tindak pidana dengan menyerahkan perkaranya kepada Kepolisian Negara RI dalam hal terdapat indikasi tindak pidana umum, atau kepada Kejaksaan Agung RI dalam hal terdapat indikasi tindak pidana khusus, seperti korupsi, dll.;
4) Tindakan penyempurnaan aparatur pemerintah di bidang kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan.













Pengawasan dan Pemeriksaan Pemerintahan

Pokok Bahasan VI : Sistem Informasi Pegawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Sub Pokok Bahasan VI : 1. Sistem Informasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
a. Aplikasi Pemeriksaan Reguler
b. Aplikasi Pemeriksaan Akhir Masa Jabatan Kpala Daerah
c. Aplikasi Pengaduan Masyarakat
2. Tindak Lanjut LHP BPK oleh DPRD
3. Tindak Lanjut LHP BPK oleh PEMDA


Ad.1. Sistem Informasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar Pemerintahan Daerah berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan per UU-an.

Sistem informasi Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Secara Nasional (SIWASDANAS), adalah sebuah sistem aplikasi untuk menangani mekanisme pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah tingkat nasional yang berbasis web yang dapat diakses secara online melalui internet.

Sistem aplikasi berbasis web adalah suatu aplikasi yang dapat diakses melalui web browser.

Web browser adalah suatu perangkat lunak yang berfungsi sebagai sarana untuk mengakses aplikasi berbasis web.

Online adalah suatu mekanisme pemasukan data secara langsung dari komputer yang terhubung dalam jaringan internet ke database aplikasi Siwasdanas.
Intranet adalah suatu jaringan privat dengan sistem dan hirarki yang sama dengan internet dan hanya digunakan secara internal. Dalam hal ini di lingkungan Inspektorat Jenderal Depdagri RI, Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota.

Database aplikasi Siwasdanas adalah pangkalan data atau basis data untuk keperluan penyediaan informasi pemeriksaan dalam rangka pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Ruang lingkup Siwasdana meliputi:
a. Aplikasi pemeriksaan regular;
b. Aplikasi Pemeriksaan Akhir Masa Jabatan KDH;
c. Aplikasi Pengaduan Masyarakat.

Ad.a. Aplikasi pemeriksaan regular
Digunakan Inspektorat Jenderal, Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota, meliputi:
1) Perencanaan dan persiapan mulai dari pembutan peta pengawasan tahunan, pembuatan program kerja pengawasan tahunan sampai dengan pembuatan program kerja pemeriksaan;
2) Pelaksanaan pemeriksaan, mulai dari pembuatan kertas kerja pemeriksaan, pembuatan laporan hasil pemeriksaan;
3) Evaluasi dan monitoring mulai dari tindak lanjut dan pemutahiran hasil pemeriksaan.

Ad.b. Aplikasi Pemeriksaan Akhir Masa Jabatan Kepala Daerah
Digunakan Inspektorat Jenderal dan Inspektorat Provinsi, meliputi:
1) Perencanaan dan persiapan yang meliputi pembuatan peta pamjab, program kerja tahunan dan program kerja pemeriksaan;
2) Pembentukan tim pemeriksa;
3) Pembetukan laporan hasil pemeriksaan.
Ad.c. Aplikasi Pengaduan Masyarakat.
Digunakan Inspektorat Jenderal, Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota, meliputi:
1) Penerimaan pengaduan masyarakat melalui online portal aplikasi pengaduan masyarakat, surat dan/atau telepon;
2) Perencanaan dan persiapan yang meliputi pembuatan program kerja tahunan dan program kerja pemeriksaan;
3) Pembuatan laporan hasil pemeriksaan.


Ad.2. Tindak Lanjut LHP BPK oleh DPRD
a. DPRD menerima laporan hasil pemeriksaan BPK;
b. Laporan Hasil Pemeriksaan BPK meliputi:
1) Laporan hasil pemeriksaan keuangan;
2) Laporan hasil pemeriksaan kinerja; dan
3) Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
c. DPRD meminta pemerintah daerah untuk menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan BPK;
d. DPRD dapat meminta laporan tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK dari pemerintah daerah.

Laporan Hasil Pemeriksaan BPK, dapat berupa:
a. Opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion);
b. Opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion);
c. Opini tidak wajar (adversed opinion); atau
d. Pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion).

DPRD melakukan pengawasan terhadap pemerintah daerah atas pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK, dapat berupa:

a. Pengawasan terhadap tindak lanjut hasil pemeriksaan keuangan;
b. Pengawasan terhadap tindak lanjut hasil pemeriksaan kinerja
c. Pengawasan terhadap tindak lanjut hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

DPRD melakukan monitoring kepada pemerintah daerah atas pelaksanaan tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan, terdiri atas:
1) DPRD dapat memberikan dorongan kepada Pemda untuk mempertahankan kualitas opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion / dalam penyelenggaraan pemerintahan);
2) DPRD dapat melakukan Pengawasan dan monitoring kepada Pemda untuk mendorong temuan ataupun rekomendasi dikoreksi opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion);
3) DPRD dapat mengusulkan kepada Kepala Daerah untuk menegur memberi saran dan/atau arahan yang sifatnya memotivasi SKPD sesuai dengan tingkat, berat ringan dan sifat temuan opini tidak wajar (adversed opinion);
4) DPRD dapat meminta keterangan dari BPK dan keterangan dan/atau klarifikasi dari Pemda terkait pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion).


Ad.3. Tindak Lanjut LHP BPK oleh PEMDA
Pemerintah Daerah menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan BPK yang tidak dimintakan penjelasan dan/atau tidak dimintakan pemeriksaan lanjutan oleh DPRD kepada BPK dengan membentuk Tim Tindak Lanjut.

Pemerintah Daerah melaporkan hasil pelaksanaan tindak lanjut Laporan Hasil Pemeriksaan BPK kepada:
a. BPK; dan
b. DPRD.


DPRD dan pemerintah Daerah mendorong BPK untuk memutahirkan data status temuan dan tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK yang tercantum dalam situs BPK sesuai tindak lanjut yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Tim tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan BPK yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah, terdiri atas:
a. Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota selaku penanggungjawab;
b. Inspektur Provinsi/Kabupaten/Kota selaku sekretaris;
c. Para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait selaku anggota.
selengkapnya baca.....

Pengertian-Pegertian STRATEGI DAN PELAYANAN PUBLIK

Porter (1985) mengatakan bahwa strategi adalah alat yang sangat penting untuk mencapai keunggulan bersaing.

Adrew (1980) mengatakan bahwa strategi adakah kekuatan motivasi untuk stakeholders, seperti stakeholders, debtholders, manajer, karyawan, konsumen, kontinuitas, pemerintah, dan sebagainya, yang baik secara langsung maupu tidak langsung menerima keuntungan atau biaya yang ditimbulkan oleh semua tindakan yang dilakukan perusahaan.

Argyris et. al. (1985) mengatakan bahwa strategi merupakan respon secara terus-menerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman eskternal serta kekuatan dan kelemahan internal yang dapat mempengaruhi organisasi.

Hamel & Prahald (1995) mengatakan strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus dan dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapka oleh para pelanggan di masa depan.

Menurut Alfred Chandler:
The determination of the basic long-term goals and objectives of an enterprise, and the adoption of courses of action and the allocation of resources necessary for carrying out these goals.
Menurut James Brian Quin:
The pattern or plan that integrates an organization’s major goals, policies, and action squences into a cohesive whole.
Menurut William F. Glueck:
A unified, comprehensive, and integrated plan designed to ensure that the basic objectives of the enterprises are achieved.
Menurut Henry Mintzberg:
A pattern in a stream of decisions or actions.
Menurut Wikipedia:
A long term plan of action designed to achieve a particular goal, most often “winning”.
Kutipan dari buku Pengantar Manajemen Strategik Kontemporer, Strategik di Tengah Operasional / J. Hutabarat dan M. Huseini, dikatakan bahwa: Dalam bidang manajemen, definisi mengenai strategi cukup beragam dan bervariasi dari beberapa ahli dan pengarangnya. Gerry Johnson dan Kevan Scholes (dalam buku “Exploring Corporate Strategy”) misalnya mendefinisikan strategi sebagai arah dan cakupan jangka panjang organisasi untuk mendapatkan keunggulan melalui konfigurasi sumber daya alam dan lingkungan yang berubah untuk mencapai kebutuhan pasar dan memenuhi harapan pihak yang berkepentingan (stakeholder).
Henry Mintzberg mendefinisikan strategi sebagai 5P, yaitu: strategi sebagai PERSPECTIF, strategi sebagai POSISI, strategi sebagai PERENCANAAN, strategi sebagai POLA kegiatan, dan strategi sebagai “PENIPUAN” (Ploy) yaitu muslihat rahasia.Sebagai Perspektif, di mana strategi dalam membentuk misi, misi menggambarkan perspektif kepada semua aktivitas. Sebagai Posisi, di mana dicari pilihan untuk bersaing. Sebagai Perencanaan, dalam hal strategi menentukan tujuan performansi perusahaan. Sebagai Pola kegiatan, di mana dalam strategi dibentuk suatu pola, yaitu umpan balik dan penyesuaian. Dari berbagai pengertian dan definisi mengenai strategi, secara umum dapat didefinisikan bahwa strategi itu adalah rencana tentang serangkaian manuver, yang mencakup seluruh elemen yang kasat mata maupun yang tak-kasat mata, untuk menjamin keberhasilan mencapai tujuan.
• Strategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Didalam strategi yang baik terdapat koordinasi tim kerja, memiliki tema, mengidentifikasi faktor pendukung yang sesuai dengan prinsip-prinsip pelaksanaan gagasan secara rasional, efisien dalam pendanaan, dan memiliki taktik untuk mencapai tujuan secara efektif. Strategi dibedakan dengan taktik yang memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dan waktu yang lebih singkat, walaupun pada umumnya orang sering kali mencampuradukkan ke dua kata tersebut.
Contoh berikut menggambarkan perbedaannya, "Strategi untuk memenangkan keseluruhan kejuaraan dengan taktik untuk memenangkan satu pertandingan".
Pada awalnya kata ini dipergunakan untuk kepentingan militer saja tetapi kemudian berkembang ke berbagai bidang yang berbeda seperti strategi bisnis, olahraga (misalnya sepak bola dan tenis), catur, ekonomi, pemasaran, perdagangan, manajemen strategi, dll.
• Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyaraakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998). Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik tadi adalah merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara kesejahteraan (welfare state). Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelayanan publik dengan demikian dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sementara itu, kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat (Thoha dalam Widodo,2001). Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani
• Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
selengkapnya baca.....

NETRALITAS PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PEMILU


Pasca Gerakan Reformasi 1998, Indonesia mengalami proses transisi yang melibatkan pelembagaan politik sebagai upaya konsolidasi demokrasi dan desentralisasi pemerintahan. Proses transisi ini telah menghasilkan beberapa hal positif bagi bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya meningkatkan partisipasi politik rakyat, tapi juga menimbulkan kekhawatiran yang cukup besar akan dampak negatifnya.
Lebih dari itu, gerakan netralitas birokrasi juga memunculkan pluralisme birokrasi (bureaucratic pluralism), dimana format kebijakan lebih merupakan hasil dari kompetisi aktor-aktor ketimbang monopoli negara. Salah satu indikasi penting yaitu peluang untuk mempengaruhi kebijakan publik lebih dimungkinkan dan juga relatif meningkatnya tanggung jawab birokrasi terhadap masalah-masalah sosial dan tekanan sosial.

Salah satu faktor kekuatan yang menjadi harapan bala bantuan pelaksanaan pemilu adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang berjumlah 3,9 juta lebih. Tingkat pendidikan dan pengetahuan mereka memadai serta jaringan yang tersebar di seluruh pelosok desa, maka patut diperhitungkan untuk memanfaatkan sumber daya PNS dalam menyukseskan pemilu. Meski demikian, ada beberapa hal yang patut dicermati guna mengurangi ekses negatif keterlibatan PNS dalam pemilu. Netralitas PNS Sejarah birokrasi di Indonesia menunjukkan, PNS selalu merupakan obyek politik dari kekuatan partai politik (parpol) dan aktor politik. Jumlahnya yang signifikan dan fungsinya yang strategis dalam menggerakkan anggaran keuangan negara selalu menjadi incaran tiap parpol untuk menguasai dan memanfaatkan PNS dalam aktivitas politik. Saat-saat menjelang pemilu, aktivitas politik partisan PNS menjadi kian intensif karena partisipasinya untuk mendukung kampanye secara terbuka maupun terselubung amat efektif. Bagi parpol, keterlibatan PNS akan amat membantu dan mempermudah pelaksanaan kampanye yang sering terjadi melalui pemanfaatan fasilitas negara (mobil, gedung, dan kewenangan) secara diskriminatif, yang menguntungkan salah satu parpol. Selain itu, di pelosok pedesaan yang mayoritas penduduknya tidak terdidik, figur dan pilihan PNS akan menjadi referensi bagi pilihan masyarakat.
Pertukaran ekonomi politik antara partai/aktor politik (caleg) dan PNS dalam pemilu tidak saja menguntungkan sisi politik, tetapi juga PNS sendiri. Keberpihakan PNS dalam pemilu kepada parpol/caleg dibutuhkan untuk promosi dan karier jabatan. Dalam sistem birokrasi di Indonesia kini, di mana promosi dan karier jabatan tidak ditentukan oleh kompetensi dan kinerja, tetapi oleh afiliasi politik, netralitas PNS sulit ditegakkan. Hal inilah yang dapat menyumbangkan terjadinya blunder dalam pelaksanaan pemilu.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian Negara mengatur secara tegas netralitas pegawai dalam pemerintahan. Pasal 3 UU No 43/1999 mengatur, (1) Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan; (2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Ketentuan ini jelas melarang keberpihakan PNS dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan. Dalam praktik, tercatat ada tiga bentuk pelanggaran yang dilakukan PNS dan pejabat pemerintahan dalam pemilu. Pertama, penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki, antara lain menerbitkan aturan yang mewajibkan kampanye kepada bawahan, pengumpulan dana bagi parpol tertentu, pemberian izin usaha disertai tuntutan dukungan kepada parpol/caleg tertentu, penggunaan bantuan pemerintah untuk kampanye, mengubah biaya perjalanan dinas, dan memaksa bawahan membiayai kampanye parpol/caleg dari anggaran negara. Kedua, penggunaan fasilitas negara secara langsung, misalnya penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas, serta kantor pemerintah dan kelengkapannya. Ketiga, pemberian dukungan lain, seperti bantuan sumbangan, kampanye terselubung, memasang atribut parpol/caleg di kantor, memakai atribut parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye dengan menggunakan pakaian dinas dan kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan perlakuan tidak adil/diskriminatif atas penggunaan fasilitas negara kepada parpol/caleg. Larangan penggunaan fasilitas pemerintah ini juga diatur dalam Pasal 84 Ayat 1 Huruf h Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 41 Ayat 1 Huruf h Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden.

Sebagai salah satu faktor kekuatan negara, peran dan fungsi PNS amat potensial dalam pemilu. Selain harus netral dari kepentingan parpol/caleg, partisipasi PNS dapat diwujudkan dalam beberapa hal. Pertama, PNS harus aktif menjadi pemilih dan memberikan sosialisasi kepada keluarga serta lingkungannya tentang pemilu. Keaktifan PNS dibutuhkan untuk memberi keyakinan tentang arti pentingnya pemilu kepada masyarakat sehingga dapat mengurangi jumlah golput. Apalagi kedudukan PNS sebagai pamong praja akan menjadi panutan masyarakat sekitarnya. Kedua, PNS harus menjadi juru kampanye pemerintah yang menyampaikan kepada masyarakat tentang kebijakan KPU dan aneka kebijakan negara dalam meningkatkan pengetahuan dan membangun partisipasi aktif masyarakat dalam pemilu. Ketiga, partisipasi aktif PNS diwujudkan dengan tidak menjadi partisan parpol/caleg dalam penyelenggaraan pemilu dan penyelenggaraan pemerintahan serta bertindak profesional dalam menjalankan tugas. Keempat, partisipasi aktif PNS juga diperlukan guna mendukung kesekretariatan KPU dan KPUD untuk melaksanakan berbagai tahapan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Sebagai supporting staff KPU dan KPUD, profesionalisme PNS akan amat menentukan keberhasilan tiap tahapan, mulai dari sosialisasi, pendistribusian surat suara dan kotak suara, sampai penetapan pemenang. Demikian pula keterlibatan aktif PNS menjadi PPK, PPS, dan KPPS dimungkinkan dalam Pasal 41 UU No 10/2008, mengingat keterbatasan penduduk yang memiliki kualifikasi untuk dapat menjadi anggota panitia pemilu. Karena itu, netralitas dan profesionalisme PNS, terutama saat menjadi anggota panitia pemilu, akan amat menentukan keberhasilan pemilu.
Keberhasilan PNS dalam menyukseskan pemilu akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap netralitas PNS. Karena itu, pemilu adalah momentum bagi PNS untuk memperbaiki citra profesionalisme dan netralitas PNS serta mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Dalam jangka panjang, kepercayaan masyarakat akan meningkatkan pula terhadap pemerintah dan negara.


selengkapnya baca.....

Kamis, 16 Juni 2011

Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil

Penilaian kinerja Pegawai Negeri Sipil, adalah penilaian secara periodik pelaksanaan pekerjaan seorang Pegawai Negeri Sipil. Tujuan penilaian kinerja adalah untuk mengetahui keberhasilan atau ketidak berhasilan seorang Pegawai Negeri Sipil, dan untuk mengetahui kekurangan-kekurangan dan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dalam melaksana-kan tugasnya. Hasil penilaian kinerja digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pembinaan Pegawai Negeri Sipil, antara lain pengangkatan, kenaikan pangkat, pengangkatan dalam jabatan, pendidikan dan pelatihan, serta pemberian penghargaan. Penilaian kinerja Pegawai Negeri Sipil dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil
Unsur-unsur yang dinilai dalam melaksanakan penilaian pelaksanaan pekerjaan adalah :

1. kesetiaan;
2. prestasi kerja;
3. tanggungjawab;
4. ketaatan;
5. kejujuran;
6. kerjasama;
7. prakarsa; dan
8. kepemimpian.
Kesetiaan, Yang dimaksud dengan kesetiaan, adalah kesetiaan, ketaatan, dan pengabdian kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah. Unsur kesetiaan terdiri atas sub-sub unsur penilaian sebagai berikut:
1. Tidak pernah menyangsikan kebenaran Pancasila baik dalam ucapan, sikap, tingkah laku, dan perbuatan;
2. Menjunjung tinggi kehormatan Negara dan atau Pemerintah, serta senantiasa mengutamakan kepentingan Negara daripada kepentingan diri sendiri, seseorang, atau golongan;
3. Berusaha memperdalam pengetahuan tentang Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta selalu berusaha mempelaiari haluan Negara, politik Pemerintah, dan rencana-renca Pemerintah dengan tujuan untuk melaksanakan tugasnya secara berdayaguna dan berhasilguna;
4. Tidak menjadi simpatisan/anggota perkumpulan atau tidak pernah terlibat dalam gerakan yang bertujuan mengubah atau menentang Pancasila Undang-Undang Dasar 1945, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau Pemerintah;
5. Tidak mengeluarkan ucapan, membuat tulisan, atau melakukan tindakan yang dapat dinilai bertujuan mengubah atau menentang Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah.
Prestasi Kerja
Prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai seorang Pegawai Negeri Sipil dalam melaksana tugas yang dibebankan kepadanya. Pada umumnya prestasi kerja seorang Pegawai Negeri Sipil dipengaruhi oleh kecakapan, ketrampilan , pengalaman dan kesungguhan PNS yang bersangkutan Unsur prestasi kerja terdiri atas sub-sub unsur sebagai berikut:
1. Mempunyai kecakapan dan menguasai segala seluk beluk bidang tugasnya dan bidang lain yang berhubungan dengan tugasnya;
2. Mempunyai keterampilan dalam melaksanakan tugasnya;
3. Mempunyai pengalaman di bidang tugasnya dan bidang lain yang berhubungan dengan tugasnya;
4. Bersungguh-sungguh dan tidak mengenal waktu dalam melaksanakan tugasnya;
5. Mempunyai kesegaran dan kesehatan jasmani dan rohani yang baik;
6. Melaksanakan tugas secara berdayaguna dan berhasilguna;
7. Hasil kerjanya melebihi hasil kerja rata-rata yang ditentukan, baik dalam arti mutu maupun dalam arti jumlah.
Tanggung jawab
Tanggung jawab adalah kesanggupan seorang Pegawai Negeri Sipil menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani memikul risiko atas keputusan yang diambilnya atau tindakan yang dilakukannya. Unsur tanggung jawab terdiri atas sub-sub unsur sebagai berikut:
1. Selalu menyelesaikan tugas dengan sebaik- baiknya dan tepat pada waktunya;
2. Selalu berada di tempat tugasnya dalam segala keadaan;
3. Selalu mengutamakan kepentingan dinas daripada kepentingan diri sendiri, orang lain, atau golongan;
4. Tidak pernah berusaha melemparkan kesalahan yang dibuatnya kepada orang lain;
5. Berani memikul risiko dari keputusan yang diambil atau tindakan yang dilakukannya;
6. Selalu menyimpan dan atau memelihara dengan sebaik-baiknya barang-barang milik Negara yang dipercayakan kepadanya.
Ketaatan
Ketaatan adalah kesanggupan seorang Pegawai Negeri Sipil untuk menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku, menaati perintah kedinasan yang diberikan oleh atasan yang berwenang, serta kesanggupan untuk tidak melanggar larangan yang ditentukan. Unsur ketaatan terdiri atas sub-sub unsur sebagai berikut:
1. Menaati peraturan perundang-undangan dan atau peraturan kedinasan yang berlaku
2. Menaati perintah kedinasan yang diberikan oleh atasan yang berwenang dengan sebaik-baiknya;
3. Memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan sebaik-baiknya sesuai dengan bidang tugasnya;
4. Bersikap sopan santun
Kejujuran, Pada umumnya yang dimaksud dengan kejujuran, adalah ketulusan hati seorang Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk tidak menyalah gunakan wewenang yang diberikan kepadanya. Unsur kejujuran terdiri atas sub-sub unsur sebagai berikut:
1. Melaksanakan tugas dengan ikhlas;
2. Tidak menyalahgunakan wewenangnya;
3. Melaporkan hasil kerjanya kepada atasannya menurut keadaan yang sebenarnya
Kerjasama, Kerjasama adalah kemampuan seseorang Pegawai Negeri Sipil untuk bekerja bersama-sama dengan orang lain dalam menyelesaikan sesuatu tugas yang ditentukan, sehingga tercapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya. Unsur kerjasama terdiri atas sub-sub unsur sebagai berikut:
1. Mengetahui bidang tugas orang lain yang ada hubungannya dengan bidang tugasnya;
2. Menghargai pendapat orang lain;
3. Dapat menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat orang lain, apabila yakin bahwa pendapat orang lain itu benar;
4. Bersedia mempertimbangkan dan menerima usul yang baik dari orang lain;
5. Selalu mampu bekerja bersama-sama dengan orang lain menurut waktu dan bidang tugas yang ditentukan;
6. Selalu bersedia menerima keputusan yang diambil secara sah walaupun tidak sependapat.
Prakarsa, Prakarsa adalah kemampuan seorang Pegawai Negeri Sipil untuk mengambil keputusan, langkah-langkah atau melaksanakan sesuatu tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas pokok tanpa menunggu perintah dari atasan. Unsur prakarsa terdiri atas sub-sub unsur sebagai berikut:
1. Tanpa menunggu petunjuk atau perintah dari atasan, mengambil keputusan atau melakukan tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugasnya, tetapi tidak bertentangan dengan kebijaksanaan umum pimpinan
2. Berusaha mencari tatacara yang baru dalam mencapai dayaguna dan hasilguna yang sebesar besarnya;
3. Berusaha memberikan saran yang dipandangnya baik dan berguna kepada atasan, baik diminta atau tidak diminta mengenai sesuatu yang ada hubungannya dengan pelaksanaan tugas.
Kepemimpinan, Kepemimpinan adalah kemampuan seorang Pegawai Negeri Sipil untuk meyakinkan orang lain sehingga dapat dikerahkan secara maksimal untuk melaksanakan tugas pokok. Unsur kepemimpinan terdiri atas sub-sub unsur sebagai berikut:
1. Menguasai bidang tugasnya;
2. Mampu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat;
3. Mampu mengemukakan pendapat dengan jelas kepada orang lain;
4. Mampu menentukan prioritas dengan tepat
5. Bertindak tegas dan tidak memihak;
6. Memberikan teladan baik;
7. Berusaha memupuk dan mengembangkan kerjasama;
8. Mengetahui kemampuan dan batas kemampuan bawahan;
9. Berusaha menggugah semangat dan menggerakkan bawahan dalam melaksanakan tugas;
10. Memperhatikan dan mendorong kemajuan bawahan:
11. Bersedia mempertimbangkan saran-saran bawahan.
Tata Cara Penilaian
Penilaian dilakukan oleh Pejabat Penilai, yaitu atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang dinilai, dengan ketentuan serendah-rendahnya Kepala Urusan atau pejabat lain yang setingkat dengan itu. Pejabat Penilai melakukan penilaian pelaksanaan pekerjaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang berada dalam lingkungannya pada akhir bulan Desember tiap-tiap tahun. Jangka waktu penilaian adalah mulai bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun yang bersangkutan. Nilai pelaksanaan pekerjaan dinyatakan dengan sebutan dan angka sebagai berikut:
a. amat baik = 91 - 100
b. baik = 76-90
c. cukup = 61-75
d. sedang = 51-60
e. kurang = 50 ke bawah
Nilai untuk masing-masing unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan, adalah rata-rata dari nilai sub-sub unsur penilaian. Setiap unsur penilaian ditentukan dulu nilainya dengan angka, kemudian ditentukan nilai sebutannya. Hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan dituangkan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan. Pejabat Penilai baru dapat melakukan penilaian pelaksanaan pekerjaan, apabila ia telah membawahkan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan. Apabila Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan diperlukan untuk suatu mutasi kepegawaian, sedangkan Pejabat Penilai belum 6 (enam) bulan membawahi Pegawai Negeri Sipil yang dinilai, maka Pejabat Penilai tersebut dapat melakukan penilaian pelaksanaan pekerjaan dengan mengunakan bahan-bahan yang ditinggalkan oleh Pejabat Penilai yang lama.
Penyampaian Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan yang telah diisi diberikan oleh Pejabat Penilai kepada Pegawai Negeri Sipil yang dinilai. Apabila Pegawai Negeri Sipil yang dinilai menyetujui penilaian terhadap dirinya seperti tercantum dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan, maka ia membubuhkan tanda tangannya pada tempat yang tersedia. Pegawai Negeri Sipil wajib mengembalikan Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan yang telah ditandatangani olehnya kepada Pejabat Penilai selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan tersebut. Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan yang telah ditandatangani oleh Pejabat Penilai dan oleh Pegawai Negeri Sipil yang dinilai dikirimkan oleh Pejabat Penilai kepada Atasan Pejabat Penilai, yaitu atasan langsung dari Pejabat Penilai, selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung mulai diterimanya kembali Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan dari Pegawai Negeri Sipil yang dinilai.
Keberatan Terhadap Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan
Apabila Pegawai Negeri Sipil yang dinilai berkeberatan atas nilai dalam Daftar Penilaian Pekerjaan baik sebagian atau seluruhnya, maka ia dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Atasan Pejabat Penilai. Keberatan tersebut dikemukakan dalam tempat yang tersedia dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan disertai alasan-alasannya. Keberatan tersebut di atas disampaikan melalui saluran hirarki dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan tersebut. Keberatan yang diajukan melebihi batas waktu 14 (empat belas) hari tidak dapat dipertimbangkan lagi. Pejabat Penilai memberikan tanggapan tertulis atas keberatan dari Pegawai Negeri Sipil yang dinilai pada tempat yang tersedia dan mengirimkan Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan tersebut kepada Atasan Pejabat Penilai selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung mulai saat ia menerima kembali Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan dari Pegawai Negeri Sipil yang dinilai.
Keputusan Atasan Pejabat Penilai
Atasan Pejabat Penilai memeriksa dengan saksama Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan yang disampaikan kepadanya. Apabila terdapat alasan-alasan yang cukup, Atasan Pejabat Penilai dapat mengadakan perubahan nilai yang tercantum dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan. Perubahan yang dilakukan oleh Atasan Pejabat Penilai tidak dapat diganggu gugat.
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan baru berlaku sesudah ada pengesahan dari Atasan Pejabat Penilai Pejabat Penilai Yang merangkap Sebagai Atasan Pejabat Penilai Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah adalah Pejabat Penilai dan Atasan Pejabat Penilai tertinggi dalam lingkungan masing-masing.
Daftar Penilaian Pekerjaan yang dibuat oleh Pejabat Penilai yang merangkap menjadi Atasan Pejabat Penilai tidak dapat diganggu gugat Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil Yang Menjabat Sebagai Pejabat Negara Atau Ditugaskan Di Luar Instansi Induknya
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil dibuat oleh Pejabat Penilai dari instansi asal tempat Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bertugas sebelum diangkat sebagai Pejabat Negara. Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan/ diperbantukan pada instansi pemerintah lain dibuat oleh Pejabat Penilai pada instansi tempat Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dipekerjakan/diperbantukan.
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang ditugaskan diinstansi/badan lain diluar instansi induknya dibuat oleh Pejabat Penilai dengan bahan-bahan yang diperoleh dari instansi/badan lain tempat Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan ditugaskan.
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil menjalankan tugas belajar oleh Pejabat Penilai dengan bahan-bahan yang diperoleh dari pimpinan lembaga pendidikan tempat Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan menjalankan tugas belajar.
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang menjalankan tugas belajar di luar negeri dibuat oleh Pejabat Penilai dengan bahan-bahan yang diperoleh dari Kepala Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Penyampaian Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan merupakan dokumen kepegawaian yang bersifat rahasia. Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan disimpan untuk selama 5 (lima) tahun mulai tahun pembuatannya. Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan yang telah lebih dari 5 (lima) tahun tidak digunakan lagi dan dapat dimusnahkan menurut tata cara yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku.
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d ke bawah dibuat dalam 1 (satu) rangkap. Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke atas dibuat dalam 2 (dua) rangkap, yaitu 1 (satu) rangkap dikirimkan kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara dan l (satu) rangkap disimpan oleh instansi yang bersangkutan.
Bahan bacaan :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979, tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil;
2. Surat Edaran Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 02/SE/1980 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil
selengkapnya baca.....