Tentang Medika

Foto saya
Bandung, jawa barat, Indonesia
Mencoba memenuhi keingitahuan terhadap kegiatan Pemerintahan, dengan membahas hal-hal umum sampai yang mendetail mengenai kultur,struktur serta prosedur dalam proses penyelenggaraannya

Jumat, 21 Januari 2011

KEMATANGAN BUDAYA POLITIK

KEMATANGAN BUDAYA POLITIK

1. Budaya Politik Indonesia
Masalah budaya politik Indonesia masih tetap merupakan topik kajian yang sangat menarik, sekalipun kajian tersebut akhir-akhir ini kurang lagi mendapatkan minat kalangan imuan politik Indonesia. Hal tersebut terjadi karena beberapa hal. Pertma, penjelasan yang bersifat kultural dalam memahami politik Indonesia kurang representatif bila dibandingkan penjelasan yang bersifat lain. Penjelasan yang bersifat cultural dipresepsikan terlampau berorientasi kepada perilku kelompok politik sebuah etnik yang dominan di Indonesia, terutama etnik jawa,sehingga tidak dapat dijadikan parameter dalam memahami politik Indonesia kontemporer yang sudah semakin kompleks.
Kedua, ketika memasuki dekade 80-an, kalangan ilmuan politik sudah

mulai dihadapkan pada penjelasan yang bersifat cultural memperlihatkan wajah yang etnosentris dan patrokial. Penjelasan alternatif yang muncul dikenal denan pendekatan ekonomi politik, yang juga bersifat strukturlis, yang mencoba mengaitkan antara persoalan politik dengan masalah ekonomi.
Ketiga, belum lagi terselesaikan perdebatan tentang model penjelasan mana yang lebih baik untuk menjelaskan politik Indonesia, apakah model penjelasan yang bersifat kultural atau structural, sekarang kita dihadapkan kepada kenyataan munculnya sebuah model analisis yang dapat dikatakan juga sebagai alternatif, yaitu alternatif yang lebih memperhatikan peranan state, yang kemudian dihadapkan dengan masyarakat atau civil society.
Proses pembentukan budaya politik di Indonsia dilakukan melalui apa yang disebut sosialisasi politik. Yaitu proses penerusan atau pewarisan nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui berbagi media, seperti: keluarga, sanak saudara, kelompok bermain sekolah. Sejak kecil seorang individu sudah ditanami nilai-nilai atau keyakinan politik orang tuanya. Anak juga mendengarkan pembicaraan orang tua mengenai figure politik yang di usung, apalagi anak juga dapat langsung atribut-atribut partai politik yang diminati orangtuanya yang tentunya akan mempengaruhi pandangan seorang individu kelak. Di sekolahpun mulai taman kanak-kanak sampai tingkat lanjutan individu disuguhi pemahaman dan pencitraan terhadap tokoh atau organisasi politik, yang terdapat dalam pelajaran sejarah, ideologi, ilmu sosial sampai pajangan gambar Presiden dan Wakil Presiden, lambang Negara.

Adapun budaya politik Indonesia dapat dikelompokan sebgai berikut:
a) Hierarki yang tegar
Sangat dipengaruhi oleh kultur etnis jawa, sistem hierarkis merupakan dasar dalam kehidupan masyarakat. Sehingga stratifikasi sosial bukan didasarkan pada atribut sosial yang bersifat materialistik namun lebih pada akses kekuasaan. Seluruh tatanan kehidupan dipenuhi dengan hierarkhis mulai dari bahasa sampai status sosial seseorang terpilah secara tegas sehingga ada ungkapan wong gedhe dan wong cilik. Implikasinya para penguasa diposisikan sebagai seorang yang mengayomi, bersikap baik, pemurah dan melindungi rakyatnya yang sering disebut dengan istilah pamong praja, akan tetapi, sebaliknya, kalangan penguasa menganggap rendah rakyat karena telah diberikan kebaikan, kemurahan dan perlindungan, sehingga rakyat harus patuh dan taat kepada penguasa. Dalam pembangunanpun selama ini tidak dilakukan oleh masyarakat, namun dilakukan oleh para penguasa/pemerintah sebagai bentuk perhatiannya terhadap rakyat. Rakyat seakan disisihkan dari proses politik dan hanya boleh menerima keputusan pemerintah. Dalam hal birokrasi juga sangat berbelit-belit dan tidak efektif.

b) Kecendrungan patronage
Hubungan antara penguasa maupun masyarakat cenrung patronage, yaitu pola hubungan dalam konteks individual, antar dua individu, yaitu si Patron dan si Client, terjadi interaksi yang bersifat resiprokal atau timbale balik dengan mempertukarkan sumberdaya (exchange of resources) yang dimiliki masing-masing pihak misalnya kekuasaan, kedudukan, perlindungan, perhatian dan tidak jarang sumberdaya yang bersifat materi pada si Patron, sementara Client memiliki sumberdaya berupa tenaga, dukungan dan loyalitas). Bisanya patron yang paling banyak menikmati hasil karena memiliki sumberdaya yang lebih banyak. Tidak jarang juga ada pihak ketiga yang disebut brooker yang menyebabkan hubungan ini berkembang. Pola hubungan seperti ini di Indonesia cendrung mengarah ke pola hubungan yang negatif yang tenar dengan istilah kolusi. Dari gambaran itu dapat diamati bahwa perilaku para birokrat sekarang merupan kelanjutan dari apa yang dilakukan oleh pendahulu mereka.

c) Kecendrungan Neo-Patrimonialistik
Dikatakan sebagai neo-patrimonialistik, karena Negara memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik tetapi tetap juga tetap juga memperhatikan atribut yang bersifat patrimonilistik. Dalam kehidupan bernegara selain dalam lingkaran birokrasi dan hierarkhi, terdapat kebijaksanaan yang bersifat patrikularistik daripada bersifat universalistic, kalangan penguasa politik cendrung mengaburkan apa yang menjadi kepentingan publik dan sangat sulit menentukan kepastian rencana dan kebijakan yang akan dipilih, sehingga sangat bertentangan dengan konsep Negara modern yang bersifat rasionalistik, sehingga segala sesuatunya dapat diprediksi.

2. Civil Society
Civil society merupakan kondisi dimana individu, kelompok dan masyarakat dapat saling berinteraksi dengan semangat toleransi, di dalam ruang tersebut masyarakat dapat melakukan partisipasi dalam pembentukan kebijaksanaan public dalam suatu Negara. Sementara Victor Perez-Diaz lebih menekankan pada suatu proses sejarah yang tidak terputuskan serta keadaan masyarakat yang telah mengalami pemerintahan terbatas, kebebasan, ekonomi pasar dan timbulnya asosiasi-asosiasi masyarakat yang mandiri, dimana satu sama lainnya saling menopang, dengan kata lain civil society adalah sebuah masyarakat baik secara individual maupun secara kelompok dalam Negara yang mampu berinteraksi dengan Negara secara independen.
Dalam masyarakat Indonesia, dapat dikatakan bahwa civil society belum dapat ditemukan. Karena, masyarakat Indonesia masih berada dalam proses transpormasi di satu pihak, di pihak lain kekuasaan Negara masih sangat besar. Selain itu masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang pluralistik baik dalam bidang ekonomi, sosial-budaya, etnisitas, juga termasuk bidang politik, yang kesemuanya merupaka faktor penghambat tumbuh dan berkembangnya civil society.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar