Tentang Medika

Foto saya
Bandung, jawa barat, Indonesia
Mencoba memenuhi keingitahuan terhadap kegiatan Pemerintahan, dengan membahas hal-hal umum sampai yang mendetail mengenai kultur,struktur serta prosedur dalam proses penyelenggaraannya

Sabtu, 29 Oktober 2011

KINERJA APARATUR PEMERINTAH

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja aparatur Kinerja merupakan penampilan hasil kerja pegawai baik secara kuantitas maupun kualitas. Kinerja dapat berupa penampilan kerja perorangan maupun kelompok (Ilyas, 1993). Kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi kinerja sejumlah individu dalam organisasi. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi (determinan) kinerja individu, perlu dilakukan pengkajian terhadap teori kinerja. Secara umum faktor fisik dan non fisik sangat mempengaruhi. Berbagai kondisi lingkungan fisik sangat mempengaruhi kondisi karyawan dalam bekerja. Selain itu, kondisi lingkungan fisik juga akan mempengaruhi berfungsinya faktor lingkungan non fisik. Pada kesempatan ini pembahasan kita fokuskan pada lingkungan non-fisik, yaitu kondisi-kondisi yang sebenarnya sangat melekat dengan sistem manajerial. Menurut Prawirosentono (1999) kinerja seorang pegawai akan baik, jika pegawai mempunyai keahlian yang tinggi, kesediaan untuk bekerja, adanya imbalan/upah yang layak dan mempunyai harapan masa depan. Secara teoritis ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu, yaitu: variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Menurut Gibson (1987). Kelompok variabel individu terdiri dari variabel kemampuan dan ketrampilan, latar belakang pribadi dan demografis. Menurut Gibson (1987), variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu. Sedangkan variabel demografis mempunyai pengaruh yang tidak langsung. Kelompok variabel psikologis terdiri dari variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini menurut Gibson (1987) banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Kelompok variabel organisasi menurut Gibson (1987) terdiri dari variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. Menurut Kopelman (1986), variabel imbalan akan berpengaruh terhadap variabel motivasi, yang pada akhirnya secara langsung mempengaruhi kinerja individu. Penelitian Robinson dan Larsen (1990) terhadap para pegawai penyuluh kesehatan pedesaan di Columbia menunjukkan bahwa pemberian imbalan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap kinerja pegawai dibanding pada kelompok pegawai yang tidak diberi. Menurut Mitchell dalam Timpe (1999), motivasi bersifat individual, dalam arti bahwa setiap orang termotivasi oleh berbagai pengaruh hingga berbagai tingkat. Mengingat sifatnya ini, untuk peningkatan kinerja individu dalam organisasi, menuntut para manajer untuk mengambil pendekatan tidak langsung, menciptakan motivasi melalui suasana organisasi yang mendorong para pegawai untuk lebih propduktif. Suasana ini tercipta melalui pengelolaan faktor-faktor organisasi dalam bentuk pengaturan sistem imbalan, struktur, desain pekerjaan serta pemeliharaan komunikasi melalui praktek kepemimpinan yang mendorong rasa saling percaya. 2. Kinerja kelembagaan/organisasi Menurut Brown dan Coulter (1983:50) ada dua pendekatan berbeda yang umum digunakan dalam menganalisis dan mengukur kinerja organisasi publik. Pendekatan pertama adalah mengukur kinerja dengan menggunakan data dan informasi yang berasal dari dalam organisasi pemerintah yang diukur tersebut. Seringkali dihubungkan dengan model produksi seperti pada Gambar 1, pendekatan pertama ini dikenal sebagai pengukuran objektif dengan dua indikator utama yaitu efisiensi dan efektivitas (Carter dkk. 1992:35; Downs dan Larkey 1986:5; Brown dan Coulter 1983:50). Efisiensi dan efektivitas dapat dikatakan sebagai dua istilah yang paling populer digunakan dalam pengukuran kinerja organisasi pemerintah walaupun kedua istilah ini seringkali digunakan secara tidak tepat (Mulreany 1991:7). Secara umum efisiensi didefinisikan dan diukur dari perbandingan input dan output atau rasio di mana input diubah menjadi output (Carter dkk. 1992:37; Mulreany 1991:8; Boyle 1989:19; Gleason dan Barnum 1982:380). Berdasarkan definisi ini, efisiensi organisasi dapat dicapai dengan meminimalkan input dan mempertahankan output atau dengan mempertahankan input tetapi memaksimalkan output atau secara bersamaan meminimalkan input dan memaksimalkan output. Namun, banyak yang berpendapat bahwa penggunaan istilah efisiensi umumnya hanya dilihat satu sisi yaitu dalam arti meminimalkan input atau mengurangi biaya untuk menghasilkan sejumlah tertentu output (input efficiency). Istilah efisiensi jarang digunakan dalam arti memaksimalkan output atau meningkatkan pelayanan dengan menggunakan sejumlah tertentu input (output efficiency) (McGowan 1984:19; Boyle 1989:19; Carter, Klein dan Day 1992:38). Dalam kajian-kajian ilmu ekonomi, memaksimalkan output dan mempertahankan input (output efficiency) lebih dikenal sebagai produktivitas (Pass dkk. 1993:436-7). Sumber: Boyle, R., 1989. Managing Public Sector Performance: a comparative study of performance monitoring systems in the public and private sector, Institute of Public Administration, Dublin:17. Selain itu, dalam kajian-kajian menyangkut kinerja organisasi dikenal juga istilah efisiensi produksi dan efisiensi distrbusi (Mulreany 1991). Efisiensi produksi atau disebut juga efisiensi teknis, efisiensi X, efisiensi manajerial, atau efisiensi internal tercapai apabila organisasi dapat menghasilkan output dengan biaya semurah mungkin. Dengan kata lain, efisiensi produksi inilah sebenarnya yang dimaksudkan dengan efisiensi (Goldsmith 1996:26). Selanjutnya, efisiensi alokasi (allocative efficiency) tercapai apabila semua output organisasi dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebaliknya, akan terjadi inefisiensi alokasi apabila output organisasi pemerintah tidak dimanfaatkan oleh masyarakat seperti rumah-rumah guru sekolah yang dibangun tetapi tidak dimanfaatkan atau tangki-tangki air bersih yang dibangun tetapi tidak digunakan karena kering. Jika dibandingkan dengan efisiensi, definisi efektivitas lebih problematik dan membingungkan. Pada organisasi publik, tujuan organisasi yang kurang jelas dan sering saling bertentangan sehingga semakin menyulitkan untuk menyepakati definisi efektivitas yang dapat diterima secara luas. Meskipun demikian, menurut Cameron (1981a:45) sedikitnya ada empat pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan dan mengukur efektivitas organisasi. Pertama dan paling umum digunakan adalah mengukur efektivitas dengan sejauh mana sebuah organisasi mencapai tujuan atau target yang sudah ditetapkan yang disebut dengan Goal Model (Mulreany 1991:19; Boyle 1989:19-20; Downs dan Larkey 1986:7; Gleason dan Barnum 1982:380). Pendekatan ini mengasumsikan bahwa tujuan-tujuan organisasi jelas dan dapat diukur (clear and measurable objectives) serta semakin banyak tujuan dan target organisasi dapat dicapai maka semakin efektiflah organisasi tersebut. Tetapi karena tidak semua organisasi publik memiliki tujuan yang jelas dan terukur maka pencapaian tujuan dianggap kurang relevan untuk mengukur efektivitas organisasi pemerintah. Pendekatan kedua mengukur efektivitas organisasi, menurut Cameron (1981b:4), disebut System-Resource Model yaitu suatu organisasi dapat dikatakan efektif apabila organisasi tersebut mampu memperoleh semua sumber daya yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan organisasi tersebut. Semakin banyak sumber daya yang dapat dikumpulkan oleh sebuah organisasi dari lingkungannya maka semakin efektiflah organisasi tersebut. Dengan kata lain, kalau pendekatan Goal Model menekankan pada output maka pendekatan System-Resource Model mengutamakan pada input. Pendekatan ketiga untuk mengukur efektivitas organisasi disebut Internal Process Model yang menekankan pada proses dan mekanisme kerja dalam organisasi. Menurut model ini, sebuah organisasi dapat dikatakan efektif apabila proses dan mekanisme kerja di dalam organisasi tersebut berlangsung damai. Hal ini ditandai dengan adanya saling percaya di antara pegawai dan lancarnya arus informasi horizontal dan vertikal di dalam organisasi (Cameron 1981b:4). Pendekatan keempat dan terakhir dalam mengukur efektivitas organisasi adalah Stategic-Constituencies Model yang mengukur efektivitas suatu organisasi dengan sejauh mana organisasi tersebut dapat memuaskan stakeholder-nya. Stakeholder ini terdiri dari orang-orang yang menyediakan input untuk organisasi atau yang menggunakan output dari organisasi atau yang memiliki kerjasama dengan organisasi atau individu yang peranannya sangat penting bagi kelangsungan hidup organisasi (Cameron 1981b:4). 3. Kinerja kepegawaian/SDM Kepegawaian dalam era otonomi daerah merekomendasikan manajemen kepegawaian yang diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna. Pada era otonomi daerah ini ditegaskan sistem pembinaan karir tertutup dalam arti negara. Dengan demikian Pegawai Negeri Sipil dilihat sebagai satu kesatuan, yang hanya berbeda tempat pekerjaannya. Dalam sistem ini dimungkinkan perpindahan dari suatu departemen/lembaga/provinsi/ kabupaten/kota ke departemen/lembaga/provinsi/kabupaten/kota lainnya Kebijakan pengembangan sumber daya aparatur negara sangat diperlukan bukan saja untuk menghadapi berbagai perubahan strategik ditingkat nasional dan internasional, tetapi terlebih lagi untuk mengisi pelaksanaan otonomi daerah. Pada dasarnya langkah kebijakan tersebut berintikan pada pembangunan SDM aparatur negara yang professional, netral dari pengaruh kekuatan politik, berwawasan global, bermoral tinggi, serta mempunyai kemampuan berperan sebagai perekat kesatuan dan persatuan bangasa serta Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). -Hambatan dan Tantangan Sistem Kepegawaian Dalam perkembangan keadaan saat ini, diperkirakan akan timbul berbagai masalah yang menyangkut kepegawaian sebagai dampak berlakunya otonomi daerah. Dari berbagai permasalahan yang ada, akan menonjol berbagai persoalan utama yang meliput: (a) Dengan adanya desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada daerah, ada kemungkinan jumlah dan struktur PNS di daerah menjadi tidak terkendali. Apalagi bila dalam pengangkatan pegawai baru dan promosi serta mutasi tidak mengikuti prinsip “merit sistem” tetapi lebih pada “marriage sistem (sistem kekeluargaan)” yang dianut oleh pemerintah pusat selama ini. Karena sulit meninggalkan paradigma lama yang telah berakar selama 33 tahun itu, kewenangan yang besar kepada daerah tersebut dimungkinkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000 yang memungkinkan Gubernur, Bupati dan Walikota mengangkat dan memberhentikan PNS di daerahnya mulai dari pangkat I/a sampai dengan golongan IV/e, Pembina Utama. Suatu kewenangan yang sebelum terbit Peraturan Pemerintah ini, hanya dimiliki oleh Presiden dan dilakukan secara terpusat. (b) Kualitas PNS daerah akan sangat bervariasi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Akibat dari kewenangan dalam butir (a) tersebut. Apalagi kalau mobilitas PNS antar daerah terhambat sebagai akibat dari “Daerah sentrisme”. Tanpa kualitas memadai serta mobilitas yang tidak dimungkinkan ini, maka pembinaan karier PNS yang selama ini telah terjaga dan terjamin baik, kemungkinan besar akan terkorbankan. Apalagi dengan pemerintahan koalisi yang multi partai, pemimpin pemerintahan di daerah tidak akan terlepas dari “sindrom” kepartaian. (c) Dalam waktu lima tahun kedepan, manajemen kepegawaian di daerah masih perlu banyak pembenahan. Namun sebagai akibat dari butir (b) tersebut kapasitas kelembagaan daerah untuk menyelenggarakan manajemen kepegawaian ini masih menjadi pertanyaan besar. Karena manajemen kepegawaian yang baik harus dilaksanakan oleh suatu badan yang netral, tidak terimbas pengaruh politik dan tunduk pada salah satu kekuatan politik. Ditambah dengan daya serap daerah yang masih sangat terbatas, kerancuan dan kekacauan manajemen kepegawaian diperkirakan menimbulkan masalah sisi lain dari otonomi dan desentralisasi, apabila manajemen dan administrasi kepegawaian tidak dikembalikan terpusat. Paling tidak untuk lima tahun kedepan. Akar permasalahan buruknya kepegawaian negara di Indonesia pada prinsipnya terdiri dari dua hal penting: (1) persoalan internal sistem kepegawaian negara itu sendiri, (2) persoalan eksternal yang mempengaruhi fungsi dan profesiolisme kepegawaian negara. Dan situasi problematis terkait dengan persoalan internal sistem kepegawaian dapat dianalisis dengan memperhatikan subsistem yang membentuk kepegawaian negara. Subsistem kepegawaian negara terdiri dari: (1) rekrutmen, (2) penggajian dan reward, (3) pengukuran kinerja, (4) promosi jabatan, (5) pengawasan. Kegagalan pemerintah untuk melakukan reformasi terkait dengan subsistem-subsistem tersebut telah melahirkan birokrat-birokrat yang dicirikan oleh kerusakan moral (moral hazard) dan juga kesenjangan kemampuan untuk melakukan tugas dan tanggungjawabnya (lack of competencies). Persoalan rekrutmen merupakan persoalan utama bagi manajemen kepegawaian di Indonesia. Rekrutmen yang tidak tepat akan berakibat pada pemborosan anggaran dan menghambat kinerja organisasi untuk waktu yang akan datang. Sistem penggajian dan reward juga memegang peran yang penting bagi sinergitas organisasi pada umumnya dan kinerja instansi pada khususnya. Apalagi dengan adanya standar penilaian kinerja yang harus di-up to date, dalam arti standar penilaian yang sudah ada (DP3) sudah tidak relevan lagi digunakan untuk seluruh satuan kerja instansi pemerintah dalam semua lingkup kerja. Standar penilaian kerja perlu diperbaharui agar sesuai dengan tuntutan dan kemajuan dunia kerja. Promosi jabatan dengan netralitas kepegawaian sehingga berakibat rasa keadilan bagi seluruh PNS merupakan salah satu upaya yang dapat mewujudkan kinerja kepegawaian yang maksimal. Dan persoalan yang tidak kalah penting adalah persoalan pengawasan. Dalam manajemen kepegawaian, pengawasan dimaksudkan untuk menjamin berlangsungnya iklim kerja yang kondusif dan responsif terhadap segala jenis perubahan baik perubahan dari lingkungan internal maupun lingkungan eksternal organisasi. -Isu Putra Daerah Isu Putra daerah merupakan isu yang paling mengemuka dalam sistem kepegawaian di Indonesia pasca kebijakan desentralisasi diberlakukan di Indonesia. Putra daerah mengandung makna bahwa setiap daerah biasanya melakukan suatu sistem rekrutmen kepegawaiannya dengan mendasarkan pada asal seseorang calon pegawai tersebut dari daerah yang bersangkutan. Hal ini mensyaratkan adanya kepemilikan KTP daerah tertentu untuk dapat melamar suatu pekerjaan, khususnya pada instansi pemerintah. Kebijakan putra daerah ini tentu saja mempunyai nilai positif dan negarif. Nilai positifnya, ketika warga dalam suatu daerah tersebut bisa memperoleh pekerjaan dan pengangguran di suatu daerah akan berkurang. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang sangat populis ketika diterapkannya otonomi daerah, apalagi dengan adanya pemekaran wilayah yang merupakan surga bagi para pencari kerja bagi masyarakat di daerah yang bersangkutan. Nilai negatifnya adalah bahwa terkadang pola rekrutmen di suatu daerah kurang memperhatikan standar kompetensi calon pelamar sehingga tentu saja akan berakibat pada kompetensi masing-masing calon pencari kerja. Akibat lebih lanjut adalah pemborosan biaya karena harus mengeluarkan anggaran untuk meng-up grade calon pegawai tersebut agar sesuai dengan standar kompetensi di daerah lain. Implikasi lebih lanjut adalah kinerja organisasi menjadi kurang optimal. Inilah yang menjadi Pekerjaan Rumah yang berat bagi pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah agar dalam pemberdayaan putra daerah tersebut tetap memperhatikan standar kompetensi pegawai. Desentralisasi mensyaratkan pola rekrutmen berada di tangan pemerintah daerah. Namun, hal itu tentu saja tidak dapat berjalan dengan mulus karena adanya permasalahan yang ada di daerah. Kesiapan dari daerah merupakan kunci utama untuk menjalankan sistem kepegawaian yang diserahkan langsung kepada pemerintah daerah. Di sini, daerah harus bekerja ekstra keras untuk menggali potensi yang ada di daerahnya terutama potensi sumber daya manusia daerah. Pemerintah daerah harus jeli melihat peluang dan tantangan yang kemungkinan muncul di suatu daerah tertentu.
selengkapnya baca.....

MODEL REMUNERASI YANG IDEAL


1. Latar belakang Remunerasi pemerintahan adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kebijakan Reformasi Birokrasi. Dilatarbelakangi oleh kesadaran sekaligus komitmen pemerintah untuk mewujudkan clean and good governance. Namun pada tataran pelaksanaannya, Perubahan dan pembaharuan yang dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa tersebut tidak mungkin akan dapat dilaksanakan dengan baik (efektif) tanpa kesejahteraan yang layak dari pegawai yang mengawakinya. Perubahan dan pembaharuan tersebut. dilaksanakan untuk menghapus kesan Pemerintahan yang selama ini dinilai buruk. Antara lain ditandai oleh indikator: • Buruknya kualitas pelayanan publik (lambat, tidak ada kepastian aturan/hukum, berbelit belit, arogan, minta dilayani atau feodal style, dsb.) • Sarat dengan perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) • Rendahnya kualitas disiplin dan etos kerja aparatur negara. • Kuaiitas.manajemen pemerintahan yang tidak produktif, tidak efektif dan tidak efisien. • Kualitas pelayanan publik yang tidak akuntabel dan tidak transparan. Remunerasi bermakna sangat strategis terhadap suksesnya Reformasi birokrasi, mengingat dampak paling signifikan terhadap kinerja lembaga akan sanga ditentukan oleh perubahan kultur birokrasi didalam melaksanakan tugas pokoknya. Sedangkan keberhasilan merubah kultur tersebut. akan sangat ditentukan oleh tingkat kesejahteraan anggotanya. Namun tanpa iming-iming Remunerasi, sesungguhnya Reformasi birokrasi sudah dilaksanakan sejak tahun 2002 yang lalu. Yaitu dengan mencanangkan dan melaksanakan beberapa perubahan dan pembaharuan dibidang instrumental, bidang struktural dan bidang kultural pegawai. Prinsip dasar kebijakan Remunerasi adalah adil dan proporsional. Artinya kalau kebijakan masa laiu menerapkan pola sama rata (generalisir), sehingga dikenal adanya istilan PGPS (pinter goblok penghasilan sama). Maka dengan kebijakan Remunerasi, besar penghasilan (reward) yang diterima oleh seorang pejabat akan sangat ditentukan oleh bobot dan harga jabatan yang disandangnya.(dni/cnj) Secara garis besar yang mendasari munculnya kebikakan remunerasi bagi pegawai negeri adalah: • Amanat Undang-undang No. 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian bahwa system penggajian Pegawai Negeri adalah berdasarkan merit yang disebutkan dlm pasal 7 • ayat 1 : Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggungjawabnya • ayat (2) : Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya. • Struktur gaji kurang memenuhi prinsip “equity” karena gaji tidak dikaitkan dengan kompetensi dan prestasi; • Struktur gaji kurang ideal dan ratio gaji terendah dan tertinggi terlalu kecil (1:3,3); • Sistem pensiun yang kurang menjamin kesejahteraan PNS setelah memasuki masa purna bakti • Gaji PNS kurang kompetitif di bandingkan dengan gaji di sector swasta, khususnya untuk tingkat manajer dan pimpinan; • Besarnya gaji tidak memenuhi prinsip “equity” karena gaji tidak dikaitkan dengan kompetensi dan prestasi, namun didasarkan pada pangkat dan masa kerja; • Struktur gaji kurang mendorong motivasi kerja karena jarak antara gaji terendah dan gaji tertinggi terlalu pendek (ratio 1:3,3) sehingga kenaikan pangkat hanya diikuti dengan kenaikan penghasilan dalam jumlah yang tidak berarti; • Tunjangan jabatan struktural yang besar menimbulkan kompetisi yang tidak sehat. • kurang transparan karena disamping gaji PNS masih menerima sejumlah honorarium dari pos non-gaji Sesuai dengan Undang-undang NO. 17 tahn 2007, tentang Rencana pembangunan Nasional jangka panjang 2005-2025 dan Peraturan Meneg PAN, Nomor : PER/15/M.PAN/7/2008, tentang Pedoman umum Reformasi birokrasi. Kebijakan Remunerasi diperuntukan bagi seluruh Pegawai negeri di seluruh lembaga pemerintahan. Yang berdasarkan urgensinya dikelompokan berdasarkan skala prioritas ke dalam tiga kelompok : 1. Prioritas pertama adalah seluruh Instansi Rumpun Penegak Hukum, rumpun pengelola Keuangan Negara, rumpun Pemeriksa dan Pengawas Keuangan Negara serta Lembaga Penertiban Aparatur Negara. 2. Prioritas kedua adalah Kementrian/Lembaga yang terkait dg kegiatan ekonomi, sistem produksi, sumber penghasil penerimaan Negara dan unit organisasi yang melayani masyarakat secara langsung termasuk Pemda. 3. Prioritas ketiga adalah seluruh kementrian/lembaga yang tidak termasuk prioritas pertama dan kedua. Remunerasi merupakan motivator yang penting dalam mempengaruhi bagaimana dan mengapa orang bekerja pada suatu organisasi dan bukan pada organisasi lainnya. Kebijakan dan sistem remunerasi yang efektif dapat membantu organisasi untuk dapat mencapai tujuan-tujuan, di antaranya mampu menarik tenaga kerja yang berkualitas baik dan dapat mempertahankannya untuk memiliki komitmen terhadap organisasi, memotivasi tenaga kerja untuk dapat berprestasi tinggi, mendorong adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan membantu mengendalikan biaya imbalan tenaga kerja, Remunerasi mencakup semua pengeluaran yang dikeluarkan oleh organisasi untuk pegawai dan diterima atau dinikmati oleh pegawai, baik secara langsung, rutin atau tidak langusng. 2. Tujuan Dan Sasaran Perbaikan Sistem Remunerasi Pegawai Negeri Tujuan : menyiapkan dan menerapkan sistem remunerasi yang memenuhi prinsip-prinsip merit, equity, kompetitif guna meningkatkan profesionalisme dan memacu kinerja PNS. Sasaran: tersusunnya sistem remunerasi yang dapat mendorong peningkatan profesionalisme dan kinerja PNS serta dorongan untuk tidak melakukan korupsi. 3. Tiga konsep dalam sistem remunerasi Pay for position, pay for people dan pay for performance. Pay for position artinya membayar seseorang sesuai dengan posisi dan jabatannya. Biasanya dihitung dengan rumus tertentu, berupa gaji pokok dan tunjangan tertentu untuk posisi dan jabatannya. Lalu, pay for people, membayar sesuai dengan keunggulan yang dimiliki karyawan. Karyawan dengan keahlian khusus memperoleh tunjangan khusus. Dan pay for performance, membayar sesuai dengan prestasi atau kinerja karyawan – biasanya berbentuk bonus prestasi. Dalam menentukan standar penggajian untuk setiap posisi atau jabatan, sering kali tidak menggunakan indikator spesifik, misalnya job grading atau job value seperti kompetensi yang dipersyaratkan, tingkat risiko kerja dan besarnya tanggung jawab. “Kebanyakan masih menggunakan metode perkiraan, padahal bisa dihitung dengan cermat menggunakan beberapa indikator,”. Pada bonus untuk pay for performance, sering indikator kinerja tidak jelas atau masih bersifat normatif sehingga sulit diukur. “Ini menyebabkan bonus yang dibagikan pun sering dianggap tidak adil oleh karyawan karena tidak menggunakan indikator kinerja yang terukur. Pada dasarnya fungsi sistem remunerasi adalah attracting (menarik talenta dari luar organisasi), developing (mengembangkan kompetensi), motivating (mendorong kinerja) dan retaining (mempertahankan karyawan agar tidak hengkang). Konsepnya harus seimbang dan adil di internal organisasi dan setara dibanding pasar tenaga kerja (external equity). Sejauh ini masih jarang perusahaan di Indonesia yang memberikan kompensasi bagi peningkatan kompetensi seseorang (pay for person). Selain itu, banyak yang masih mencampuradukkan antara kompensasi untuk posisi (pay for position) dengan kinerja (pay for performance) seseorang. “Paradigma yang salah dimulai dengan asumsi bahwa kompetensi yang tinggi akan memberikan kinerja yang tinggi. Padahal kompetensi tidak berbanding lurus dengan kinerja,”. 4. Konsep Merit Pay dan Penilaian Kinerja Kata merit berasal dati bahasa inggris yang memiliki arti jasa, manfaat serta prestasi. Dengan demikian Merit Pay merupakan pembayaran imbalan (reward) yang dikaitkan dengan jasa atau prestasi kerja (kinerja) seseorang atau manfaat yang telah diberikan karyawan kepada organisasi. Secara sederhana konsep merit pay merupakan sistem pembayaran yang mengkaitkan imbalan (reward) dengan prestasi kerja (performacne) karyawan.
Implikasi dari konsep merit pay bahwa seseorang yang memiliki kinerja yang baik, maka akan memperoleh imbalan yang lebih tinggi begitu pula sebaliknya. Artinya, semakin tinggi kinerja yang diraih karyawan akan semakin tinggi pula kenaikan imbalannya. Perencanaan merit pay merupakan prosedur untuk membedakan gaji yang didasarkan kinerja yakni sistem kompensasi yang didasarkan gaji individual atau gaji yang diukur melebihi periode tertentu.Untuk pembayaran didasarkan perstasi atau kinerja yang merupakan bagian dari sistem pembayaran reguler maka para pekerja harus dievaluasi secara reguler kinerjanya (performance appraisal).
Penilaian kinerja karyawan merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan manajemen agar merit pay dapat diterapkan dengan baik, sebab asumsi umum dalam bisnis bahwa merit pay merupakan pembayaran imbalan kepada karywan yang memiliki kinerja tinggi serta pemberian insentif untuk kelanjutan kinerja yang baik. Untuk mengetahui kinerja karyawan tersebut tinggi atau rendah diperlukan penilaian yang baik dari pihak manajemen. Sebab jika sistem penilaian tidak baik, maka penerapan merit pay juga tidak akan efektif. Jadi salah satu kunci bekerjanya sistem merit pay akan tergantung pada seberapa baik sistem penilaian kinerja (performance appraisal) dalam organisasi tersebut (Brookes,1993). Hal ini dikemukakan oleh Wilkerson (1995) bahwa kebanyakan penilaian kinerja selama ini tidak bisa diterima karena memiliki kelemahan, yakni : 1. Pekerja staff,manajer diikat banyak sistem,proses dan orang. Tetapi fokus penilaian kinerja hanya pada individu, hal ini menghasilkan penilaian yang bersifat individual bukan bukan sebagai suatu sistem dalam suatu organisasi. 2. Penilaian kinerja menganggap sistem dalam organisasi tersebut konsisten, dan dapat diprediksi. Padahal dalam kenyataan sistem dan proses merupakan subyek yang dapat berubah karena secara sadar manajemen harus melakukan perubahan sesuai dengan kemampuannya serta tuntutan bisnis. 3. Penilaian kinerja menuntut persyaratan proses penilaian yang obyektif,konsisten dapat dipercaya serta adil,tetapi disisi lain penilaian kinerja akan dapat dilihat karyawan sebagai hal yang memdadak dan didasarkan favoritisme. Schuler dan Jackson (1999) menganjurkan agar sebelum menerapkan sistem imbalan berdasarkan kinerja perlu melakukan penilaian yang mendalam terhadap pertanyaan-pertanyaan ini.
Terdapat sepuluh pertanyaan yang harus dijawab sebelum menerapkan sistem imbalan berdasarkan kinerja, yakni : (1) Apakah pembayaran dinilai oleh karyawan. (2) Apakah sasaran yang akan dicapai oleh sistem imbalan berdasarkan kinerja. (3) Apakah nilai-nilai organisasi menguntungkan bagi sistem pembayaran kinerja. (4) Dapatkah kinerja diukur secara akurat. (5) Seberapa sering kinerja diukur dan di evaluasi. (6) Tingkat kesatuan apa (individu,kelompok, atau organisasi) yang akan digunakan untuk mendistribusikan imbalan. (7) Bagaimana bayaran akan dikaitkan dengan kinerja (misalnya: melalui peningkatan jasa,bonus,komisi atau insentif) (8) Apakah organisasi mempunyai sumber keuangan yang memadai untuk membuat agar pembayaran berdasarkan kinerja bermakna. (9) Tahap-tahap apa saja yang akan ditempuh untuk memastikan bahwa karyawan dan manajemen punya komitmen terhadap sistem itu (10) Serta tahap-tahap apa saja yang akan ditempuh untuk memantau dan mengendalikan sistem itu.
Agar penilaian kinerja dapat dilaksanakan dengan baik diperlukan metode yang memenuhi persyaratan dibawah ini, yakni : (1) Yang diukur adalah benar-benar prestasi dan bukan faktor-faktor lain, seperti yang menyangkut pribadi seseorang. (2) Menggunakan tolokukur yang jelas dan yang pasti menjamin bahwa pengukuran itu bersifat obyektif. (3) Dimengerti,dipahami dan dilaksanakan sepenuhnya oleh semua anggota organisasi yang terlibat. (4) Dilaksanakan secara konsisten, dan didukung sepenuhnya oleh pimpinan puncak organisasi (Ruky,1996)
5. Permasalahan
SISTEM REMUNERASI SAAT INI:
 Besarnya gaji kurang memenuhi kebutuhan untuk hidup layak (terendah Rp760.500 dan tertinggi Rp2.405.400);
 Gaji PNS kurang kompetitif di bandingkan dengan gaji di sektor swasta, khususnya untuk tingkat manajer dan pimpinan;
 Besarnya gaji tidak memenuhi prinsip “equity” karena gaji tidak dikaitkan dengan kompetensi dan prestasi, namun didasarkan pada pangkat dan masa kerja;
 Struktur gaji kurang mendorong motivasi kerja karena jarak antara gaji terendah dan gaji tertinggi terlalu pendek (ratio 1:3,3) sehingga kenaikan pangkat hanya diikuti dengan kenaikan penghasilan dalam jumlah yang tidak berarti;
 Tunjangan jabatan struktural yang besar menimbulkan kompetisi yang tidak sehat.
 Kurang transparan karena disamping gaji PNS masih menerima sejumlah honorarium dari pos non-gaji sehingga:
• terjadi distorsi dalam sistem penggajian;
• jumlah anggaran untuk belanja pegawai sulit diketahui secara pasti dan sulit dipertanggung jawabkan kepada publik.

6. Remunerasi Yang Ideal
Arah Kebijakan Jangka Panjang, program reformasi remunerasi Pegawai Negeri diharapkan dapat diarahkan pada sistem remunerasi yang adil dan transparan dengan:
 Merumuskan struktur gaji berdasarkan klasifikasi jabatan dan bobot jabatan (harga jabatan);
 Merumuskan jenis tunjangan yang dianggap layak untuk diberikan kepada PNS.
 Mengkaitkan sistem penggajian dengan sistem penilaian kinerja dengan tujuan untuk memacu prestasi dan motivasi kerja.
 Menata sumber-sumber pembiayaan gaji agar tercipta transparansi dalam system penggajian dan mendorong pengintegrasian anggaran rutin dan pembangunan agar tersedia dana yang cukup bagi pembayaran gaji PN secara layak. Dengan penerapan struktur gaji Pegawai Negeri ini maka tidak ada lagi honor-honor, dan penghasilan lain diluar gaji dan tunjangan yang resmi ;
 Mengupayakan agar penghasilan PNS disesuaikan dengan dengan tingkat inflasi, antara lain dengan membuat indeks untuk dijadikan dasar bagi penyesuaian gaji dan tunjangan.
 Agar beban anggaran belanja pegawai tidak terlalu besar maka perlu dirumuskan kebijakan outsourcing untuk jabatan fungsional umum, khususnya yang menyangkut masalah rekrutmen dan penggajian.
 Menyusun Peraturan Pemerintah tentang Dana Pensiun dalam menata pengelolaan dana pensiun;

7. Struktur Remunerasi
(1) Gaji
• Gaji ditetapkan dengan memperhatikan peranan masing-masing PNS dalam pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan;
• Dalam struktur remunerasi tidak digunakan istilah gaji pokok tetapi gaji untuk menghindari dampak keuangan negara terhadap perubahan uang pensiun Pegawai Negeri yang telah pensiun sebelum peraturan tentang gaji ini berlaku dan terhadap penerapan Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (pasal 16 ayat (2) tentang tunjangan profesi diberikan setara dengan 1 kali gaji pokok guru)
• Peranan setiap jabatan tersebut diukur dengan bobot jabatan yang dihasilkan melalui evaluasi jabatan;
• Evaluasi jabatan dilakukan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:
- Pengetahuan
- Kebutuhan akan kontrol dan supervisi
- Jenis dan kebutuhan akan pedoman
- Kompleksitas
- Ruang lingkup dan dampak
- Hubungan interpersonal
- Lingkungan kerja
• Penetapan besaran gaji berdasarkan klasifikasi jabatan dan peringkat jabatan
• Golongan /pangkat yang berlaku sementara waktu masih digunakan namun untuk eselonisasi kemungkinan tidak kita gunakan lagi tetapi diganti dengan peringkat jabatan manajerial
(2) Tunjangan Biaya Hidup (Kemahalan)
- Tunjangan ini diberikan untuk kebutuhan pangan, perumahan dan transport yang berbeda nilainya dari setiap daerah.
- Besarnya tunjangan dihitung dengan memperhatikan kebutuhan tingkat biaya hidup di masing-masing daerah;
- Tunjangan biaya hidup untuk daerah dibebankan pada APBD masing-masing
(3) Tunjangan Kinerja (Insentif):
- Tunjangan prestasi diberikan pada akhir tahun;
- Jumlahnya tergantung pada tingkat prestasi dan pencapaian target/output yang dicapai pegawai berdasarkan hasil penilaian kinerja tahunan;
- Jumlah maksimum adalah 3 kali gaji.
(4) Tunjangan Hari Raya
- Tunjangan diberikan setahun sekali dan besarnya adalah sama dengan gaji.
- Tunjangan diberikan kepada PNS dan CPNS yang masa kerjanya minimal 6 bulan;
- Tunjangan diberikan menjelang hari besar keagamaan.
(5) Tunjangan Kompensasi
Tunjangan kompensasi diberikan kepada:
- PNS yang ditugaskan di daerah terpencil, daerah yang bergolak;
- PNS yang bekerja di lingkungan yang tidak nyaman, berbahaya atau beresiko tinggi ;
- Besarnya tunjangan ditetapkan dengan memperhatikan tingkat ketidaknyamanan atau resiko yang dihadapi pegawai;
(6) Iuran bagi pemeliharaan kesehatan PNS dan keluarganya diberikan dalam jumlah yang minimal sama dengan yang dibayar PNS;
(7) Iuran bagi dana pensiun PNS dan THT dengan jumlah yang minimal sama dengan yang dibayar pegawai.

8. Pelaksanaan
 Kegiatan pengumpulan informasi jabatan dilakukan oleh seluruh instansi pusat dan daerah
 Pelaksanaan disetiap instansi dilakukan oleh tim yang ditunjuk pimpinan instansi selaku pembina kepegawaian
 Pelaksanaan pengumpulan informasi jabatan
 Pembiayaan dibebankan pada instansi masing-masing (softcopy disiapkan dari pusat/menpan)
 Hasil/ output yang diharapkan dari hasil pengumpulan informasi jabatan adalah semua jabatan yang ada disetiap instansi :
 Semua jabatan struktural
 Setiap jenjang jabatan fungsional tertentu
 Jabatan fungsional umum
 Meningkatkan perbandingan besaran gaji secara bertahap sehingga mencapai 1:20 antara gaji terendah dan tertinggi;
 Mengevaluasi hasil peningkatan disiplin dan kinerja pegawai negeri setelah ditingkatkan kesejahteraannya
 Menyempurnakan semua peraturan perundangan yang berkaitan dengan sistem kepegawaian ( al sistem penggajian, pembinaan karier, pensiun, penghargaan, disiplin, kinerja pegawai atau reward and punishment)


PENUTUP
- Penyempurnaan sistem penggajian merupakan bagian dari upaya penerapan manajemen kepegawaian berbasis kinerja dan pencegahan KKN;
- Penerapan sistem penggajian yang berdasarkan sistem merit seyogyanya didahului oleh:
- Penyusunan visi dan misi
- Penyempurnaan struktur organisasi
- Penataan pegawai
- Penyempurnaan sistem pensiun
- Penerapan sistem perencanaan dan penganggaran yang berbasis kinerja.
- Dalam rangka mempersiapkan penerapan sistem remunerasi baru, Pemerintah perlu membentuk Tim Remunerasi Nasional yang beranggotakan wakil-wakil dari Kementerian PAN, Dep.Keu,Depdagri,BKN, LAN, Setneg, Setkab,Polri dan TNI dan Bappenas.
- Penerapan sistem remunerasi baru dapat dilaksanakan apabila sudah ada perbaikan gaji pejabat negara
selengkapnya baca.....