PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2008
TENTANG
KECAMATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat (1) dan ayat (7) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu
memberikan pedoman dalam pembentukan dan penyelenggaraan urusan
pemerintahan di kecamatan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kecamatan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesig Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 4737);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republi Indonesia Tahun 2007
Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 4741);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KECAMATAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah
daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
3. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga
perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
5. Kecamatan atau sebutan lain adalah wilayah kerja Camat sebagai Perangkat daerah
kabupaten/kota.
6. Pembentukan kecamatan adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai
kecamatan di kabupaten/kota.
7. Penghapusan kecamatan adalah pencabutan status sebagai kecamatan di wilayah
kabupaten/kota.
8. Penggabungan kecamatan adalah penyatuan kecamatan yang dihapus kepada
kecamatan lain.
9. Camat atau sebutan lain adalah pemimpin dan koordinator penyelenggaraan
pemerintahan di wilayah kerja kecamatan yang dalam pelaksanaan tugasnya
memperoleh pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota untuk
menangani sebagian urusan otonomi daerah, dan menyelenggarakan tugas umum
pemerintahan.
BAB II
PEMBENTUKAN
Pasal 2
(1) Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Peraturan Daerah berpedoman
pada Peraturan Pemerinta ini,
(2) Pembentukan Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pemekaran 1 (satu) kecamatan menjadi 2 (dua) kecamatan atau lebih, dan/atau
penyatuan wilayah desa dan/atau kelurahan dari beberapa kecamatan.
Pasal 3
Pembentukan Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi syarat
administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
Pasal 4
Syarat administratif pembentukan kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
meliputi:
a. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 (lima) tahun;
b. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan yang akan dibentuk
menjadi kecamatan minimal 5 (lima) tahun;
c. Keputusan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau nama lain untuk Desa dan Forum
Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk kelurahan di seluruh wilayah kecamata baik
yang menjadi calon cakupan wilayah kecamatan baru maupun kecamatan induk tentang
persetujuan pembentukan kecamatan;
d. Keputusan Kepala Desa atau nama lain untuk desa dan Keputusan Lurah atau nama
lain untuk kelurahan di seluruh wilayah kecamatan baik yang akan menjadi cakupan
wilayah kecamatan baru maupun kecamatan induk tentang persetujuan pembentukan
kecamatan;
e. Rekomendasi Gubernur.
Pasal 5
Syarat fisik kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi cakupan wilayah,
lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.
Pasal 6
(1) Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 untuk daerah kabupaten paling
sedikit terdiri atas 10 desa/kelurahan dan untuk daerah kota paling sedikit terdiri atas 5
desa/kelurahan.
(2) Lokasi calon ibukota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 memperhatikan aspek tata
ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan,
sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.
(3) Sarana dan prasarana pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi
bangunan dan lahan untuk kantor camat yang dapat digunakan untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 7
(1) Persyaratan teknis sebagaimana dimakaud dalam Pasal 3 meliputi:
a. jumlah penduduk;
b. luas wilayah;
c. rentang kendali penyelenggaraan pelayanan pemerintahan;
d. aktivitas perekonomian;
e. ketersediaan sarana dan prasarana.
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai berdasarkan hasil kajian
yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota sesuai indikator sebagaimana tercantum
dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 8
(1) Pemerintah kabupaten/kota dapat membentuk kecamatan di wilayah yang mencakup
satu atau lebih pulau, yang persyaratannya dikecualikan dari persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dengan pertimbangan untuk efektifitas pelayanan dan
pemberdayaan masyarakat di pulau-pulau terpencil dan/ atau terluar.
(2) Pembentukan kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu
mendapat persetujuan dari gubernur sebagai wakil Pemerintah.
Pasal 9
(1) Pemerintah dapat menugaskan kepada pemerintah kabupaten/kota tertentu melalui
gubernur selaku wakil Pemerintah untuk membentuk kecamatan dengan mengecualikan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Pembentukan kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pertimbangan
kepentingan nasional dan penyelenggaraan tugas umum pemerintahan.
Pasal 10
(1) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pembentukan Kecamatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) paling sedikit memuat:
a. nama kecamatan;
b. nama ibukota kecamatan;
c. batas wilayah kecamatan; dan
d. nama desa dan /atau kelurahan.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri peta kecamatan
dengan batas wilayahnya sesuai kaidah teknis dan memuat titik koordinat.
Pasal 11
Perubahan nama dan/ atau pemindahan ibukota kecamatan ditetapkan dengan Peraturan
Daerah kabupaten/kota.
BAB III
PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN
Pasal 12
(1) Kecamatan dihapus apabila:
a. jumlah penduduk berkurang 50% (limapuluh perseratus) atau lebih dari penduduk
yang ada; dan/atau
b. cakupan wilayah berkurang 50% (limapuluh perseratus) atau lebih dari jumlah
desa/kelurahan yang ada.
(2) Kecamatan yang dihapus, wilayahnya digabungkan dengan kecamatan yang
bersandingan setelah dilakukan pengkajian.
Pasal 13
Penghapusan dan penggabungan kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
BAB IV
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN WEWENANG
Pasal 14
(1) Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis
kewilayahan yang mempunyai wilayah kerja tertentu dan dipimpin oleh Camat.
(2) Camat berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui
sekretaris daerah.
Pasal 15
(1) Camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi:
a. mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
b. mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum;
c. mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;
d. mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
e. mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan;
f. membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; dan
g. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya
dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Camat melaksanakan kewenangan
pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota untuk menangani sebagian urusan
otonomi daerah, yang meliputi aspek:
a. perizinan;
b. rekomendasi;
c. koordinasi;
d. pembinaan;
e. pengawasan;
f. fasilitasi;
g. penetapan;
h. penyelenggaraan; dan
i. kewenangan lain yang dilimpahkan.
(3) Pelaksanaan kewenangan camat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup
penyelenggaraan urusan pemerintahan pada lingkup kecamatan sesuai peraturan
perundang-undangan.
(4) Pelimpahan sebagian wewenang bupati/walikota kepada Camat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan kriteria eksternalitas dan efisiensi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Camat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan
Peraturan Bupati/Walikota berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 16
Tugas Camat dalam mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a, meliputi:
a. mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam perencanaan pembangunan
lingkup kecamatan dalam forum musyawarah perencanaan pembangunan di
desa/kelurahan dan kecamatan;
b. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap keseluruhan unit kerja baik
pemerintah maupun swasta yang mempunyai program kerja dan kegiatan
pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja kecamatan;
c. melakukan evaluasi terhadap berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah
kecamatan baik yang dilakukan oleh unit kerja pemerintah maupun swasta;
d. melakukan tugas-tugas lain di bidang pemberdayaan masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; dan
e. melaporkan pelaksanaan tugas pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja kecamatan
kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada satuan kerja perangkat daerah yang
membidangi urusan pemberdayaan masyarakat.
Pasal 17
Tugas Camat dalam mengoordinasikan upaya peyelenggaraan ketenteraman dan
ketertiban umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b, meliputi:
a. melakukan koordinasi dengan kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Tentara
Nasional Indonesia mengenai program dan kegiatan penyelenggaraan ketenteraman
dan ketertiban umum di wilayah kecamatan;
b. melakukan koordinasi dengan pemuka agama yang berada di wilayah kerja kecamatan
untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban umum masyarakat di wilayah
kecamatan; dan
c. melaporkan pelaksanaan pembinaan ketenteraman dan ketertiban kepada bupati/
walikota.
Pasal 18
Tugas Camat dalam mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundangundangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c, meliputi:
a. melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya
di bidang penerapan peraturan perundang-undangan;
b. melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya
di bidang penegakan peraturan perundang-undangan dan/atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia; dan
c. melaporkah pelaksanaan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan di
wilayah kecamatan kepada bupati/walikota.
Pasal 19
Tugas Camat dalam mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf d, meliputi:
a. melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan/atau instansi vertikal
yang tugas dan fungsinya di bidang pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan
umum;
b. melakukan koordinasi dengan pihak swasta dalam pelaksanaan pemeliharaan
prasarana dan fasilitas pelayanan umum; dan
c. melaporkan pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum di
wilayah kecamatan kepada bupati/walikota.
Pasal 20
Tugas Camat dalam mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat
kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e, meliputi:
a. melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di
bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan;
b. melakukan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dengan satuan kerja perangkat
daerah dan instansi vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan;
c. melakukan evaluasi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; dan
d. melaporkan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan kepada
bupati/walikota.
Pasal 21
Tugas Camat dalam membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf f, meliputi:
a. melakukan pembinaan dan pengawasan tertib administrasi pemerintahan desa
dan/atau kelurahan;
b. memberikan bimbingan, supervisi, fasilitasi, dan konsultasi pelaksanaan administrasi
desa dan/atau kelurahan;
c. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kepala desa dan/atau lurah;
d. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat desa dan/atau kelurahan;
e. melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan di tingkat
kecamatan; dan
f. melaporkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
desa dan/atau kelurahan di tingkat kecamatan kepada bupati/walikota.
Pasal 22
Tugas Camat dalam melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup
tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf g, meliputi:
a. melakukan perencanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di kecamatan;
b. melakukan percepatan pencapaian standar pelayanan minimal di wilayahnya;
c. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan kepada
masyarakat di kecamatan;
d. melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di wilayah
kecamatan;
e. melaporkan pelaksanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di wilayah kecamatan
kepada Bupati/Walikota.
BAB V
SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 23
(1) Organisasi kecamatan terdiri dari 1 (satu) sekretaris, paling banyak 5 (lima) seksi, dan
sekretariat membawahkan paling banyak 3 (tiga) subbagian.
(2) Seksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. seksi tata pemerintahan;
b. seksi pemberdayaan masyarakat dan desa; dan
c. seksi ketenteraman dan ketertiban umum.
(3) Pedoman organisasi kecamatan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.
BAB VI
PERSYARATAN CAMAT
Pasal 24
Camat diangkat oleh bupati/walikota atas usul sekretaris daerah kabupaten/kota dari
pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi
persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 25
Pengetahuan teknis pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 meliputi:
a. menguasai bidang ilmu pemerintahan dibuktikan dengan ijazah diploma/sarjana
pemerintahan; dan
b. pernah bertugas di desa, kelurahan, atau kecamatan paling singkat 2 (dua) tahun.
Pasal 26
(1) Pegawai negeri sipil yang akan diangkat menjadi Camat dan tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, wajib mengikuti pendidikan teknis
pemerintahan yang dibuktikan dengan sertifikat.
(2) Pelaksanaan pendidikan teknis pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
BAB VII
TATA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 27
(1) Camat melakukan koordinasi dengan kecamatan disekitarnya.
(2) Camat mengoordinasikan unit kerja di wilayah kerja kecamatan dalam rangka
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan untuk meningkatkan kinerja kecamatan.
(3) Camat melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah di lingkungan
pemerintah kabupaten/kota dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di
kecamatan.
Pasal 28
(1) Hubungan kerja kecamatan dengan perangkat daerah kabupaten/kota bersifat
koordinasi teknis fungsional dan teknis operasional.
(2) Hubungan kerja kecamatan dengan instansi vertikal di wilayah kerjanya, bersifat
koordinasi teknis fungsional.
(3) Hubungan kerja kecamatan dengan swasta, lembaga swadaya masyarakat, partai
politik, dan organisasi kemasyarakatan lainnya di wilayah kerja kecamatan bersifat
koordinasi dan fasilitasi.
BAB VIII
PERENCANAAN KECAMATAN
Pasal 29
(1) Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, disusun perencanaan
pembangunan sebagai kelanjutan dari hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Desa/Kelurahan.
(2) Perencanaan pembangunan kecamatan merupakan bagian dari perencanaan
pembangunan kabupaten/kota.
(3) Perencanaan pembangunan kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan secara
partisipatif.
(4) Mekanisme penyusunan rencana pembangunan kecamatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 30
(1) Kecamatan sebagai satuan kerja perangkat daerah menyusun rencana anggaran satuan
kerja perangkat daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Rencana anggaran satuan kerja perangkat daerah kecamatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun berdasarkan rencana kerja kecamatan.
(3) Rencana kerja kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan
rencana strategis kecamatan.
BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 31
Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan Kecamatan
dilaksanakan oleh bupati/walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 32
(1) Setiap tahun pemerintah kabupaten/kota melakukan evaluasi terhadap kinerja
kecamatan yang mencakup:
a. penyelenggaraan sebagian wewenang bupati/walikota yang dilimpahkan untuk
melaksanakan sebagian urusan otonomi daerah;
b. penyelenggaraan tugas umum pemerintahan; dan
c. penyelenggaraan tugas lainnya yang ditugaskan kepada camat.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh bupati/walikota
kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri.
(3) Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman
pada Peraturan Menteri Dalam Negeri.
BAB X
PENDANAAN
Pasal 33
Pendanaan tugas camat dalam penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan
pelaksanaan sebagian wewenang bupati/walikota yang dilimpahkan bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota.
Pasal 34
Pembentukan, penghapusan dan penggabungan kecamatan dibebankan pada anggaran
pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota.
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 35
Pengaturan kecamatan di Pemerintahan Aceh, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur daerah bersangkutan.
Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai pakaian dinas, tanda pangkat, dan tanda jabatan camat
diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 37
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pegawai negeri sipil yang telah
diangkat sebagai camat dan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 wajib mengikuti pendidikan teknis pemerintahan.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Februari 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Februari 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 40
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2008
TENTANG
KECAMATAN
I. UMUM
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota
itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Hubungan
wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota
atau antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, diatur dengan undang-undang
dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Selain itu Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya
menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prinsip
penyelenggaraan desentralisasi adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar
yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang luas kepada
pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat daerah. Pemerintah Daerah harus mengoptimalkan
pembangunan daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah daerah dan masyarakat di daerah
lebih diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk
mempercepat laju pembangunan daerah.
Sejalan dengan hal tersebut, maka implementasi kebijakan otonomi daerah telah
mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural, fungsional maupun kultural
dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu perubahan yang
sangat esensial yaitu menyangkut kedudukan, tugas pokok dan fungsi kecamatan yang
sebelumnya merupakan perangkat wilayah dalam kerangka asas dekonsentrasi,
berubah statusnya menjadi perangkat daerah dalam kerangka asas desentralisasi.
Sebagai perangkat daerah, Camat dalam menjalankan tugasnya mendapat pelimpahan
kewenangan dari dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota.
Pengaturan penyelenggaraan kecamatan baik dari sisi pembentukan, kedudukan, tugas
dan fungsinya secara legalistik diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sebagai perangkat
daerah, Camat mendapatkan pelimpahan kewenangan yang bermakna urusan
pelayanan masyarakat. Selain itu kecamatan juga akan mengemban penyelenggaraan
tugas-tugas umum pemerintahan.
Camat dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat kecamatan dan
bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah kabupaten/kota.
Pertanggungjawaban Camat kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah adalah
pertanggungjawaban administratif. Pengertian melalui bukan berarti Camat merupakan
bawahan langsung Sekretaris Daerah, karena secara struktural Camat berada langsung
di bawah bupati/walikota.
Camat juga berperan sebagai kepala wilayah (wilayah kerja, namun tidak memiliki
daerah dalam arti daerah kewenangan), karena melaksanakan tugas umum
pemerintahan di wilayah kecamatan, khususnya tugas-tugas atributif dalam bidang
koordinasi pemerintahan terhadap seluruh instansi pemerintah di wilayah kecamatan,
penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban, penegakan peraturan perundangundangan,
pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan, serta
pelaksanaan tugas pemerintahan lainnya yang belum dilaksanakan oleh pemerintahan
desa/kelurahan dan/atau instansi pemerintah lainnya di wilayah kecamatan. Oleh karena
itu, kedudukan camat berbeda dengan kepala instansi pemerintahan lainnya di
kecamatan, karena penyelenggaraan tugas instansi pemerintahan lainnya di kecamatan
harus berada dalam koordinasi Camat.
Camat sebagai perangkat daerah juga mempunyai kekhususan dibandingkan dengan
perangkat daerah lainnya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya untuk
mendukung pelaksanaan asas desentralisasi. Kekhususan tersebut yaitu adanya suatu
kewajiban mengintegrasikan nilai-nilai sosio kultural, menciptakan stabilitas dalam
dinamika politik, ekonomi dan budaya, mengupayakan terwujudnya ketenteraman dan
ketertiban wilayah sebagai perwujudan kesejahteraan rakyat serta masyarakat dalam
kerangka membangun integritas kesatuan wilayah. Dalam hal ini, fungsi utama camat
selain mernberikan pelayanan kepada masyarakat, juga melakukan tugas-tugas
pembinaan wilayah.
Secara filosofis, kecamatan yang dipimpin oleh Camat perlu diperkuat dari aspek sarana
prasarana, sistem administrasi, keuangan dan kewenangan bidang pemerintahan dalam
upaya penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan sebagai ciri pemerintahan
kewilayahan yang memegang posisi strategis dalam hubungan dengan pelaksanaan
kegiatan pemerintahan kabupaten/kota yang dipimpin oleh bupati/walikota. Sehubungan
dengan itu, Camat melaksanakan kewenangan pemerintahan dari 2 (dua) sumber yakni:
pertama, bidang kewenangan dalam lingkup tugas umum pemerintahan; dan kedua,
kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah.
Dengan demikian, peran Camat dalam penyelenggaraan pemerintahan lebih sebagai
pemberi makna pemerintahan di wilayah kecamatan, Atas dasar pertimbangan
demikian, maka Camat secara filosofis pemerintahan dipandang masih relevan untuk
menggunakan tanda jabatan khusus sebagai perpanjangan tangan dari bupati/walikota
di wilayah kerjanya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kajian pembentukan kecamatan dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota
dengan melibatkan unsur perguruan tinggi negeri terdekat yang ada di
kabupaten/kota atau provinsi yang bersangkutan.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Permohonan persetujuan diajukan oleh bupati/walikota kepada gubernur
sebelum penyusunan rancangan peraturan daerah tentang pembentukan
kecamatan dimaksud.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ibukota kecamatan adalah pusat
penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Lampiran peta digambarkan dengan skala 1:50.000.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kajian penghapusan dan/atau penggabungan kecamatan dilakukan oleh
pemerintah kabupaten/kota dengan melibatkan perguruan tinggi negeri terdekat
yang ada di kabupaten/kota atau provinsi yang bersangkutan.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan antara lain Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "eksternalitas" adalah kriteria pelimpahan urusan
pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan
bersifat internal kecamatan, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi
kewenangan camat.
Yang dimaksud dengan "efisiensi" adalah kriteria pelimpahan urusan
pemerintahan dengan memperhatikan daya guna tertinggi yang dapat diperoleh
dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan dilingkup kecamatan. Apabila
urusan pemerintahan lebih berdayaguna ditangani oleh kecamatan, maka urusan
tersebut menjadi kewenangan camat.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas,
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas,
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Koordinasi yang dilakukan oleh camat adalah untuk mencapa keserasian,
keselarasan, keseimbangan, sinkronisasi, dan integras keseluruhan kegiatan
pemerintahan yang diselenggarakan d kecamatan, guna mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahar kecamatan yang efektif dan efisien.
Pasal 28
Koordinasi dimaksud dapat berbentuk rapat koordinasi, permintaan, penyampaian
data, pemberian informasi, konsultasi, dan bentul lainnya.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4826
LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 19 Tahun 2008
TANGGAL : 28 Februari 2008
PENILAIAN SYARAT TEKNIS
I. FAKTOR DAN INDIKATOR PEMBENTUKAN KECAMATAN
FAKTOR INDIKATOR
1. Penduduk 1. Jumlah Penduduk
2. Luas Daerah 2. Luas wilayah keseluruhan
3. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan
3. Rentang Kendali 4. Rata-rata jarak desa ke pusat pemerintahan kecamatan
5. Rata-rata waktu perjalanan ke pusat pemerintahan kecamatan
4. Aktivitas Perekonomian 6. Jumlah bank
7. Lembaga keuangan non bank
8. Kelompok pertokoan
9. Jumlah Pasar
5. Ketersediaan Sarana
dan Prasarana
10. Rasio Sekolah Dasar per penduduk usia Sekolah Dasar
11. Rasio Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama per penduduk usia
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
12. Rasio Sekolah Lanjutan Tingkat Atas per penduduk usia
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
13. Rasio tenaga medis per penduduk
14. Rasio fasilitas kesehatan per pendudut
15. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan
bermotor atau perahu atau perahu motor atau kapal motor
16. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga
17. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor
18. Rasio sarana peribadatan per penduduk
19. Rasio fasilitas lapangan olahraga per penduduk
20. Jumlah balai pertemuan
II. CARA PENGHITUNGAN INDIKATOR
1. Jumlah Penduduk:
Semua orang yang berdomisili di suatu daerah selama 6 (enam) bulan atau lebih
dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 (enam) bulan tetapi bertujuan
menetap.
2. Luas Daerah/Wilayah Keseluruhan:
Jumlah luas daratan ditambah luas lautan
3. Wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan:
Wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kawasan budi daya di luar kawasan lindung.
4. Rata-rata jarak ke pusat pemerintahan kecamatan:
Jumlah jarak dari desa/kelurahan ke pusat pemerintahan kecamatan dibagi jumlah
desa/kelurahan.
5. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat
pemerintahan:
Jumlah waktu perjalanan dari desa/kelurahan ke pusat pemerintahan kecamatan
dibagi jumlah desa/kelurahan
6. Jumlah Bank:
Jumlah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
7. Lembaga Keuangan Non Bank:
Jumlah badan usaha selain bank, meliputi asuransi, pegadaian, dan koperasi.
8. Kelompok Pertokoan:
Sejumlah toko yang terdiri atas paling sedikit 10 (sepuluh) toko dar mengelompok.
Dalam satu kelompok pertokoan bangunan fisiknya dapat lebih dari satu.
9. Jumlah Pasar:
Prasarana fisik yang khusus dibangun untuk tempat pertemuan antara penjual dan
pembeli barang dan jasa, yang aktivitasnya rutin dilakukan setiap hari.
10. Rasio Sekolah Dasar per penduduk usia Sekolah Dasar:
Jumlah Sekolah Dasar dibagi jumlah penduduk usia 7-12 tahun.
11. Rasio Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama per penduduk usia Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama:
Jumlah sekolah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dibagi jumlah penduduk usia 13-
15 tahun.
12. Rasio Sekolah Lanjutan Tingkat Atas per penduduk usia Sekolah Lanjutan Tingkat
Atas:
Jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dibagi jumlah penduduk usia 16-18 tahun.
13. Rasio tenaga medis per penduduk:
Jumlah dokter, perawat, dan mantri kesehatan dibagi jumlah penduduk
14. Rasio fasilitas kesehatan per penduduk:
Jumlah rumah sakit, rumah sakit bersalin, poliklinik baik negeri maupun swasta
dibagi jumlah penduduk:
15. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau
perahu motor atau kapal motor:
Jumlah rumah tangga yang mernpunyai kendaraan bermotor atau perahu atau
perahu motor atau kapal motor dibagi dengan jumlah rumah tangga dikali 100.
16. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga:
Jumlah rumah tangga yang menggunakan listrik PLN dan Non PLN dibagi jumlah
rumah tangga dikali 100.
17. Rasio panjangjalan terhadap jumlah kendaraan bermotor:
Jumlah panjangjalan dibagi jumlah kendaraan bermotor.
18. Rasio sarana Peribadatan per penduduk:
Jumlah masjid, gereja, pura, vihara dibagi jumlah penduduk.
19. Rasio fasilitas lapangan olah raga per penduduk:
Jumlah lapangan bulu tangkis, sepak bola, bola volly, dan kolam renang dibagi
jumlah penduduk.
20. Balai Pertemuan:
Tempat (gedung) yang digunakan untuk pertemuan masyarakat melakukan berbagai
kegiatan interaksi sosial.
III. METODE PENILAIAN
1. Penilaian yang digunakan adalah sistem skoring, untuk pembentukan kecamatan
baru terdiri dari dua macam metode yaitu: (1) Metode Rata-rata, dan (2) Metode
Kuota.
2. Metode rata-rata adalah metode yang membandingkan besaran/nilai tiap calon
kecamatan dan kecamatan induk terhadap besaran/nilai rata-rata keseluruhan
kecamatan di kabupaten/kota. Dalam hal terdapat kecamatan yang memiliki
besaran/nilai indikator yang sangat berbeda (di atas 5 kali dari besaran/nilai
terendah), maka besaran/nilai tersebut tidak diperhitungkan.
3. Metode Kuota adalah metode yang menggunakan angka tertentu sebagai kuota
penentuan skoring baik terhadap calon kecamatan maupun kecamatan induk.
Untuk daerah kabupaten, kuota jumlah penduduk kecamatan untuk pembentukan
kecamatan adalah 10 (sepuluh) kali rata-rata jumlah penduduk desa/kelurahan
seluruh kecamatan di kabupaten yang bersangkutan.
Untuk daerah kota, kuota jumlah penduduk kecamatan untuk pembentukan
kecamatan adalah 5 (lima) kali rata-rata jumlah penduduk desa/kelurahan seluruh
kecamatan di kota yang bersangkutan.
Semakin besar perolehan besaran/nilai calon kecamatan dan kecamatan induk
(apabila dimekarkan) terhadap kuota pembentukan kecamatan, maka semakin
besar skornya.
4. Setiap indikator mempunyai skor dengan skala 1-5, dimana skor 5 masuk dalam
kategori sangat mampu, skor 4 kategori mampu, skor 3 kategori kurang mampu, skor
2 kategori tidak mampu dan skor 1 kategori sangat tidak mampu.
5. Pemberian skor 5 apabila besaran/nilai indikator lebih besar atau sama dengan 80%
besaran/nilai rata-rata, pemberian skor 4 apabila besaran/nilai indikator lebih besar
atau sama dengan 60% besaran/nilai rata-rata, pemberian skor 3 apabila
besaran/nilai indikator lebih besar atau sama dengan 40% besaran/nilai rata-rata,
pemberian skor 2 apabila besaran/nilai indikator lebih besar atau sama dengan 20%
besaran/nilai rata-rata, pemberian skor 1 apabila besaran/nilai indikator kurang dari
20% besaran/nilai rata-rata.
IV. PEMBOBOTAN
Setiap faktor dan indikator mempunyai bobot yang berbeda-beda sesuai dengan
perannya dalam pembentukan kecamatan.
1. Bobot untuk masing-masing faktor dan indikator:
No. FAKTOR DAN INDIKATOR BOBOT
1. Penduduk 20
1. Jumlah pendudk 20
2. Luas daerah 10
1. Luas wilayah keseluruhan 5
2. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan 5
3. Rentang Kendali 20
1. Rata-rata jarak desa ke pusat pemerintahan kecamatan
(ibukota kecamatan)
10
2. Rata-rata waktu perjalanan dari desa ke pusat pemerintahan
(ibukota kecamatan)
10
4. Aktivitas perekonomian 10
1. Jumlah bank 2
2. Jumlah lembaga keuangan bukan bank 2
3. Jumlah kelompok pertokoan 2
4. Jumlah pasar 4
5. Ketersediaan Sarana dan Prasarana 40
1. Rasio Sekolah Dasar per penduduk usia Sekolah Dasar 4
2. Rasio Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama per penduduk usia
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
4
3. Rasio Sekolah Lanjutan Tingkat Atas per penduduk usia
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
4
4. Rasio fasilitas kesehatan per penduduk 4
5. Rasio tenaga medis per penduduk 4
6. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan
bermotor atau perahu atau perahu motor atau kapal motor
3
7. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga 3
8. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor 3
9. Rasio sarana peribadatan per penduduk 4
10. Rasio fasilitas lapangan olahraga per penduduk 3
11 . Jumlah balai pertemuan 4
Total 100
2. Nilai indikator adalah hasil perkalian skor dan bobot masing-masing indikator.
Kelulusan ditentukan oleh total nilai seluruh indikator dengan kategori:
Kategori Total Nilai Seluruh Indikator Keterangan
Sangat Mampu 420 s/d 500 Rekomendasi
Mampu 340 s/d 419 Rekomendasi
Kurang Mampu 260 s/d 339 Ditolak
Tidak mampu 180 s/d 259 Ditolak
Sangat Tidak Mampu 100 s/d 179 Ditolak
3. Suatu calon kecamatan direkomendasikan menjadi kecamatan baru apabila calon
kecamatan dan kecamatan induknya (setelah pemekaran) mempunyai total nilai
seluruh indikator dengan kategori sangat mampu (420-500) atau mampu (340-419).
4. Usulan pembentukan kecamatan ditolak apabila calon kecamatan atau kecamatan
induknya (setelah pemekaran) mempunyai total nilai seluruh indikator dengan
kategori kurang mampu (260-339), tidak mampu (180-259) dan sangat tidak mampu
(100-179),
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
selengkapnya baca.....
NOMOR 19 TAHUN 2008
TENTANG
KECAMATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat (1) dan ayat (7) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu
memberikan pedoman dalam pembentukan dan penyelenggaraan urusan
pemerintahan di kecamatan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kecamatan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesig Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 4737);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republi Indonesia Tahun 2007
Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 4741);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KECAMATAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah
daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
3. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga
perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
5. Kecamatan atau sebutan lain adalah wilayah kerja Camat sebagai Perangkat daerah
kabupaten/kota.
6. Pembentukan kecamatan adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai
kecamatan di kabupaten/kota.
7. Penghapusan kecamatan adalah pencabutan status sebagai kecamatan di wilayah
kabupaten/kota.
8. Penggabungan kecamatan adalah penyatuan kecamatan yang dihapus kepada
kecamatan lain.
9. Camat atau sebutan lain adalah pemimpin dan koordinator penyelenggaraan
pemerintahan di wilayah kerja kecamatan yang dalam pelaksanaan tugasnya
memperoleh pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota untuk
menangani sebagian urusan otonomi daerah, dan menyelenggarakan tugas umum
pemerintahan.
BAB II
PEMBENTUKAN
Pasal 2
(1) Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Peraturan Daerah berpedoman
pada Peraturan Pemerinta ini,
(2) Pembentukan Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pemekaran 1 (satu) kecamatan menjadi 2 (dua) kecamatan atau lebih, dan/atau
penyatuan wilayah desa dan/atau kelurahan dari beberapa kecamatan.
Pasal 3
Pembentukan Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi syarat
administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
Pasal 4
Syarat administratif pembentukan kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
meliputi:
a. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 (lima) tahun;
b. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan yang akan dibentuk
menjadi kecamatan minimal 5 (lima) tahun;
c. Keputusan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau nama lain untuk Desa dan Forum
Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk kelurahan di seluruh wilayah kecamata baik
yang menjadi calon cakupan wilayah kecamatan baru maupun kecamatan induk tentang
persetujuan pembentukan kecamatan;
d. Keputusan Kepala Desa atau nama lain untuk desa dan Keputusan Lurah atau nama
lain untuk kelurahan di seluruh wilayah kecamatan baik yang akan menjadi cakupan
wilayah kecamatan baru maupun kecamatan induk tentang persetujuan pembentukan
kecamatan;
e. Rekomendasi Gubernur.
Pasal 5
Syarat fisik kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi cakupan wilayah,
lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.
Pasal 6
(1) Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 untuk daerah kabupaten paling
sedikit terdiri atas 10 desa/kelurahan dan untuk daerah kota paling sedikit terdiri atas 5
desa/kelurahan.
(2) Lokasi calon ibukota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 memperhatikan aspek tata
ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan,
sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.
(3) Sarana dan prasarana pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi
bangunan dan lahan untuk kantor camat yang dapat digunakan untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 7
(1) Persyaratan teknis sebagaimana dimakaud dalam Pasal 3 meliputi:
a. jumlah penduduk;
b. luas wilayah;
c. rentang kendali penyelenggaraan pelayanan pemerintahan;
d. aktivitas perekonomian;
e. ketersediaan sarana dan prasarana.
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai berdasarkan hasil kajian
yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota sesuai indikator sebagaimana tercantum
dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 8
(1) Pemerintah kabupaten/kota dapat membentuk kecamatan di wilayah yang mencakup
satu atau lebih pulau, yang persyaratannya dikecualikan dari persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dengan pertimbangan untuk efektifitas pelayanan dan
pemberdayaan masyarakat di pulau-pulau terpencil dan/ atau terluar.
(2) Pembentukan kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu
mendapat persetujuan dari gubernur sebagai wakil Pemerintah.
Pasal 9
(1) Pemerintah dapat menugaskan kepada pemerintah kabupaten/kota tertentu melalui
gubernur selaku wakil Pemerintah untuk membentuk kecamatan dengan mengecualikan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Pembentukan kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pertimbangan
kepentingan nasional dan penyelenggaraan tugas umum pemerintahan.
Pasal 10
(1) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pembentukan Kecamatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) paling sedikit memuat:
a. nama kecamatan;
b. nama ibukota kecamatan;
c. batas wilayah kecamatan; dan
d. nama desa dan /atau kelurahan.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri peta kecamatan
dengan batas wilayahnya sesuai kaidah teknis dan memuat titik koordinat.
Pasal 11
Perubahan nama dan/ atau pemindahan ibukota kecamatan ditetapkan dengan Peraturan
Daerah kabupaten/kota.
BAB III
PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN
Pasal 12
(1) Kecamatan dihapus apabila:
a. jumlah penduduk berkurang 50% (limapuluh perseratus) atau lebih dari penduduk
yang ada; dan/atau
b. cakupan wilayah berkurang 50% (limapuluh perseratus) atau lebih dari jumlah
desa/kelurahan yang ada.
(2) Kecamatan yang dihapus, wilayahnya digabungkan dengan kecamatan yang
bersandingan setelah dilakukan pengkajian.
Pasal 13
Penghapusan dan penggabungan kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
BAB IV
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN WEWENANG
Pasal 14
(1) Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis
kewilayahan yang mempunyai wilayah kerja tertentu dan dipimpin oleh Camat.
(2) Camat berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui
sekretaris daerah.
Pasal 15
(1) Camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi:
a. mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
b. mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum;
c. mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;
d. mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
e. mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan;
f. membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; dan
g. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya
dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Camat melaksanakan kewenangan
pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota untuk menangani sebagian urusan
otonomi daerah, yang meliputi aspek:
a. perizinan;
b. rekomendasi;
c. koordinasi;
d. pembinaan;
e. pengawasan;
f. fasilitasi;
g. penetapan;
h. penyelenggaraan; dan
i. kewenangan lain yang dilimpahkan.
(3) Pelaksanaan kewenangan camat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup
penyelenggaraan urusan pemerintahan pada lingkup kecamatan sesuai peraturan
perundang-undangan.
(4) Pelimpahan sebagian wewenang bupati/walikota kepada Camat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan kriteria eksternalitas dan efisiensi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Camat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan
Peraturan Bupati/Walikota berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 16
Tugas Camat dalam mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a, meliputi:
a. mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam perencanaan pembangunan
lingkup kecamatan dalam forum musyawarah perencanaan pembangunan di
desa/kelurahan dan kecamatan;
b. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap keseluruhan unit kerja baik
pemerintah maupun swasta yang mempunyai program kerja dan kegiatan
pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja kecamatan;
c. melakukan evaluasi terhadap berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah
kecamatan baik yang dilakukan oleh unit kerja pemerintah maupun swasta;
d. melakukan tugas-tugas lain di bidang pemberdayaan masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; dan
e. melaporkan pelaksanaan tugas pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja kecamatan
kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada satuan kerja perangkat daerah yang
membidangi urusan pemberdayaan masyarakat.
Pasal 17
Tugas Camat dalam mengoordinasikan upaya peyelenggaraan ketenteraman dan
ketertiban umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b, meliputi:
a. melakukan koordinasi dengan kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Tentara
Nasional Indonesia mengenai program dan kegiatan penyelenggaraan ketenteraman
dan ketertiban umum di wilayah kecamatan;
b. melakukan koordinasi dengan pemuka agama yang berada di wilayah kerja kecamatan
untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban umum masyarakat di wilayah
kecamatan; dan
c. melaporkan pelaksanaan pembinaan ketenteraman dan ketertiban kepada bupati/
walikota.
Pasal 18
Tugas Camat dalam mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundangundangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c, meliputi:
a. melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya
di bidang penerapan peraturan perundang-undangan;
b. melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya
di bidang penegakan peraturan perundang-undangan dan/atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia; dan
c. melaporkah pelaksanaan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan di
wilayah kecamatan kepada bupati/walikota.
Pasal 19
Tugas Camat dalam mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf d, meliputi:
a. melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan/atau instansi vertikal
yang tugas dan fungsinya di bidang pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan
umum;
b. melakukan koordinasi dengan pihak swasta dalam pelaksanaan pemeliharaan
prasarana dan fasilitas pelayanan umum; dan
c. melaporkan pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum di
wilayah kecamatan kepada bupati/walikota.
Pasal 20
Tugas Camat dalam mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat
kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e, meliputi:
a. melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di
bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan;
b. melakukan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dengan satuan kerja perangkat
daerah dan instansi vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan;
c. melakukan evaluasi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; dan
d. melaporkan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan kepada
bupati/walikota.
Pasal 21
Tugas Camat dalam membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf f, meliputi:
a. melakukan pembinaan dan pengawasan tertib administrasi pemerintahan desa
dan/atau kelurahan;
b. memberikan bimbingan, supervisi, fasilitasi, dan konsultasi pelaksanaan administrasi
desa dan/atau kelurahan;
c. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kepala desa dan/atau lurah;
d. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat desa dan/atau kelurahan;
e. melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan di tingkat
kecamatan; dan
f. melaporkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
desa dan/atau kelurahan di tingkat kecamatan kepada bupati/walikota.
Pasal 22
Tugas Camat dalam melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup
tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf g, meliputi:
a. melakukan perencanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di kecamatan;
b. melakukan percepatan pencapaian standar pelayanan minimal di wilayahnya;
c. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan kepada
masyarakat di kecamatan;
d. melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di wilayah
kecamatan;
e. melaporkan pelaksanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di wilayah kecamatan
kepada Bupati/Walikota.
BAB V
SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 23
(1) Organisasi kecamatan terdiri dari 1 (satu) sekretaris, paling banyak 5 (lima) seksi, dan
sekretariat membawahkan paling banyak 3 (tiga) subbagian.
(2) Seksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. seksi tata pemerintahan;
b. seksi pemberdayaan masyarakat dan desa; dan
c. seksi ketenteraman dan ketertiban umum.
(3) Pedoman organisasi kecamatan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.
BAB VI
PERSYARATAN CAMAT
Pasal 24
Camat diangkat oleh bupati/walikota atas usul sekretaris daerah kabupaten/kota dari
pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi
persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 25
Pengetahuan teknis pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 meliputi:
a. menguasai bidang ilmu pemerintahan dibuktikan dengan ijazah diploma/sarjana
pemerintahan; dan
b. pernah bertugas di desa, kelurahan, atau kecamatan paling singkat 2 (dua) tahun.
Pasal 26
(1) Pegawai negeri sipil yang akan diangkat menjadi Camat dan tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, wajib mengikuti pendidikan teknis
pemerintahan yang dibuktikan dengan sertifikat.
(2) Pelaksanaan pendidikan teknis pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
BAB VII
TATA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 27
(1) Camat melakukan koordinasi dengan kecamatan disekitarnya.
(2) Camat mengoordinasikan unit kerja di wilayah kerja kecamatan dalam rangka
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan untuk meningkatkan kinerja kecamatan.
(3) Camat melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah di lingkungan
pemerintah kabupaten/kota dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di
kecamatan.
Pasal 28
(1) Hubungan kerja kecamatan dengan perangkat daerah kabupaten/kota bersifat
koordinasi teknis fungsional dan teknis operasional.
(2) Hubungan kerja kecamatan dengan instansi vertikal di wilayah kerjanya, bersifat
koordinasi teknis fungsional.
(3) Hubungan kerja kecamatan dengan swasta, lembaga swadaya masyarakat, partai
politik, dan organisasi kemasyarakatan lainnya di wilayah kerja kecamatan bersifat
koordinasi dan fasilitasi.
BAB VIII
PERENCANAAN KECAMATAN
Pasal 29
(1) Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, disusun perencanaan
pembangunan sebagai kelanjutan dari hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Desa/Kelurahan.
(2) Perencanaan pembangunan kecamatan merupakan bagian dari perencanaan
pembangunan kabupaten/kota.
(3) Perencanaan pembangunan kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan secara
partisipatif.
(4) Mekanisme penyusunan rencana pembangunan kecamatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 30
(1) Kecamatan sebagai satuan kerja perangkat daerah menyusun rencana anggaran satuan
kerja perangkat daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Rencana anggaran satuan kerja perangkat daerah kecamatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun berdasarkan rencana kerja kecamatan.
(3) Rencana kerja kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan
rencana strategis kecamatan.
BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 31
Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan Kecamatan
dilaksanakan oleh bupati/walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 32
(1) Setiap tahun pemerintah kabupaten/kota melakukan evaluasi terhadap kinerja
kecamatan yang mencakup:
a. penyelenggaraan sebagian wewenang bupati/walikota yang dilimpahkan untuk
melaksanakan sebagian urusan otonomi daerah;
b. penyelenggaraan tugas umum pemerintahan; dan
c. penyelenggaraan tugas lainnya yang ditugaskan kepada camat.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh bupati/walikota
kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri.
(3) Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman
pada Peraturan Menteri Dalam Negeri.
BAB X
PENDANAAN
Pasal 33
Pendanaan tugas camat dalam penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan
pelaksanaan sebagian wewenang bupati/walikota yang dilimpahkan bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota.
Pasal 34
Pembentukan, penghapusan dan penggabungan kecamatan dibebankan pada anggaran
pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota.
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 35
Pengaturan kecamatan di Pemerintahan Aceh, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur daerah bersangkutan.
Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai pakaian dinas, tanda pangkat, dan tanda jabatan camat
diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 37
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pegawai negeri sipil yang telah
diangkat sebagai camat dan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 wajib mengikuti pendidikan teknis pemerintahan.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Februari 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Februari 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 40
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2008
TENTANG
KECAMATAN
I. UMUM
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota
itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Hubungan
wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota
atau antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, diatur dengan undang-undang
dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Selain itu Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya
menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prinsip
penyelenggaraan desentralisasi adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar
yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang luas kepada
pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat daerah. Pemerintah Daerah harus mengoptimalkan
pembangunan daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah daerah dan masyarakat di daerah
lebih diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk
mempercepat laju pembangunan daerah.
Sejalan dengan hal tersebut, maka implementasi kebijakan otonomi daerah telah
mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural, fungsional maupun kultural
dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu perubahan yang
sangat esensial yaitu menyangkut kedudukan, tugas pokok dan fungsi kecamatan yang
sebelumnya merupakan perangkat wilayah dalam kerangka asas dekonsentrasi,
berubah statusnya menjadi perangkat daerah dalam kerangka asas desentralisasi.
Sebagai perangkat daerah, Camat dalam menjalankan tugasnya mendapat pelimpahan
kewenangan dari dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota.
Pengaturan penyelenggaraan kecamatan baik dari sisi pembentukan, kedudukan, tugas
dan fungsinya secara legalistik diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sebagai perangkat
daerah, Camat mendapatkan pelimpahan kewenangan yang bermakna urusan
pelayanan masyarakat. Selain itu kecamatan juga akan mengemban penyelenggaraan
tugas-tugas umum pemerintahan.
Camat dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat kecamatan dan
bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah kabupaten/kota.
Pertanggungjawaban Camat kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah adalah
pertanggungjawaban administratif. Pengertian melalui bukan berarti Camat merupakan
bawahan langsung Sekretaris Daerah, karena secara struktural Camat berada langsung
di bawah bupati/walikota.
Camat juga berperan sebagai kepala wilayah (wilayah kerja, namun tidak memiliki
daerah dalam arti daerah kewenangan), karena melaksanakan tugas umum
pemerintahan di wilayah kecamatan, khususnya tugas-tugas atributif dalam bidang
koordinasi pemerintahan terhadap seluruh instansi pemerintah di wilayah kecamatan,
penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban, penegakan peraturan perundangundangan,
pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan, serta
pelaksanaan tugas pemerintahan lainnya yang belum dilaksanakan oleh pemerintahan
desa/kelurahan dan/atau instansi pemerintah lainnya di wilayah kecamatan. Oleh karena
itu, kedudukan camat berbeda dengan kepala instansi pemerintahan lainnya di
kecamatan, karena penyelenggaraan tugas instansi pemerintahan lainnya di kecamatan
harus berada dalam koordinasi Camat.
Camat sebagai perangkat daerah juga mempunyai kekhususan dibandingkan dengan
perangkat daerah lainnya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya untuk
mendukung pelaksanaan asas desentralisasi. Kekhususan tersebut yaitu adanya suatu
kewajiban mengintegrasikan nilai-nilai sosio kultural, menciptakan stabilitas dalam
dinamika politik, ekonomi dan budaya, mengupayakan terwujudnya ketenteraman dan
ketertiban wilayah sebagai perwujudan kesejahteraan rakyat serta masyarakat dalam
kerangka membangun integritas kesatuan wilayah. Dalam hal ini, fungsi utama camat
selain mernberikan pelayanan kepada masyarakat, juga melakukan tugas-tugas
pembinaan wilayah.
Secara filosofis, kecamatan yang dipimpin oleh Camat perlu diperkuat dari aspek sarana
prasarana, sistem administrasi, keuangan dan kewenangan bidang pemerintahan dalam
upaya penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan sebagai ciri pemerintahan
kewilayahan yang memegang posisi strategis dalam hubungan dengan pelaksanaan
kegiatan pemerintahan kabupaten/kota yang dipimpin oleh bupati/walikota. Sehubungan
dengan itu, Camat melaksanakan kewenangan pemerintahan dari 2 (dua) sumber yakni:
pertama, bidang kewenangan dalam lingkup tugas umum pemerintahan; dan kedua,
kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah.
Dengan demikian, peran Camat dalam penyelenggaraan pemerintahan lebih sebagai
pemberi makna pemerintahan di wilayah kecamatan, Atas dasar pertimbangan
demikian, maka Camat secara filosofis pemerintahan dipandang masih relevan untuk
menggunakan tanda jabatan khusus sebagai perpanjangan tangan dari bupati/walikota
di wilayah kerjanya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kajian pembentukan kecamatan dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota
dengan melibatkan unsur perguruan tinggi negeri terdekat yang ada di
kabupaten/kota atau provinsi yang bersangkutan.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Permohonan persetujuan diajukan oleh bupati/walikota kepada gubernur
sebelum penyusunan rancangan peraturan daerah tentang pembentukan
kecamatan dimaksud.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ibukota kecamatan adalah pusat
penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Lampiran peta digambarkan dengan skala 1:50.000.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kajian penghapusan dan/atau penggabungan kecamatan dilakukan oleh
pemerintah kabupaten/kota dengan melibatkan perguruan tinggi negeri terdekat
yang ada di kabupaten/kota atau provinsi yang bersangkutan.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan antara lain Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "eksternalitas" adalah kriteria pelimpahan urusan
pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan
bersifat internal kecamatan, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi
kewenangan camat.
Yang dimaksud dengan "efisiensi" adalah kriteria pelimpahan urusan
pemerintahan dengan memperhatikan daya guna tertinggi yang dapat diperoleh
dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan dilingkup kecamatan. Apabila
urusan pemerintahan lebih berdayaguna ditangani oleh kecamatan, maka urusan
tersebut menjadi kewenangan camat.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas,
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas,
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Koordinasi yang dilakukan oleh camat adalah untuk mencapa keserasian,
keselarasan, keseimbangan, sinkronisasi, dan integras keseluruhan kegiatan
pemerintahan yang diselenggarakan d kecamatan, guna mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahar kecamatan yang efektif dan efisien.
Pasal 28
Koordinasi dimaksud dapat berbentuk rapat koordinasi, permintaan, penyampaian
data, pemberian informasi, konsultasi, dan bentul lainnya.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4826
LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 19 Tahun 2008
TANGGAL : 28 Februari 2008
PENILAIAN SYARAT TEKNIS
I. FAKTOR DAN INDIKATOR PEMBENTUKAN KECAMATAN
FAKTOR INDIKATOR
1. Penduduk 1. Jumlah Penduduk
2. Luas Daerah 2. Luas wilayah keseluruhan
3. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan
3. Rentang Kendali 4. Rata-rata jarak desa ke pusat pemerintahan kecamatan
5. Rata-rata waktu perjalanan ke pusat pemerintahan kecamatan
4. Aktivitas Perekonomian 6. Jumlah bank
7. Lembaga keuangan non bank
8. Kelompok pertokoan
9. Jumlah Pasar
5. Ketersediaan Sarana
dan Prasarana
10. Rasio Sekolah Dasar per penduduk usia Sekolah Dasar
11. Rasio Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama per penduduk usia
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
12. Rasio Sekolah Lanjutan Tingkat Atas per penduduk usia
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
13. Rasio tenaga medis per penduduk
14. Rasio fasilitas kesehatan per pendudut
15. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan
bermotor atau perahu atau perahu motor atau kapal motor
16. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga
17. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor
18. Rasio sarana peribadatan per penduduk
19. Rasio fasilitas lapangan olahraga per penduduk
20. Jumlah balai pertemuan
II. CARA PENGHITUNGAN INDIKATOR
1. Jumlah Penduduk:
Semua orang yang berdomisili di suatu daerah selama 6 (enam) bulan atau lebih
dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 (enam) bulan tetapi bertujuan
menetap.
2. Luas Daerah/Wilayah Keseluruhan:
Jumlah luas daratan ditambah luas lautan
3. Wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan:
Wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kawasan budi daya di luar kawasan lindung.
4. Rata-rata jarak ke pusat pemerintahan kecamatan:
Jumlah jarak dari desa/kelurahan ke pusat pemerintahan kecamatan dibagi jumlah
desa/kelurahan.
5. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat
pemerintahan:
Jumlah waktu perjalanan dari desa/kelurahan ke pusat pemerintahan kecamatan
dibagi jumlah desa/kelurahan
6. Jumlah Bank:
Jumlah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
7. Lembaga Keuangan Non Bank:
Jumlah badan usaha selain bank, meliputi asuransi, pegadaian, dan koperasi.
8. Kelompok Pertokoan:
Sejumlah toko yang terdiri atas paling sedikit 10 (sepuluh) toko dar mengelompok.
Dalam satu kelompok pertokoan bangunan fisiknya dapat lebih dari satu.
9. Jumlah Pasar:
Prasarana fisik yang khusus dibangun untuk tempat pertemuan antara penjual dan
pembeli barang dan jasa, yang aktivitasnya rutin dilakukan setiap hari.
10. Rasio Sekolah Dasar per penduduk usia Sekolah Dasar:
Jumlah Sekolah Dasar dibagi jumlah penduduk usia 7-12 tahun.
11. Rasio Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama per penduduk usia Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama:
Jumlah sekolah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dibagi jumlah penduduk usia 13-
15 tahun.
12. Rasio Sekolah Lanjutan Tingkat Atas per penduduk usia Sekolah Lanjutan Tingkat
Atas:
Jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dibagi jumlah penduduk usia 16-18 tahun.
13. Rasio tenaga medis per penduduk:
Jumlah dokter, perawat, dan mantri kesehatan dibagi jumlah penduduk
14. Rasio fasilitas kesehatan per penduduk:
Jumlah rumah sakit, rumah sakit bersalin, poliklinik baik negeri maupun swasta
dibagi jumlah penduduk:
15. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau
perahu motor atau kapal motor:
Jumlah rumah tangga yang mernpunyai kendaraan bermotor atau perahu atau
perahu motor atau kapal motor dibagi dengan jumlah rumah tangga dikali 100.
16. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga:
Jumlah rumah tangga yang menggunakan listrik PLN dan Non PLN dibagi jumlah
rumah tangga dikali 100.
17. Rasio panjangjalan terhadap jumlah kendaraan bermotor:
Jumlah panjangjalan dibagi jumlah kendaraan bermotor.
18. Rasio sarana Peribadatan per penduduk:
Jumlah masjid, gereja, pura, vihara dibagi jumlah penduduk.
19. Rasio fasilitas lapangan olah raga per penduduk:
Jumlah lapangan bulu tangkis, sepak bola, bola volly, dan kolam renang dibagi
jumlah penduduk.
20. Balai Pertemuan:
Tempat (gedung) yang digunakan untuk pertemuan masyarakat melakukan berbagai
kegiatan interaksi sosial.
III. METODE PENILAIAN
1. Penilaian yang digunakan adalah sistem skoring, untuk pembentukan kecamatan
baru terdiri dari dua macam metode yaitu: (1) Metode Rata-rata, dan (2) Metode
Kuota.
2. Metode rata-rata adalah metode yang membandingkan besaran/nilai tiap calon
kecamatan dan kecamatan induk terhadap besaran/nilai rata-rata keseluruhan
kecamatan di kabupaten/kota. Dalam hal terdapat kecamatan yang memiliki
besaran/nilai indikator yang sangat berbeda (di atas 5 kali dari besaran/nilai
terendah), maka besaran/nilai tersebut tidak diperhitungkan.
3. Metode Kuota adalah metode yang menggunakan angka tertentu sebagai kuota
penentuan skoring baik terhadap calon kecamatan maupun kecamatan induk.
Untuk daerah kabupaten, kuota jumlah penduduk kecamatan untuk pembentukan
kecamatan adalah 10 (sepuluh) kali rata-rata jumlah penduduk desa/kelurahan
seluruh kecamatan di kabupaten yang bersangkutan.
Untuk daerah kota, kuota jumlah penduduk kecamatan untuk pembentukan
kecamatan adalah 5 (lima) kali rata-rata jumlah penduduk desa/kelurahan seluruh
kecamatan di kota yang bersangkutan.
Semakin besar perolehan besaran/nilai calon kecamatan dan kecamatan induk
(apabila dimekarkan) terhadap kuota pembentukan kecamatan, maka semakin
besar skornya.
4. Setiap indikator mempunyai skor dengan skala 1-5, dimana skor 5 masuk dalam
kategori sangat mampu, skor 4 kategori mampu, skor 3 kategori kurang mampu, skor
2 kategori tidak mampu dan skor 1 kategori sangat tidak mampu.
5. Pemberian skor 5 apabila besaran/nilai indikator lebih besar atau sama dengan 80%
besaran/nilai rata-rata, pemberian skor 4 apabila besaran/nilai indikator lebih besar
atau sama dengan 60% besaran/nilai rata-rata, pemberian skor 3 apabila
besaran/nilai indikator lebih besar atau sama dengan 40% besaran/nilai rata-rata,
pemberian skor 2 apabila besaran/nilai indikator lebih besar atau sama dengan 20%
besaran/nilai rata-rata, pemberian skor 1 apabila besaran/nilai indikator kurang dari
20% besaran/nilai rata-rata.
IV. PEMBOBOTAN
Setiap faktor dan indikator mempunyai bobot yang berbeda-beda sesuai dengan
perannya dalam pembentukan kecamatan.
1. Bobot untuk masing-masing faktor dan indikator:
No. FAKTOR DAN INDIKATOR BOBOT
1. Penduduk 20
1. Jumlah pendudk 20
2. Luas daerah 10
1. Luas wilayah keseluruhan 5
2. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan 5
3. Rentang Kendali 20
1. Rata-rata jarak desa ke pusat pemerintahan kecamatan
(ibukota kecamatan)
10
2. Rata-rata waktu perjalanan dari desa ke pusat pemerintahan
(ibukota kecamatan)
10
4. Aktivitas perekonomian 10
1. Jumlah bank 2
2. Jumlah lembaga keuangan bukan bank 2
3. Jumlah kelompok pertokoan 2
4. Jumlah pasar 4
5. Ketersediaan Sarana dan Prasarana 40
1. Rasio Sekolah Dasar per penduduk usia Sekolah Dasar 4
2. Rasio Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama per penduduk usia
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
4
3. Rasio Sekolah Lanjutan Tingkat Atas per penduduk usia
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
4
4. Rasio fasilitas kesehatan per penduduk 4
5. Rasio tenaga medis per penduduk 4
6. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan
bermotor atau perahu atau perahu motor atau kapal motor
3
7. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga 3
8. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor 3
9. Rasio sarana peribadatan per penduduk 4
10. Rasio fasilitas lapangan olahraga per penduduk 3
11 . Jumlah balai pertemuan 4
Total 100
2. Nilai indikator adalah hasil perkalian skor dan bobot masing-masing indikator.
Kelulusan ditentukan oleh total nilai seluruh indikator dengan kategori:
Kategori Total Nilai Seluruh Indikator Keterangan
Sangat Mampu 420 s/d 500 Rekomendasi
Mampu 340 s/d 419 Rekomendasi
Kurang Mampu 260 s/d 339 Ditolak
Tidak mampu 180 s/d 259 Ditolak
Sangat Tidak Mampu 100 s/d 179 Ditolak
3. Suatu calon kecamatan direkomendasikan menjadi kecamatan baru apabila calon
kecamatan dan kecamatan induknya (setelah pemekaran) mempunyai total nilai
seluruh indikator dengan kategori sangat mampu (420-500) atau mampu (340-419).
4. Usulan pembentukan kecamatan ditolak apabila calon kecamatan atau kecamatan
induknya (setelah pemekaran) mempunyai total nilai seluruh indikator dengan
kategori kurang mampu (260-339), tidak mampu (180-259) dan sangat tidak mampu
(100-179),
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO