Tentang Medika

Foto saya
Bandung, jawa barat, Indonesia
Mencoba memenuhi keingitahuan terhadap kegiatan Pemerintahan, dengan membahas hal-hal umum sampai yang mendetail mengenai kultur,struktur serta prosedur dalam proses penyelenggaraannya

Kamis, 24 Maret 2011

Prakek ANALISIS POTENSI WILAYAH

"Dalam mengambil Kebijakan sangat diperlukan analisis terhadap potensi suatu wilayah, sehingga segala kebijakan yang diambil nantinya akan sinergis dengan tujuan pembagunan, serta karakteristik suatu daerah"
Praktek ANALISIS POTENSI WILAYAH, download.... selengkapnya baca.....

Rabu, 23 Maret 2011

Penyusunan Perda dan Masalahnya

Kebijakan otonomi daerah yang mulai pada awal reformasi, 1999 (melalui UU No 22 Tahun 1999 dan disempurnakan dengan UU No 32 Tahun 2004) menuntut penyelenggara negara di daerah untuk aktif serta kreatif menghasilkan produk peraturan daerah yang mampu menjawab tantangan. Semua langkah itu dilakukan dalam rangka menyelenggararakan otonomi daerah dan mensejahterakan masyarakat daerah.
Oleh karena itu peran pemangku kepentingan (stakeholders) mulai dari anggota DPRD, badan legislasi daerah, alat kelengkapan DPRD, biro hukum pemerintah daerah, satuan kerja perangkat daerah pemerintah daerah, perancang peraturan perundang-undangan, dan masyarakat, manjadi penentu dihasilkannya produk peraturan daerah yang berkualitas. Komitmen semua pihak di atas amat penting, sebab proses penyusunan peraturan perundang-undangan bukanlah hal yang mudah. Legislasi memerlukan tenaga, biaya, dan waktu yang tidak sedikit. Apabila produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan tidak mencapai tujuannya, maka berarti pemborosan sumber daya daerah itu sendiri.
Faktanya, kini kualitas produk peraturan daerah yang ada belumlah seperti yang diharapkan. Banyak ditemui peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain atau menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya. Misalnya peraturan daerah yang terkait dengan retribusi daerah.
Akibatnya ribuan peraturan daerah dianggap bermasalah oleh Depdagri dan terancam dibatalkan. Kenyataan lain, masih banyak daerah yang minim menghasilkan peraturan yang terkait publik. Daerah seperti ini hanya membuat produk perda yang sifatnya keharusan seperti perda tentang APBD atau perda untuk mencapai target pendapatan asli daerah. Padahal peraturan perundang-undangan yang bersifat pengaturan publiklah yang seharusnya lebih diprioritaskan.
Inventarisasi Masalah
Tulisan ini dimaksudkan untuk menginventarisasikan masalah-masalah yang berkaitan dengan pembentukan peraturan-peraturan daerah. Diharapkan pihak terkait dapat terinspirasi untuk menemukan permasalahan daerah masing-masing serta berupaya mencari solusi terbaik.
Dalam menyusun peraturan daerah, legislator atau perancang seringkali dihadapkan pada permasalahan-permasalahan. Kemungkinan permasalahan yang dihadapi adalah sebagai berikut.
Pertama, keterbatasan SDM, dana, dan sarana penunjang. Mayoritas perancang peraturan daerah, baik di lingkungan pemda maupun DPRD, tampaknya belum dapat menyesuaikan kemampuannya dengan tuntutan otonomi daerah yang mensyaratkan kapasitas yang memadai untuk menyusun peraturan. Ironisnya, pelatihan-pelatihan perancangan peraturan daerah yang diharapkan dapat meng-upgrade kemampuan perancang dan legislator masih jarang dilakukan. Perancang yang biasanya berlatar belakang sarjana hukum tidak mendapatkan pelajaran yang cukup dalam merancang peraturan perundang-undangan ketika mereka di bangku kuliah. Kondisi ini mungkin akibat dari ilmu peraturan perundang-undangan dan perancang peraturan perundang-undangan belum mendapat posisi yang proporsional dalam agenda pembangunan hukum di Indonesia.
Dana juga tidak kalah penting dalam mendukung lancarnya proses penyusunan peraturan daerah. Selama ini sebagian besar dana penyusunan peraturan daerah dialokasikan oleh pemerintah Daerah. Seharusnya DPRD yang memiliki fungsi legislatif juga diberi anggaran yang cukup untuk menyusun peraturan.
Kesulitan lainnya, sarana penunjang tidak memadai. Sistem dokumentasi, data base peraturan, dan penyebarluasan peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat masih jauh dari yang diharapkan. Demikian juga keadaannya dengan daerah. Padahal sistem dokumentasi dan data base sangat dibutuhkan perancang dalam menyusun rancangan peraturan daerah. Bagaimana seorang legislator dan perancang mengetahui peraturan yang dibuatnya itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, kalau ia tidak mempunyai bahan peraturan yang lebih tinggi itu.
Sampai saat ini, daerah masih sulit mengakses seluruh peraturan pusat yang dibutuhkan. Sebaliknya, belum ada mekanisme penyampaian peraturan daerah kepada pemerintah pusat. Akibatnya, sangat mungkin terjadi tumpang tindih antara peraturan daerah yang satu dengan yang lainnya ataupun terdapat peraturan daerah yang secara substantif tidak sesuai dengan asas-asas hukum dan perundang-undangan. Berkaitan dengan itu, daerah juga seyogyanya memiliki sistem dokumentasi dan data base peraturan perundang-undangan yang memadai.
Kedua, kekuasaan membentuk peraturan daerah. Secara teori, pembentukan peraturan perundang-undangan di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensiil seperti Indonesia berada di lembaga perwakilan rakyat. Di negara dengan sistem ini, fungsi utama wakil rakyat adalah legislasi, baru kemudian fungsi pengawasan dan fungsi anggaran. Hal ini berbeda dengan fungsi utama wakil rakyat di negara yang menerapkan sistem pemerintahan parlementer yang mempunyai fungsi utama pengawasan, kemudian fungsi legislasi dan fungsi anggaran.
Pada prakteknya, Indonesia masih berada di dua sisi. Di satu sisi, peraturan yang ada meletakkan fungsi legislasi pada lembaga perwakilan rakyat. Di pihak lain keahlian, anggaran, dan sarana penunjang di pemerintah daerah masih lebih baik dibandingkan di DPRD. Akibatnya rancangan perda yang dibuat masih didominasi oleh rancangan yang berasal dari pemerintah daerah. Namun, perkembangan belakangan ini menunjukkan adanya peningkatan kuantitas rancangan perda yang diusulkan oleh DPRD. Keadaan ini berkaitan dengan gejala menguatnya posisi tawar lembaga perwakilan rakyat terhadap lembaga eksekutif sejak era reformasi.
Pembatasan
Ketiga, pembatasan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam menyusun peraturan daerah, legislator dan perancang tidak dapat bebas menuangkan suatu ketentuan dalam peraturan daerah. Mereka harus mempertimbangakan peraturan perundangan yang lebih tinggi, seperti UUD 1945, UU, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden. Hal ini sesuai dengan asas hukum lex superiori derogat legi inferiori: apabila terdapat perbedaan pengaturan, maka ketentuan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi melumpuhkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah.
Apabila dalam suatu peraturan daerah terdapat ketentuan yang bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka akan berakibat ketentuan tersebut secara hukum tidak berlaku yang akhirnya dapat dijadikan obyek review oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, dalam menyusun peraturan daerah, perancang dan legislator harus mengingat peraturan perundangan yang lebih tinggi yang mengatur hal yang akan dituangkan dalam peraturan daerah.
Kesulitan lainnya adalah adanya pembatasan terhadap kewenangan untuk mengatur mengenai urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah pusat yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Untuk urusan pemerintahan tersebut, pamerintah daerah tidak dapat dengan bebas membuat pengaturan.
Beberapa peraturan perundang-undangan juga membuat pembatasan misalnya ketentuan Pasal 189 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur proses penetapan rancangan Perda yang berkaitan dengan pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah menjadi Perda harus melalui evaluasi dari pemerintah daerah provinsi. Selain itu, untuk perda yang mengatur mengenai pajak daerah dan retribusi daerah dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata ruang daerah dikoordinasikan dengan menteri yang membidangi urusan tata ruang.
Keempat, pembatalan peraturan daerah. Akibat dari pengaturan perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana dijelaskan di atas adalah perda tersebut dapat dibatalkan.
Hal kedua yang dapat mengakibatkan dibatalkannya perda adalah bertentangan dengan kepentingan umum. Maksudnya, pemberlakuan perda tersebut dapat mengakibatkan terganggunya kerukunan antar warga, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta diskriminatif.
Hal ketiga yang dapat mengakibatkan dibatalkannya perda adalah bertentangan dengan peraturan daerah lain yang lebih tinggi tingkatannya.
Dalam prakteknya, apabila terdapat perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, bertentangan dengan kepentingan umum, atau bertentangan dengan perda lain yang lebih tinggi tingkatannya, maka perda yang bersangkutan tidak langsung dibatalkan melainkan diberi kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengubah peraturan yang mengandung ketentuan yang bertentangan tersebut. Apabila perubahan ini tidak dilakukan, maka dapat dilakukan pembatalan.
Meskipun demikian, kesempatan kepada daerah untuk mengubah peratuan sebagaimana dijelaskan di atas dapat diberikan apabila pelaksanaan perda tersebut belum menimbulkan kerugian bagi pemda maupun pihak lain. Jadi apabila pelaksanaan perda telah menimbulkan kerugian pada pihak ketiga maka perda tersebut harus segera dibatalkan dan kepada pihak ketiga dapat diberikan kompensasi atas kerugian yang dideritanya.
(Purnomo Sucipto, Staf Desk Informasi Sekretariat Kabinet).
selengkapnya baca.....

Modul Penyusunan Peraturan Perundang-undangan


Diklat Teknis Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan (LEGAL DRAFTI NG), download
selengkapnya baca.....

PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (LEGAL DRAFTING)

PEDOMAN UMUM
PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (LEGAL DRAFTING)

Modul. Berikut adalah judul Modul yang dipakai dalam Diklat Penyusunan Peraturan Perundang-undangan:
1. Modul 1 - Negara Republik Indonesia Sebagai Negara Hukum
2. Modul 2 - Proses Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
3. Modul 3 - Prosedur Penyusunan dan Pembentukan Peraturan Perundangundangan
4. Modul 4 - Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
5. Modul 5 - Bahasa Perundang-undangan
6. Praktek - Penyusunan Rancangan Naskah Akademik dan Raperda.
1. Modul 1 - Negara Republik Indonesia Sebagai Negara Hukum
a. Konsep Negara Hukum.
1) Sejarah Negara Hukum;
2) Unsur-unsur negara hukum;
3) Indonesia sebagai Negara Hukum.
b. Landasan Penyusunan Peraturan Perundangan-undangan.
1) Prinsip-prinsip Peraturan Perundang-undangan;
2) Azas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
3) Azas Pemberlakuan Peraturan Perundang-undangan.
c. Jenis Dan Hirarki Peraturan Perundang-Undangan.
1) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
2) Peraturan Pemerintah;
3) Peraturan Presiden;
4) Peraturan Daerah; dan
5) Peraturan Perundang-Undangan lain.
2. Modul 2 - Proses Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
a. Lembaga Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan.
1) Peraturan Perundang-undangan;
2) Lembaga Pembentuk Undang-Undang;
3) Lembaga Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan diluar Undang-Undang;
4) Lembaga Pembentuk Peraturan lain diluar Hirarkhi Perundangundangan.
b. Proses Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
1) Pengertian Pembentukan Perundang-undangan;
2) Pengertian Legal Drafting dan Legal Drafter;
3) Program Legislasi Nasional dan Program Legislasi Daerah;
4) Tahap proses Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah;
5) Naskah Akademis.
3. Modul 3 - Prosedur Penyusunan dan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
a. Prosedur Penyusunan ProgramLegislasi Nasional.
1) Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas);
2) Tata Cara Penyusunan Prolegnas;
3) Pengelolaan Prolegnas; dan
4) Pembiayaan Prolegnas.
b. Prosedur Penyusunan Rancangan Undang-Undang.
1) Umum;
2) Penyusunan Rancangan Undang-Undang berdasarkan Prolegnas;
3) Penyusunan Rancangan Undang-Undang diluar Prolegnas; dan
4) Harmonisasi.
c. Prosedur Pembentukan Peraturan PUU.
1) Penyampaian Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat;
2) Rancangan Undang-Undang yang disusun Dewan Perwakilan Rakyat (inisiatif);
3) Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; dan
4) Partisipasi Masyarakat.
4. Modul 4 - Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan
a. Prinsip Dasar Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan:
1) Indonesia sebagai negara Hukum;
2) Pemegang Peran dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
3) Ciri-ciri Peraturan Perundang-undangan;
4) Dimensi pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
5) Prinsip Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
b. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
1) Asas Formil;
2) Asas Materiil;
3) Prinsip Ketaatan Hirarki Peraturan Perundang-undangan.
c. Unsur Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan;
1) Teknik Peraturan Perundang-undangan;
2) Pedoman Penyusunan Teknik Peraturan Perundang-undangan;
3) Perumusan dan Perencanaan Penyusunan Peraturan Perundangundangan;
4) Pengaturan/penelitian ulang kandungan norma/materi muatan;
5) Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan.
d. Materi Muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
1) Materi Muatan PUU;
2) Arah Pembahasan Materi Muatan;
3) Materi Muatan Undang-Undang;
4) Materi Muatan Peraturan Daerah.
e. Sistematika Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
1) Kerangka Peraturan Perundang-undangan;
2) Hal-Hal Khusus yang ada di dalam Peraturan Perundang-undangan;
3) Bentuk Rancangan Peraturan Perundang-undangan (Raperda).
5. Modul 5 - Bahasa Perundang-Undangan
a. Ragam Bahasa Perundang-Undangan.
1) Tiga Kebenaran Dasar;
2) Rasa Bahasa Perundang-Undangan;
3) Teknik Pengacuan, Tata Bahasa dan Tabulasi;
4) Pilihan Kata/Istilah;
5) Kegiatan Berkomposisi.
b. Mencermati Bahasa Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
1) Pengertian;
2) Syarat Bahasa Perundang-Undangan.
Modul 1
Negara Kesatuan Republik Indonesia Sebagai Negara Hukum
KONSEP NEGARA HUKUM
1. Sejarah Negara Hukum
Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan sejarah manusia, oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, pada dataran implementasi ternyata memiliki karakteristik beragam.
Pemikiran-pemikiran tentang konsep Negara Hukum sebelum konsep Negara Hukum berkembang seperti sekarang ini, diantaranya dikemukakan oleh beberapa ahli berikut ini:
a. Plato mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai cikalbakal pemikiran tentang Negara hukum. Dalam nomoi Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik.
b. Aristoteles mengemukakan ide Negara hukum yang dikaitkannya dengan arti Negara yang dalam perumusannya masih terkait kepada “polis”. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam Negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum. Manusia perlu dididik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang akhirnya akan menjelmakan manusia yang bersifat adil. Apabila keadaan semacam itu telah terwujud, maka terciptalah suatu negara hukum”, karena tujuan Negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas keadilan.
c. Machiavelli, seorang sejarawan dan ahli Negara telah menulis bukunya yang terkenal ”II Prinsipe (The Prince)” , mengemukakan dalam usaha untuk mewujudkan supaya suatu Negara menjadi suatu Negara nasional raja harus merasa dirinya tidak terikat oleh norma-norma agama atau pun norma-norma akhlak. Raja dianjurkan supaya jangan berjuang dengan mentaati hukum; raja harus menggunakan kekuasaan dan kekerasan seperti halnya juga binatang.
d. Jean Bodin juga menganjurkan absolutisme raja. Beliau berpendapat bahwa dasar pemerintah absolut terletak dalam kedaulatan yaitu kekuasaan raja yang superior.
e. Thomas Hobbes dalam teorinya yaitu teori Hobbes, perjanjian masyarakat yang tidak dipakai untuk membangun masyarakat (civitas) melainkan untuk membentuk kekuasaan yang disebabka kepada raja. Jadi raja bukan menerima kekuasan dari masyarakat melainkan ia memperoleh wewenang dan kuasanya kepada raja, maka kekuasaan raja itu mutlak.
Perlawanan terhadap kekuasaan yang mutlak dari raja secara konkret dilaksanakan dengan memperjuangkan sistem konstitusional, yaitu system pemerintahan yang berdasarkan konstitusi. Pemerintahan tidak boleh dilakukan menurut kehendak raja saja, melainkan harus didasarkan pada hukum konstitusi. Perjuangan konstitusional yang membatasi kekuasaan raja banyak dipengaruhi oleh berbagai perkembangan, diantaranya:
a. Reformasi
b. Renaissance
c. Hukum Kodrat
d. Timbulnya kaum bourgeoisi beserta aliran Pencerahan Akal (Aufklarung).
Seiring dengan berkembang jaman dan tuntutan masayarakat pada waktu, lahir pula gagasan atau pemikiran untuk melindungi hak-hak asasi manusia yang dipelopori oleh pemikir-pemikir Inggris dan Prancis yang sangat mempengaruhi tumbangnya absolutisme dan lahirnya Negara Hukum.
2. Unsur-unsur Negara Hukum
Setelah mengalami beberapa pengembangan pemikiran konsep negara hokum kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum di antaranya:
a. Sistem pemerintah negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
b. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau Peraturan Perundang-Undangan;
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
d. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
e. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benarbenar tidak memihak dan tidak berada di bawah pangaruh eksekutif;
f. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;
g. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
3. Negara Indonesia sebagai Negara Hukum
Negara Indonesia sebagai negara hukum dapat dilihat pada:
a. Bab I Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Indonesia adalah Negara Hukum;
b. Pembukaan dicantumkan kata-kata: Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia;
c. Bab X Pasal 27 ayat (1) disebutkan segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan itu dengan dengan tidak ada kecualinya;
d. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dihapus disebutkan dalam Sistem Pemerintahan Negara, yang maknanya tetap bisa dipakai, yaitu Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat);
e. Sumpah/janji Presiden/Wakil Presiden ada kata-kata ”memegang teguh Undang-Undang Dasar dan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”;
f. Bab XA Hak Asasi Manusia Pasal 28i ayat (5), disebutkan bahwa ”Untuk penegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam Peraturan Perundang-Undangan;
g. Sistem hukum yang bersifat nasional;
h. Hukum dasar yang tertulis (konstitusi), hukum dasar tak tertulis (konvensi);
i. Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan;
j. Adanya peradilan bebas.

LANDASAN PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANGAN

1. Prinsip Peraturan Perundang-Undangan
a. Dasar Peraturan Perundang-Undangan selalu Peraturan Perundang-Undangan.
b. Hanya Peraturan Perundang-Undangan tertentu saja yang dapat dijadikan
Landasan Yuridis.
c. Peraturan Perundang-Undangan yang masih berlaku hanya dapat dihapus,
dicabut, atau diubah oleh Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat atau
yang lebih tinggi.
d. Peraturan Perundang-Undangan baru mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan Lama.
e. Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah.
f. Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat umum.
g. Setiap Jenis Peraturan Perundang-Undangan materi muatannya berbeda.

2. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
a. Asas Formil
Asas formil dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik yaitu meliputi:
1) Kejelasan tujuan;
2) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
3) Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
4) Dapat dilaksanakan;
5) Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6) Kejelasan rumusan;
7) Keterbukaan
b. Asas Materiil
Materi Peraturan Perundang-Undangan mengandung asas:
1) Pengayoman;
2) Kemanusiaan;
3) Kebangsaan;
4) Kekeluargaan;
5) Kenusantaraan;
6) Kebhinnekatunggalikaan;
7) Keadilan yang merata;
8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
9) Ketertiban dan kepastian hukum;
10) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

3. Asas Pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan
Ada 3 (tiga) asas pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan yakni asas yuridis, asas filosofis, asas sosiologis. Teknik penyusunan Peraturan Perundang-Undangan merupakan hal lain yang tidak mempengaruhi keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan, namun menyangkut baik atau tidaknya rumusan suatu Peraturan Perundang-Undangan.
JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan TAP MPR tersebut, jenis
Peraturan Perundang-Undangan adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia;
3. Undang-undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.
Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
1. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur;
2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
3. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dengan itu, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
4. Selain Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, dan keberadaanya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur;
Penyebutan jenis Peraturan Perundang-undangan di atas sekaligus merupakan hirarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, suatu Peraturan Perundang-undangan selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya sampai pada Peraturan Perundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya. Konsekuensinya, setiap Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut.
A. Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. Berdasarkan Ketetapan MPR yang pernah ada yaitu Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dan Tap MPRS No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 pada posisi yang paling tinggi, hal ini disebabkan karena Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan Negara.
Hal yang sama juga diterapkan didalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana menempatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan jenis Peraturan Perundang-undangan yang tertinggi. Dengan demikian, materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak bolehbertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertulis bagi bangsa Indonesia.
B. Undang-Undang
Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 dan TAP MPR. Yang berwenang membuat Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden. Ada beberapa kriteria agar suatu masalah diatur dengan Undang-Undang, antara lain sebagai berikut :
1. Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang dibentuk atas perintah Ketetapan MPR;
3. Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang terdahulu;
4. Undang-Undang dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah Undang-Undang yang sudah ada;
5. Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan hak asasi manusia;
6. Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan orang banyak.
C. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Jenis Peraturan Perundang-undangan ini (setara Undang-Undang) merupakan kewenangan Presiden karena pembentukannya tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, meskipun pada akhirnya harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan ditetapkan menjadi Undang-Undang. Kewenangan Presiden ini dilakukan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan:
1. Perpu harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut;
2. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan;
3. Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, Perpu tersebut harus dicabut.
Dengan demikian, Perpu hanya dikeluarkan "dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa". Dalam praktik "hal ikhwal kegentingan yang memaksa" diartikan secara luas, tidak hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman, tetapi juga kebutuhan atau kepentingan yang dipandang mendesak. Yang berwenang menentukan apakah suatu keadaan dapat dikategorikan sebagai "kegentingan yang memaksa" adalah Presiden. Di samping itu, Perpu berlaku untuk jangka waktu terbatas, yaitu sampai dengan masa siding Dewan Perwakilan Rakyat berikutnya. Terhadap Perpu yang diajukan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat juga hanya dapat menyetujui atau menolak saja. Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa, misalnya; menyetujui Perpu tersebut dengan melakukan perubahan.
D. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah baru dapat dibentuk apabila sudah ada Undang-Undangnya. Ada beberapa karakteristik Peraturan Pemerintah, yaitu:
1. Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa ada Undang-Undang induknya.
2. Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana, jika Undang-Undang induknya tidak mencantumkan sanksi pidana.
3. Peraturan Pemerintah tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan Undang-Undang induknya.
4. Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meskipun Undang-Undang yang bersangkutan tidak menyebutkan secara tegas, asal Peraturan Pemerintah tersebut untuk melaksanakan Undang-Undang.
5. Tidak ada Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 atau TAP MPR.
E. Peraturan Presiden
Peraturan Presiden merupakan Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945. Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Presiden disebutnya adalah Keputusan Presiden, karena pada waktu itu Keputusan Presiden mempunyai dua sifat, yaitu Keputusan Presiden yang bersifat sebagai pengaturan (regelling) dan Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan (beschikking).
Namun setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan disebutkan Keputusan Presiden, sedangkan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur disebut Peraturan Presiden.
F. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Yang berwenang membuat Peraturan Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah. Peraturan Daerah dibedakan antara Peraturan Daerah Provinsi, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dan Gubernur serta Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota.
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Peraturan Daerah dapat merupakan pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, maka materi (substansi) Peraturan Daerah seyogyanya tidak bertentangan dengan dan berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat).
Sedangkan untuk Peraturan Daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi, maka substansi Peraturan Daerah tersebut tidak harus berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat), tetapi harus menyesuaikan pada kondisi otonomi (kemampuan) daerah masing-masing.
Peraturan Daerah adalah sebangun dengan Undang-Undang, karena itu tata cara pembentukannya pun identik seperti tata cara pembentukan Undang-Undang dengan penyesuaian-penyesuaian. Salah satu perbedaan yang terdapat dalam Peraturan Daerah adalah adanya prosedur atau mekanisme pengesahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi untuk materi (substansi) Peraturan Daerah tertentu, misalnya materi mengenai retribusi.
G. Peraturan Perundang-Undangan Lain
Jenis Peraturan Perundang-Undangan lain sebagaimana yang disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pasal 7 ayat (4) antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Lebih lanjut disebutkan bahwa “hirarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.
selengkapnya baca.....

JENIS-JENIS PENGAWASAN

1) Menurut Waktu Pelaksanaan
a. Setelah kegiatan
Pengawasan ini disebut juga evaluasi. Evaluasi bertujuan untuk mengetahui hasil kerja dari setiap anggota kelompok dan untuk mengetahui kesalahan yang terjadi agar kesalahan-kesalahan itu tidak berulang dimasa yang akan datang.
b. Pada saat kegiatan
Pengawasan ini lebih bersifat control. Pengawasan ini lebih bertujuan untuk memberikan pengarahan-pengarahan untuk memperbaiki kinerja para anggota.
2) Menurut Cara Pelaksanaan
a. Secara Langsung
i. Melakukan pemeriksaan atau vervikasi
ii. Dengan latar belakang tertentu, seperti ada dugaan penyimpangan atau karena ada kejadian penting seperti pergantian kepengurusan
b. Secara tidak langsung
i. Melakukan review, yaitu mengawasi apa saja yang telah terjadi pada satu organisasi
ii. Rutin, yaitu pelaksanaan pengawasan itu sendiri sudah diagrndakan sebelumnya.
3) Menurut Subyek Pelaksanaannya.
a. Pengawasan melekat;
Yaitu pengawasan yang dilakukan oleh atasan langsung yang memiliki kekuatan (power) dilakukan secara terus-menerus agar tugas-tugas bawahan dapat dilaksanakan efektif dan efisien.
b. Pengawasan Fungsional
Pengawasan yang dilaksanakan oleh pihak yang memahami substansi kerja objek yang diawasi dan ditunjuk khusus untuk melakukan audit independent terhadap objek yang diawasi.
c. Pengawasan Masyarakat
Yaitu pengawasan yang dilakukan masyarakat pada negara sebagai bentuk social control terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan masyakat negara yang demokratis.
d. Pengawasan Legislatif
Pengawasan ini dilakukan oleh DPR/DPRD sebagai lembaga legislative yang bertugas mengawasi kinerja pemerintah.
selengkapnya baca.....

Senin, 21 Maret 2011

TATA TERTIB DAN PEMBINAAN DISIPLIN PEGAWAI

TATA TERTIB DAN PEMBINAAN DISIPLIN PEGAWAI
KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
Azas Pegawai
Azas Pegawai dalam menjalankan tugasnya adalah keadilan dan perlakuan yang
sama.
KEWAJIBAN DAN LARANGAN
Kewajiban
Setiap Pegawai wajib :
1. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
dan Negara;
2. Menjunjung tinggi kehormatan Negara;
3. Memegang teguh rahasia dan membela kepentingan Komisi;
4. Menggunakan wewenang jabatan untuk melakukan tugas dan kewajiban dengan
sebaik-baiknya dengan penuh rasa tanggung jawab;
5. Menjalankan tugas kedinasan dengan penuh rasa tanggung jawab;
6. Mengutamakan kepentingan Komisi di atas kepentingan pribadi atau golongan,
serta menghindarkan segala sesuatu yang dapat merugikan kepentingan Negara
dan Komisi.
7. Memelihara dan menjaga asset Komisi dengan penuh rasa tanggung jawab, dan
melaporkan setiap kehilangan atau kerusakan barang milik Komisi kepada
Pimpinan Komisi.
8. Bekerja dan selalu bersikap jujur, disiplin, cermat dan bersemangat.;
9. Memelihara keutuhan dan kebersamaan dalam rangka menciptakan dan
memelihara suasana kerja yang kondusif;
10. Menjaga keselamatan lingkungan kerja, menciptakan atau memelihara
lingkungan kerja yang bersih dan suasana kerja yang tertib;
11. Membawa dan/atau mengenakan Kartu Identitas Pegawai (KIP) dan/atau Tanda
Pengenal Pegawai (TPP) pada saat bekerja atau berada di lingkungan Komisi
atau pada saat melaksanakan tugas luar;
12. Berpakaian rapi dan sopan;
13. Memberikan teladan yang baik bagi lingkungan kerjanya;
14. Bertindak dan bersikap tegas, adil dan bijaksana kepada bawahan.
15. Membimbing dan membina bawahan dalam melaksanakan tugasnya;
16. Mendorong dan memberi kesempatan bawahan untuk meningkatkan prestasi
dan mengembangkan kariernya;
17. Menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat;
18. Melaporkan kepada Pimpinan Komisi apabila terdapat perubahan status diri,
susunan keluarga dan alamat rumah;
19. Mentaati seluruh peraturan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku di
Komisi.

Larangan
Pegawai dilarang :
1. Melakukan perbuatan yang dapat merugikan Komisi ataupun nama baik Komisi,
baik yang bersifat material maupun yang immaterial.
2. Membocorkan dan/atau memanfaatkan rahasia Komisi dan rahasia jabatan.
3. Melakukan kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan Komisi dan/atau memiliki
kegiatan usaha yang dapat menimbulkan benturan kepentingan.
4. Bekerja atau memangku jabatan rangkap di luar Komisi.
5. Melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana tersebut di bawah ini, kecuali
atas persetujuan atau izin Pimpinan Komisi :
a. Menyalin atau menggandakan semua bentuk dokumen milik Komisi dan/atau
dokumen yang berada dalam arsip Komisi.
b. Membawa pulang atau keluar dari kantor Komisi semua bentuk dokumen atau
hasil penggandaannya.
c. Mengubah atau mengganti data atau dokumen-dokumen yang bukan menjadi
wewenang dan tanggung jawabnya.
6. Menyalahgunakan jabatan, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk
kepentingan pihak ketiga.
7. Menyalahgunakan barang-barang atau asset, dokumen dan/atau surat-surat
berharga milik Komisi.
8. Menerima secara langsung maupun tidak langsung hadiah atau sesuatu
pemberian apapun dan dari siapapun yang diketahui atau patut diketahui atau
dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan
dengan posisi atau pekerjaan Pegawai.
9. Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugasnya.
10. Melakukan kegiatan baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama di dalam
maupun di luar lingkungan kerja, dengan tujuan untuk kepentingan pribadi,
golongan atau pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung
merugikan Komisi.
11. Melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundangundangan
yang berlaku berkaitan dengan penggunaan narkotika dan obatobatan
terlarang lainya.
12. Melakukan tindakan sewenang-wenang atau yang bersifat negatif, baik dengan
maksud membalas dendam atau maksud-maksud lainnya, terhadap
bawahannya atau atasannya atau Pegawai lainnya, atau terhadap orang lain di
dalam maupun di luar lingkungan kerjanya.
13. Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat
Komisi dan Pegawai, kecuali untuk kepentingan kedinasan.
14. Melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan yang dapat menghalangi
atau mempersulit tugas kedinasan atau pemeriksaan atau persidangan yang
akan atau sedang dilakukan oleh Komisi, sehingga merugikan Komisi atau
pelaku usaha yang akan dan/atau sedang diperiksa oleh Komisi.
selengkapnya baca.....

Selasa, 15 Maret 2011

KOALISI KABINET

JAKARTA, KOMPAS.com — Polemik evaluasi koalisi dan kabinet yang panjang begitu melelahkan publik. Sebagian besar pihak menilai polemik ini muncul karena buruknya komunikasi politik elite Demokrat dengan Ketua Dewan Pembinanya, Susilo Bambang Yudhoyono. Keributan yang dimunculkan elite Demokrat kerap dibantah oleh sejumlah tindakan SBY terhadap partai anggota koalisinya.
Namun, pengamat politik Yudi Latief menilai justru polemik ini muncul dari skenario yang dimunculkan sendiri oleh Presiden SBY, baik sebagai pucuk tertinggi partai maupun pucuk tertinggi pemerintahan. Skenario ini dimunculkan sebagai taktik untuk mengundang publik dan pelaku politik lainnya untuk mengevaluasi sendiri anggota partai koalisi yang disebut "nakal" oleh Demokrat pascapembahasan usulan hak angket perpajakan di parlemen.
"Saya kira taktik. Tak mungkin orang-orang Demokrat itu melakukan public statement kalau itu tanpa persetujuan atau tanpa koridor yang digariskan oleh partai. Pasti semua pernyataan itu memenuhi satu skenario yang disetujui atau dibiarkan oleh petinggi partainya. Saya kira itu manuver-manuver yang dikembangkan untuk menguji air, menguji reaksi. Kalau yang disetel adalah orang-orang Demokrat secara tidak langsung atau Mensesneg, Presiden kan punya banyak alasan untuk menghindar kalau pernyataan-pernyataan dari orang Demokrat itu menuai reaksi negatif," ungkapnya di Gedung DPR RI, Kamis (10/3/2011).
Yudi menganalogikan kisruh koalisi dan wacana reshuffle sebagai sinetron picisan dan, menurutnya, setiap sinetron memiliki sutradara yang bertugas memperpanjang jam tayangnya. Yudi menegaskan, sutradara dalam kisruh kali ini adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri. Karena tujuan dari sutradara hanyalah untuk memperpanjang jam tayang, maka logika tak lagi menjadi penting dan bisa dikesampingkan. Maka, muncullah kebingungan antara sikap partai dan Presiden SBY sendiri, lalu muncul juga persepsi tak sejalannya kata dan perbuatan. Diminta segera merombak kabinet, malah katanya tengah melakukan evaluasi. Menurut Yudi, ini hanya taktik Presiden SBY untuk memperpanjang waktu mencari cara yang lebih aman untuk melakukan reshuffle.
"Dalam isu koalisi dan reshuffle, motifnya begitu cetek, ingin mengalihkan ke isu lain dan ternyata tak jadi lagi, sedang evaluasi katanya, kalau begitu, berarti sedang mencari cara yang lebih aman. Bukan dievaluasi berdasarkan kinerja, tapi lagi cari cara yang paling aman," tambahnya.
Tak punya pilihan, Presiden SBY sebagai sutradara, lanjut Yudi, memiliki wewenang untuk mengubah susunan pemainnya. Sebelumnya, Golkar dan PKS rencananya akan didepak demi memperpanjang cerita sinetron dan menggantinya dengan aktor-aktris baru PDI-P dan Gerindra. Sayangnya, niat itu terganjal karena kepastian sikap Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri yang kali ini sikapnya masih mudah ditebak. PDI-P menolak masuk kabinet dan koalisi serta tetap mempertahankan Golkar di dalam koalisi.
"Dan ini membuat Golkar selalu kembali mengambil keuntungan dari kepastian (sikap) Megawati. Ternyata secara intitusional PDI-P tak bisa ditarik, jadi menyingkirkan Golkar dari koalisi artinya memperpendek jam tayang. Pernyataan bahwa SBY menyerah kepada Golkar tak benar. Ini kan cuma karena Presiden tak punya pilihan lain," tambahnya.
Yudi sendiri mengaku sudah bosan dengan pembicaraan evaluasi koalisi dan rencana perombakan kabinet yang tak jelas juntrungannya hingga sekarang. Yudi menyayangkan pula jika hal ini terus dibesar-besarkan di berbagai media massa. Padahal, diulangnya kembali, tak ada intensinya.
"Semuanya pepesan kosong, kalau katanya dalam rangka memperbaiki kinerja, itu omong kosong. Ini hanya mengukuhkan, logika itu diabaikan dan negara itu tak ada kepastian, hanya beringsut dari isu satu ke isu lain, rakyat menjadi korban. Kalau soal kinerja selesai, tapi ujungnya adalah bagaimana bertahan terus sampai 2014."
"Dengan sikap buruk Presiden seperti ini membuat negara tertawan pada perbuatan-perbuatan partikular. Contohnya, dalam konflik antar-agama, Presiden tak tegas, ancaman konflik kini berada di titik terbawah. Akan menimbulkan keliaran-keliaran baru karena ketegasan pemerintah tak ada," tandasnya.
selengkapnya baca.....

Maju-Mundur Reshuffle Kabinet


Simpang siur kabar reshuffle kabinet merupakan cermin kekusutan koalisi partai pendukung pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Ketidakberesan itu bahkan terjadi sejak awal. Selain tidak lazim dalam sistem presidensial, koalisi banyak partai yang diciptakan Presiden Yudhoyono rentan konflik kepentingan.
Selama satu setengah tahun ini, partai pendukung koalisi kerap bermain "dua muka": sekali waktu memihak pemerintah, lain kali membela kepentingan sendiri. Dalam kasus Century, contohnya, Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera serta Partai Persatuan Pembangunan tak sejalan dengan pendukung koalisi yang lain. Tindakan Partai Golkar dan PKS, yang melawan partai pemerintah dalam angket "mafia pajak", belum lama ini, merupakan contoh lain.
Perbedaan sikap politik ini akibat banyak hal mendasar. Komunikasi di antara anggota koalisi jelas bermasalah. Bukan hanya antaranggota koalisi yang tersendat, bahkan antara Partai Demokrat dan Presiden pun kerap terjadi distorsi. Soal reshuffle yang menyita perhatian publik berbilang bulan ini bisa menjadi bukti. Partai Demokrat menyiratkan ingin penggantian beberapa pos menteri yang sekarang diduduki Partai Golkar dan PKS. Presiden Yu-dhoyono berkali kali pula menganggap pelaksanaan hak prerogatifnya itu tak bisa dijalankan sekenanya.
Dengan tingkat komunikasi selemah itu, sulit terjadi sinergi yang memadai. Bahkan tampak tak ada agenda jelas dalam koalisi. Tak pernah juga kelihatan strategi penggalangan untuk memenangkan agenda tertentu. Akhirnya, koalisi pendukung pemerintah lebih mirip benteng untuk melindungi pemerintah dari serbuan "oposisi". Kentara betul koalisi hanya dimaksudkan menjaga agar tak ada pemakzulan atas diri Presiden.
Ternyata, maksud itu pun tidak sepenuhnya aman-meski jalan ke arah pemakzulan sangat sangat sulit. Kita tahu kekuatan "oposisi" itu tak lebih dari 25 persen suara saja di DPR. Tapi, dalam angket "mafia pajak", pemerintah hanya sanggup unggul dua suara melawan kubu yang ingin meloloskan angket. Artinya, "musuh politik" pemerintah bukan partai "oposisi" saja, tapi juga anggota koalisinya.
Partai politik anggota koalisi memang bersikap oportunistik. Mereka bergabung dalam koalisi demi menempatkan menteri di kabinet-barangkali juga demi "rezeki" dari proyek proyek di kementeriannya-tapi partai tak mau sepenuhnya mengikuti garis pemerintah. "Pembangkangan" terhadap garis pemerintah di satu sisi bisa dilihat sebagai cara mempertahankan identitas diri.
Bagi partai, identitas dan perbedaan pandangan politik dengan pemerintah merupakan nilai jual penting dalam pemilu. Maka, selama tak ada kesepakatan yang jelas dan mengikat dalam koalisi, juga tanpa adanya leadership kuat pemimpin koalisi, rasanya "tikam menikam" di antara anggota koalisi akan selalu terjadi.
Melakukan reshuffle dengan mencopot menteri yang partainya "membelot" akan menambah ketaklaziman praktek pemerintahan bergaya parlementer ini. Tak ada larangan untuk melakukannya, tapi hendaknya kinerja menteri dan efektivitas kabinet menjadi pertimbangan utama. Kita tahu, sejak awal periode kedua Yudhoyono, pengisian beberapa kementerian tidak didasari prinsip the right man in the right place-termasuk menteri dari dua partai yang "membangkang". Kinerja kabinet sekarang ini tak bisa disebut kinclong.
Bila Presiden mengganti menteri berkinerja rendah, di antaranya termasuk dari partai "pembelot", itu sudah memberikan sinyal bahwa ia tak main main dengan kinerja kabinet. Sekaligus menunjukkan ia tak lagi membiarkan "musuh dalam selimut" berleha leha di biduknya.
selengkapnya baca.....

Rabu, 09 Maret 2011

PELAYANAN PUBLIK

Pelayanan Publik
1. Pengertian Menurut Undang Undang No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, pengertian Pelayanan publik adalah segala bentuk kegiatan dalam rangka pengaturan, pembinaan, bimbingan, penyediaan fasilitas, jasa dan lainnya yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan kepada masyarakat sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Arti lain dari pelayanan publik adalah pelayanan yang dilakukan oleh birokrasi lembaga lain yang tidak termasuk badan usaha swasta, yang tidak berorientasi pada laba atau profit. Dalam Undang Undang No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menyebutkan pelayanan publik adalah segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik. Asas-asas dalam penyelenggaraan pelayanan publik meliputi:(1) Asas kepastian hukum; (2) Asas keterbukaan; (3) Asas partisipatif; (4) Asas akuntabilitas; (5) Asas kepentingan umum; (6) Asas profesionalisme; (7) Asas kesamaan hak; (8) Asas keseimbangan hak dan kewajiban; (9) Asas efisiensi; (10) Asas efektifitas; (11) Asas imparsial Pelayanan dalam administrasi adalah pelayanan dalam arti kegiatan, apapun isinya. Oleh sebab itu administrasi terdapat dalam bentuk atau corak negara apa saja. Dalam kybernologi, kebutuhan istimewa manusia disebut jasa publik dan layanan civil, keduanya dapat disebut layanan. Layanan adalah proses output, produk, hasil dan manfaat. Proses produksi, distribusi dan seterusnya sampai konsumen mendapat manfaat yang diharapkannya disebut pelayanan. Jadi pelayanan dalam kybernologi adalah pelayanan publik dan pelayanan civil dalam arti proses, produksi dan outcome yang bersifat istimewa yang dibutuhkan oleh manusia dan diproses sesuai aspirasi masyarakat.
Merupakan kewajiban pemerintah, tidak terkecuali pemerintah daerah sebagai penyelenggara utama pelayanan publik untuk melayani kebutuhan publik yang lebih baik sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Penyelenggara Pelayanan Publik adalah Instansi Pemerintah. Instansi Pemerintah adalah sebutan kolektif meliputi satuan kerja/satuan organisasi Kementerian, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, dan Instansi Pemerintah lainnya, baik Pusat maupun Daerah termasuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.
2. Jenis Pelayanan Menurut Undang-undang No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pelayanan publik dikelompokkan dalam beberapa jenis yang didasarkan pada ciri-ciri dan sifat-sifat kegiatan dalam proses pelayanan serta produk pelayanan yang dihasilkan. Jenis-jenis pelayanan itu adalah sebagai berikut :
Pertama adalah jenis pelayanan administratif, yaitu jenis pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa kegiatan pencatatan, penelitian, pengambilan keputusan, dokumentasi dan kegiatan tata usaha lainnya yang secara keseluruhan menghasilkan produk akhir berupa dokumen, misalnya sertifikat, ijin-ijin, rekomendasi, keterangan tertulis, pembayaran pajak dan lain-lainnya. Contoh jenis pelayanan ini adalah pelayanan sertifikat tanah, pelayanan IMB, pelayanan administrasi kependudukan (KTP, akta kelahiran/ kematian). Kedua, jenis pelayanan barang, yaitu jenis pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa kegiatan penyediaan dan atau pengolahan bahan berwujud fisik termasuk distribusi dan penyampaiannya kepada konsumen langsung sebagai unit atau sebagai individual dalam satu sistem. Secara keseluruhan kegiatan tersebut menghasilkan produk akhir berwujud benda (berwujud fisik) atau yang dianggap benda yang memberikan nilai tambah secara langsung bagi penerimanya. Contoh jenis pelayanan ini adalah pelayanan listrik, pelayanan air bersih, pelayanan telepon.
Ketiga adalah jenis pelayanan jasa, yaitu jenis pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa penyediaan sarana dan prasarana serta penunjangnya. Pengoperasiannya berdasarkan suatu sistem pengoperasian tertentu dan pasti, produk akhirnya berupa jasa yang mendatangkan manfaat bagi penerimanya secara langsung dan habis terpakai dalam jangka waktu tertentu. Contoh jenis pelayanan ini adalah pelayanan angkutan darat, laut dan udara, pelayanan kesehatan, pelayanan perbankan, pelayanan pos dan pelayanan pemadaman kebakaran.
Pelayanan publik sebagaimana disebutkan tadi diberikan kepada masyarakat manakala memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan itu biasanya berbentuk dokumen-dokumen, formulir-formulir, biaya. Pelayanan publik di Indonesia sebagian besar dilakukan melalui mekanisme tatap muka langsung. Operasionalisasi pelayanan publik pada umumnya dilaksanakan oleh jajaran birokrasi paling depan yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Jumlah jajaran unit pelayanan ini dipastikan cukup banyak dan tersebar di berbagai lokasi. Dalam hal ini standarisasi pelayanan menjadi aspek penting agar pelayanan di satu tempat dengan tempat layanan lainnya tidak terlalu berbeda.

3. Indikator Pelayanan Amy YS Rahayu berpendapat ada 5 indikator kualitas pelayanan menurut konsumen, yaitu
1) Tangibles, yaitu fasilitas yang disiapkan pemerintah dalam bentuk sarana fisik kantor, komputerisasi administrasi, ruang tunggu, tempat informasi dan sebagainya yang menunjang kelancaran proses pelayanan dan kenyamanan bagi masyarakat yang dilayani.
2) Realibility, yaitu kemampuan dan keandalan dalam menyediakan pelayanan yang terpercaya.
3) Responsivness, yaitu kesanggupan pihak pemerintah untuk membantu dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat serta tanggap terhadap keinginan konsumen.
4) Assurance yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari kemampuan petugas menyakinkan kepercayaan konsumen
5) Emphaty: sikap tegas tetapi ramah dalam memberikan pelayanan kepada konsumen.
Sementara itu standar pelayanan publik yang ditetapkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara lebih banyak. Standar itu adalah :
1. Prosedur pelayanan, yang mencakup variabel prosedur tetap/standart operasional pelayanan (SOP) secara terbuka, konsistensi pelaksanaan prosedur dan tingkat kemudahan serta kelancaran pelayanan;
2. Keterbukaan informasi pelayanan, terutama keterbukaan informasi mengenai prosedur, persyaratan dan biaya pelayanan dengan jelas dapat diketahui oleh masyarakat, ketersediaan media informasi termasuk petugas yang menangani untuk menunjang kelancaran pelayanan;
3. Kepastian pelaksanaan pelayanan, yang meliputi waktu pelaksanaan dan biayanya, termasuk konsistensi pelaksanaan;
4. Mutu produk pelayanan, yaitu kualitas pelayanan meliputi aspek cara kerja pelayanannya, apakah cepat/tepat, apakah hasil kerjanya baik/rapi/ benar/layak;
5. Tingkat profesional petugas, ialah tingkat kemampuan ketrampilan kerja petugas mengenai, sikap, perilaku dan kedisiplinan dalam memberikan pelayanan, apakah ada kebijakan untuk memotivasi semangat kerja para petugas;
6. Tertib pengelolaan administrasi dan manajemen pelayanan, ialah bagaimana kegiatan pencatatan administrasi pelayanan, pengelolaan berkas apakah dilakukan dengan baik/tertib, motto kerja, dan apakah pembagian tugas dilaksanakan dengan baik serta kebijakan setempat yang mendorong motivasi semangat kerja para petugas;
7. Sarana dan fasilitas pelayanan, yaitu keberadaan sarana dan fasilitas pelayanan sesuai dengan fungsinya, Sarana itu tidak hanya dilihat dari aspek penampilannya tetapi sejauhmana fungsi dan dayaguna dari sarana/fasilitas tersebut dalam menunjang kemudahan, kelancaran proses pelayanan dan memberikan kenyamanan pada pengguna pelayanan;
8. Prestasi lain yang dapat mendorong peningkatan kinerja pelayanan, yang memberikan kemanfaatan pada masyarakat.
Menurut Prijono untuk memberikan pelayanan publik yang baik dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik (Good Governance) paling tidak terdapat lima prasyarat yang perlu dipenuhi, yaitu :
1. Partisipasi yang berarti mendorong masyarakat untuk ikut ambil bagian dari proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun tidak
2. Mengupayakan adanya saling percaya diantara masyarakat dan pemerintah. Untuk ini birokrasi pemerintah harus mengusahakan adanya kemudahan bagi masyarakat luas untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan faktual. Prinsip ini yang disebut dengan sebutan transparansi.
3. Kemampuan untuk mensikapi setiap masalah yang timbul, menampung aspirasi dan keluhan masyarakat secara tepat tanpa ada perbedaan.
4. Profesionalisme yang terlihat dari kemauan, kemampuan dan keahlian birokrasi pemerintah sehingga mereka mampu melayani publik secara mudah, cepat, akurat dan sesuai dengan permintaan.
5. Akuntabilitas dari setiap kebijakan publik, terutama yang menyangkut kepentingan politik, perpajakan maupun anggaran pemerintah
Dari konsep-konsep tersebut maka dapat disimpulkan ada tiga indikator dalam pelayanan publik, yaitu 1) Fasilitasi kebutuhan fisik kantor yang mampu menciptakan kenyamanan dan kelancaran proses pelayanan;
2) Komunikatif terhadap masyarakat yang dilayani, dalam memberi informasi prosedur pelayanan yang dibarengi dengan sikap perilaku dan ketrampilan yang cukup; 3) Konsistensi proses pelayanan sesuai dengan ketentuan-ketentuan, prosedur dan norma-norma etika birokrasi.

4. Pelayanan Kepada masyarakat Hakekat pelayan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat.
Tujuan dari pelayanan publik adalah :
1. Mewujudkan kepastian tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik;
1. Mewujudkan sistem penyelenggaraan pelayanan yang baik sesuai dengan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik;
2. Terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik secara maksimal;
3. Mewujudkan partisipasi dan ketaatan masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik sesuai dengan mekanisme yang berlaku;
Ruang lingkup pelayanan publik meliputi semua bentuk pelayanan yang berkaitan dengan kepentingan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Dalam UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik hak penerima layanan publik adalah sebagai berikut :
1. Mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas-asas dan tujuan pelayanan publik serta sesuai standar pelayanan publik yang telah ditentukan;
2. Mendapatkan kemudahan untuk memperoleh informasi selengkap-lengkapnya tentang sistem, mekanisme dan prosedur dalam pelayanan publik;
3. Memberikan saran untuk perbaikan pelayanan publik;
4. Mendapatkan pelayanan yang tidak diskriminatif, santun, bersahabat dan ramah;
5. Memperoleh konpensasi apabila tidak mendapatkan pelayanan sesuai standar pelayanan publik yang telah ditetapkan;
6. Menyampaikan pengaduan kepada penyelenggara pelayanan publik atau Komisi Pelayanan Publik untuk mendapatkan penyelesaian;
7. Mendapatkan penyelesaian atas pengaduan yang diajukan sesuai mekanisme yang berlaku;
8. Mendapatkan pembelaan, perlindungan dalam upaya penyelesaian sengketa pelayanan publik. Sedangkan kewajiban penerima layanan publik adalah :
1) Mentaati mekanisme, prosedur dan persyaratan dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
2) Memelihara dan menjaga berbagai sarana dan prasarana pelayanan publik;
3) Mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik dan penyelesaian sengketa pelayanan publik. Masyarakat juga mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yang dilakukan dengan cara :
a) Berperan serta dalam merumuskan standar pelayanan publik;
b) Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
c) Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
d) Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
e) Memberikan saran atau pendapat dalam rangka penyelenggaraan publik;
f) Menyampaikan informasi dan atau memperoleh informasi di bidang penyelenggaraan pelayanan publik.
Agar penyelenggaraan administrasi negara benar-benar untuk kepentingan rakyat, maka diperlukan :
1. Social participation (ikut serta rakyat dalam administrasi)
2. Social Responsibility (pertanggungjawaban administrator)
3. Social Support (dukungan dari rakyat pada administrasi negara)
4. Social control (pengawasan dari rakyat kepada kegiatan administrasi negara).
selengkapnya baca.....

Kamis, 03 Maret 2011

PENYUSUNAN TIPOLOGI KECAMATAN , PENATAAN SISTEM KERJA KECAMATAN PERHITUNGAN KEBUTUHAN ANGGARAN MINIMAL KECAMATAN

PENYUSUNAN TIPOLOGI KECAMATAN , PENATAAN SISTEM KERJA KECAMATAN PERHITUNGAN KEBUTUHAN ANGGARAN MINIMAL KECAMATAN download

selengkapnya baca.....

HUBUNGAN PRAKTEK PEMDA DAN KECAMATAN

HUBUNGAN PRAKTEK PEMDA DAN KECAMATAN selengkapnya baca.....

APLIKASI SIM-DA DENGAN PENDEKATAN E-GOVERNMENT

APLIKASI SIM-DA DENGAN PENDEKATAN E-GOVERNMENT selengkapnya baca.....

APLIKASI SIM-DA DENGAN PENDEKATAN E-GOVERNMENT

APLIKASI SIM-DA DENGAN PENDEKATAN E-GOVERNMENT selengkapnya baca.....

SINERGI TUGAS KECAMATAN

SINERGI TUGAS KECAMATAN download selengkapnya baca.....

Penataan Kecamatan

PENATAAN KECAMATAN download selengkapnya baca.....

OPTIMALISASI PERAN DAN FUNGSI CAMAT DALAM PELAYANAN PUBLIK selengkapnya baca.....

Rabu, 02 Maret 2011

IBUKOTA BARU


PADA awalnya adalah kemacetan. Lalu berkumpulah tiga ahli itu pada satu siang, di sebuah restoran di Jakarta, Kamis 29 Juli 2010. Mereka begitu bersemangat. Wartawan diundang datang. Pada hari itu, problem macet Jakarta siap dikulik.

“Soal kemacetan bukan cuma soal teknis transportasi,” ujar Andrinof Chaniago. Dia pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia. Suaranya pesimis. Dia, misalnya, tak percaya solusi menambah panjang jalan, dan juga jalan tol. Mass Rapid Transit pun dianggapnya percuma.

Bagi Andrinof, akar macetnya Jakarta sederhana: pekerjaan bertumpuk di tengah kota, tapi para pekerja tinggal di tepi. Akibatnya pada siang hari, populasi di Jakarta membengkak. Kepadatan itu baru mengempis pada malam hari.
Masalahnya, di tengah kota, rumah mahal. Yang tak sanggup beli atau sewa, akhirnya menyingkir ke pinggir. Mereka baru menyerbu ke tengah kota, pada pagi dan siang hari. Di sini muncul soal lain: Jakarta tak punya alat angkut berskala besar, dan cepat.

“Lalu muncul cost of poverty,” ujar Tata Mustaya, rekan Andrinof. Tata adalah master manajemen pembangunan jebolan Universitas Turin, Italia. Pakar lainnya adalah M Jehansyah Siregar, dosen Institut Teknologi Bandung. Jehansyah adalah doktor di bidang pemukiman dari Universitas Tokyo, Jepang.

Mereka bertiga tergabung dalam Tim Visi Indonesia 2033.

Yang dimaksud Tata adalah orang miskin membayar lebih mahal. Kaum menengah ke bawah itu harus berjibaku melawan kemacetan. Untuk sampai ke tempat kerja, ongkos lebih banyak. Berbeda dengan kaum menengah atas, yang tinggal di tengah kota.

Sebelumnya, pada kesempatan berbeda, Yayat Supriyatna, planolog dari Universitas Trisakti, mengatakan Jakarta tak disiapkan sebagai Ibukota, dengan skala sebesar sekarang. "Pertama, yang harus diingat, kita punya Ibukota karena faktor sejarah," kata Yayat.

Pada awalnya Jakarta adalah kota dagang. Lalu, akibat dinamika sejarah politik, dia harus menampung aktivitas pemerintahan berskala besar. Lantas, yang terjadi fungsi dan peran kota itu menjadi tak jelas.

Pada era Gubernur Ali Sadikin, Jakarta pernah dibenahi. Bang Ali membentuk Perusahaan Umum PPD, sebagai badan layanan umum transportasi, dan membereskan tata guna lahan.

Tapi, akibat paradigma pembangunan Orde Baru yang sentralistis, pembenahan itu pun tak kuasa membendung arus penduduk. Jakarta diserbu pendatang baru. Beban itu baru terasa dekade belakangan. Kota ini kian macet, air bersih kurang, dan banjir kalau hujan.

"Idealnya, penduduknya hanya 4 sampai 5 juta jiwa, setengah dari sekarang," kata Yayat. Statistik terakhir mencatat penduduk resmi Jakarta lebih dari 9,5 juta jiwa.

Inilah yang diingatkan oleh Andrinof. Satu bom sosial siap meledak di Jakarta 20 tahun lagi. Kesenjangan sosial kian tajam, kriminalitas tinggi, taraf kesehatan menurun. Gangguan jiwa meningkat.

"Kalau tak ada keputusan politik untuk pindah Ibukota, kita mungkin menghadapi ledakan sosial seperti Mei 1998," kata Andrinof. Huru-hara 1998 yang menumbangkan rezim orde baru Suharto itu pun terbayang.

Tapi, pindah Ibukota, siapa suka?

Ibukota yang Lain

Nama gedung itu Tri Arga. Artinya tiga gunung. Pekarangannya membentang luas, hampir satu hektare. Ada seorang penjaga di bangunan bergaya kolonial itu. “Bung Hatta pernah berkantor di sini,” ujar Syafril, penjaga gedung itu.

Inilah gedung Istana Wakil Presiden di Bukittinggi, Sumatera Barat. Dia dikenal juga Istana Tiga Gunung, karena berada di lembah Gunung Sago, Merapi dan Singgalang. Istana itu adalah jejak sejarah, bagaimana Ibukota republik berpindah akibat dinamika revolusi.

Kala itu, Indonesia baru tiga tahun merdeka. Dua proklamator, Soekarno dan Hatta, ditahan menyusul agresi militer kedua Belanda. Pada 22 Desember 1948, Syafruddin Prawiranegara memimpin rapat pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi.

Tapi pemerintahan itu tak berkantor di di istana itu. ”Sejumlah kota dikuasai Belanda,” kata Gusti Asnan, sejarawan Universitas Andalas. Para pejuang republik berkumpul di banyak tempat, seperti Bidar Alam (Solok Selatan), dan Koto Tinggi (Payakumbuh).

Syafruddin bergerak, setelah Soekarno-Hatta ditangkap Belanda di Yogyakarta, pada 19 Desember 1948. Selama dua tahun lebih Soekarno-Hatta berkantor di Yogyakarta. Soalnya, politik di Jakarta kian panas setelah proklamasi kemerdekaan.

Adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX berperan dibalik hijrahnya Ibukota Negara dari Jakarta ke Yogyakarta. “Sri Sultan menyatakan Yogyakarta bergabung dengan Republik Indonesia,” kata Suhartono, sejarawan Universitas Gadjah Mada. Di Jakarta, pertempuran sengit pecah antara pejuang republik melawan Belanda dan sekutu.

Di Yogya, pemerintahan berpusat di Gedung Agung. “Selama 3 tahun Yogyakarta dijadikan Ibukota,” ujar Suhartono. Di kota itu lah, Jenderal Soedirman dilantik sebagai Panglima Besar TNI pada 3 Juni 1947. Sebulan kemudian dia menjadi Pucuk Pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia.

Dari Yogya, kombinasi taktik diplomasi dan militer dilancarkan. Belanda lalu mengirimkan Jenderal Spoor, yang menyerbu Yogyakarta pada agresi kedua 19 Desember 1948. Itulah saat para pemimpin republik, Soekarno dan Hatta ditangkap. Mereka dibuang Belanda ke luar Pulau Jawa, tepatnya ke Brastagi dan Bangka.

Perang baru berhenti pada 6 Juli 1949. Indonesia menang lewat jalan diplomasi. Jakarta pun kembali menjadi Ibukota.

Palangka Raya sebagai Ibukota

Tapi, status Jakarta sebagai Ibukota sempat goyang pada 1957. Saat meresmikan pembangunan Kota Palangka Raya, Presiden Soekarno mengungkapkan rencana Ibukota dipindahkan ke kota itu. Palangka Raya adalah kota baru. Dia dibuka dengan membabat hutan di pinggir sungai Kahayan, Kalimantan Tengah.

Alasan Bung Karno memindahkan ibu kota ke Palangka Raya sederhana. “Daerah itu berada di tengah-tengah, sehingga tidak jauh dari pulau-pulau yang masuk dalam NKRI,” ujar Suhartono.

Apa kabar Palangka Raya sekarang? Gubernur Kalimantan Tengah, Teras Narang, menyatakan sejak dulu Palangka Raya siap menjadi Ibukota. Palangka Raya bahkan sudah didesain untuk menjadi Ibukota.

"Di Palangka Raya, ada bundaran besar mengarah ke delapan penjuru, mengarah ke delapan pulau besar di Indonesia," kata Teras Narang. Artinya, kata Teras, kota itu terletak di tengah-tengah Indonesia.

Sebagai Ibukota, Palangka Raya aman secara geologi. Ancaman gempa bumi minim. Kota itu tak seperti Jakarta yang berada di dekat patahan gempa. Kota itu juga terluas di Indonesia dengan 2.678 kilometer persegi. Luas daratan Provinsi DKI Jakarta hanya 661,52 km persegi, atau seperempat Palangka Raya.

Belakangan, gagasan pindah Ibukota ke Palangka Raya kembali mencuat. Parlemen, yang berwenang merevisi Undang-undang Ibukota, tak satu pendapat. Ketua Komisi II DPR yang membidangi pemerintahan, Chairuman Harahap, setuju pemindahan ke Palangka Raya. Ketua DPR Marzuki Alie dan Wakil Ketua Komisi II Ganjar Pranowo senada.

Yang berbeda, Wakil Ketua Komisi II Teguh Juwarno. Teguh mengatakan calon Ibukota sebaiknya adalah Kalimantan Selatan. Menurut politisi Partai Amanat Nasional itu, Kalimantan Selatan lebih siap secara infrastruktur.

Sedangkan Andrinof Chaniago, justru menunjuk Kalimantan Timur. Menurutnya, sebuah kota baru untuk Ibukota harus dibangun di antara Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. “Itulah yang paling tengah,” katanya.

Andrinof mengusulkan, Ibukota baru menempati lahan yang sama sekali kosong sehingga meminimalisir biaya penggusuran, dan tingkat resistensi sosial. Dengan begitu, pemerintah leluasa mengembangkan kota baru yang siap sebagai Ibukota.

Namun seorang politisi di Komisi II, Muslim, mengusulkan sebaiknya kembali ke wacana di masa pemerintahan Soeharto. Dulu, Soeharto menyiapkan Jonggol, Bogor, sebagai pusat pemerintahan.

"Karena Jonggol masih relatif dekat (dengan Jakarta) sehingga dapat menghemat biaya pemindahan Ibukota, infrastrukturnya ada, dan lahan yang sudah dibebaskan di sana begitu luas," kata politisi Demokrat itu.

Menurutnya, sayang bila pembebasan lahan Jonggol yang telah dilakukan di zaman Soeharto, kini disia-siakan begitu saja. Alangkah baiknya, kata Muslim, bila lahan tersebut dibangun menjadi pusat pemerintahan.

Biaya membangun Ibukota

Tapi, berapa ongkos pindah ibukota? Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla sama sekali tak setuju pemindahan Ibukota. Menurutnya, itu bukan perkara mudah. “Butuh dana berapa? Butuh berapa kantor? Kantornya sih mudah dibikin, tapi yang susah bikin rumah,” kata Jusuf Kalla.

Menurut Jusuf Kalla, masalah Jakarta sebagai Ibukota hanya pada kemacetan. Beban sebagai pusat pemerintahan, kata Kalla, sudah berkurang di era otonomi daerah. “Jadi peranan departemen sudah tidak sehebat dulu,” katanya.

Justru karena kemacetan itulah, Andrinof menilai Ibukota harus pindah. Kerugian akibat kemacetan di Jakarta sudah parah. “Minimal Rp17 triliun per tahun,” ujar Andrinof.

Tapi, kalau pindah Ibukota, berapa ongkosnya? Andrinof dan teman-temannya pernah menyusun kertas kerja biaya pemindahan Ibukota. Angka minimum membangun sebuah Ibukota baru adalah Rp100 triliun, dengan perhitungan program berjalan tahunan.

Jika pembanguan kota baru itu butuh waktu 10 tahun, maka " Kita menyisihkan APBN Rp10 triliun untuk membangun tiap tahun," kata Andrinof. Angka Rp10 triliun per tahun itu, kata Andrinof, lebih kecil dari estimasi kerugian Jakarta setiap tahunnya akibat macet.

Kota baru ini, kata Andrinof, harus bisa memuat minimal satu juta penduduk. "Ada 400 ribu pegawai negeri sipil, dan sisanya keluarga dan kalangan swasta," ujarnya. Tentu kota itu harus punya fasilitas lengkap. Jaringan jalan, drainase, listrik, telepon, bandara internasional, dan perkantoran. Juga istana bagi presiden dan wakil.

Cara membangunnya juga bisa dihemat. Toh tak semua lembaga negara atau pemerintahan harus pindah ke Ibukota baru. Misalnya, kata Andrinof, Bank Indonesia tetap dipertahankan di Jakarta. Markas Tentara Nasional Indonesia, misalkan, bisa saja tetap di Jakarta. " Tinggal pemerintah menentukan mana yang pindah, dan yang tidak," ujarnya.

Pakar pemukiman Jehansyah Siregar, menyebutkan kota baru ini harus dibangun oleh badan negara setara Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Badan inilah melakukan perencanaan, dan mengawasi pelaksanaan pembangunan.

“Sekarang tinggal kemauan politik Presiden. Mau atau tidak melakukannya,” kata pengajar di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung itu.
Laporan Eri Naldi (Bukittinggi) | KDW (Yogyakarta)
• VIVAnews
selengkapnya baca.....

PP 65 TAHUN 2005

PP 65 TAHUN 2005 BUKA DISINI
selengkapnya baca.....

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG GERAKAN PRAMUKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2010
TENTANG
GERAKAN PRAMUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pembangunan kepribadian ditujukan untuk
mengembangkan potensi diri serta memiliki akhlak
mulia, pengendalian diri, dan kecakapan hidup bagi
setiap warga negara demi tercapainya kesejahteraan
masyarakat;
b. bahwa pengembangan potensi diri sebagai hak asasi
manusia harus diwujudkan dalam berbagai upaya
penyelenggaraan pendidikan, antara lain melalui
gerakan pramuka;
c. bahwa gerakan pramuka selaku penyelenggara
pendidikan kepramukaan mempunyai peran besar
dalam pembentukan kepribadian generasi muda
sehingga memiliki pengendalian diri dan kecakapan
hidup untuk menghadapi tantangan sesuai dengan
tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan
global;
d. bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku
saat ini belum secara komprehensif mengatur gerakan
pramuka;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Gerakan
Pramuka;
Mengingat . . .
- 2 -
Mengingat : Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, Pasal 28, Pasal 28C,
dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG GERAKAN PRAMUKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Gerakan Pramuka adalah organisasi yang dibentuk
oleh pramuka untuk menyelenggarakan pendidikan
kepramukaan.
2. Pramuka adalah warga negara Indonesia yang aktif
dalam pendidikan kepramukaan serta mengamalkan
Satya Pramuka dan Darma Pramuka.
3. Kepramukaan adalah segala aspek yang berkaitan
dengan pramuka.
4. Pendidikan Kepramukaan adalah proses pembentukan
kepribadian, kecakapan hidup, dan akhlak mulia
pramuka melalui penghayatan dan pengamalan nilainilai
kepramukaan.
5. Gugus Depan adalah satuan pendidikan dan satuan
organisasi terdepan penyelenggara pendidikan
kepramukaan.
6. Pusat . . .
- 3 -
6. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kepramukaan adalah
satuan pendidikan untuk mendidik, melatih, dan
memberikan sertifikasi kompetensi bagi tenaga
pendidik kepramukaan.
7. Satuan Komunitas Pramuka adalah satuan organisasi
penyelenggara pendidikan kepramukaan yang
berbasis, antara lain profesi, aspirasi, dan agama.
8. Satuan Karya Pramuka adalah satuan organisasi
penyelenggara pendidikan kepramukaan bagi peserta
didik sebagai anggota muda untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan pembinaan di bidang
tertentu.
9. Gugus Darma Pramuka adalah satuan organisasi bagi
anggota pramuka dewasa untuk memajukan gerakan
pramuka.
10. Kwartir adalah satuan organisasi pengelola gerakan
pramuka yang dipimpin secara kolektif pada setiap
tingkatan wilayah.
11. Majelis Pembimbing adalah dewan yang memberikan
bimbingan kepada satuan organisasi gerakan
pramuka.
12. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
13. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
14. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan
pemuda.
Bab II . . .
- 4 -
BAB II
ASAS, FUNGSI, DAN TUJUAN
Pasal 2
Gerakan pramuka berasaskan Pancasila.
Pasal 3
Gerakan pramuka berfungsi sebagai wadah untuk
mencapai tujuan pramuka melalui:
a. pendidikan dan pelatihan pramuka;
b. pengembangan pramuka;
c. pengabdian masyarakat dan orang tua; dan
d. permainan yang berorientasi pada pendidikan.
Pasal 4
Gerakan pramuka bertujuan untuk membentuk setiap
pramuka agar memiliki kepribadian yang beriman,
bertakwa, berakhlak mulia, berjiwa patriotik, taat hukum,
disiplin, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, dan
memiliki kecakapan hidup sebagai kader bangsa dalam
menjaga dan membangun Negara Kesatuan Republik
Indonesia, mengamalkan Pancasila, serta melestarikan
lingkungan hidup.
BAB III
PENDIDIKAN KEPRAMUKAAN
Bagian Kesatu
Dasar, Kode Kehormatan, Kegiatan,
Nilai-Nilai, dan Sistem Among
Pasal 5 . . .
- 5 -
Pasal 5
Pendidikan kepramukaan dilaksanakan berdasarkan pada
nilai dan kecakapan dalam upaya membentuk kepribadian
dan kecakapan hidup pramuka.
Pasal 6
(1) Kode kehormatan pramuka merupakan janji dan
komitmen diri serta ketentuan moral pramuka dalam
pendidikan kepramukaan.
(2) Kode kehormatan pramuka terdiri atas Satya
Pramuka dan Darma Pramuka.
(3) Kode kehormatan pramuka sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan, baik dalam kehidupan
pribadi maupun bermasyarakat secara sukarela dan
ditaati demi kehormatan diri.
(4) Satya Pramuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berbunyi:
“Demi kehormatanku, aku berjanji akan bersungguhsungguh
menjalankan kewajibanku terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, mengamalkan Pancasila, menolong sesama
hidup, ikut serta membangun masyarakat, serta
menepati Darma Pramuka.”
(5) Darma Pramuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berbunyi:
Pramuka itu:
a. takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. cinta alam dan kasih sayang sesama manusia;
c. patriot yang sopan dan kesatria;
d. patuh dan suka bermusyawarah;
e. rela menolong dan tabah;
f. rajin, terampil, dan gembira;
g. hemat . . .
- 6 -
g. hemat, cermat, dan bersahaja;
h. disiplin, berani, dan setia;
i. bertanggung jawab dan dapat dipercaya; dan
j. suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.
Pasal 7
(1) Kegiatan pendidikan kepramukaan dilaksanakan
dengan berlandaskan pada kode kehormatan
pramuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2).
(2) Kegiatan pendidikan kepramukaan dimaksudkan
untuk meningkatkan kemampuan spiritual dan
intelektual, keterampilan, dan ketahanan diri yang
dilaksanakan melalui metode belajar interaktif dan
progresif.
(3) Metode belajar interaktif dan progresif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diwujudkan melalui interaksi:
a. pengamalan kode kehormatan pramuka;
b. kegiatan belajar sambil melakukan;
c. kegiatan yang berkelompok, bekerja sama, dan
berkompetisi;
d. kegiatan yang menantang;
e. kegiatan di alam terbuka;
f. kehadiran orang dewasa yang memberikan
dorongan dan dukungan;
g. penghargaan berupa tanda kecakapan; dan
h. satuan terpisah antara putra dan putri.
(4) Penerapan metode belajar sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disesuaikan dengan kemampuan fisik
dan mental pramuka.
(5) Penilaian . . .
- 7 -
(5) Penilaian atas hasil pendidikan kepramukaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
dengan berdasarkan pada pencapaian persyaratan
kecakapan umum dan kecakapan khusus serta
pencapaian nilai-nilai kepramukaan.
(6) Pencapaian hasil pendidikan kepramukaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan
dalam sertifikat dan/atau tanda kecakapan umum
dan kecakapan khusus.
Pasal 8
(1) Nilai kepramukaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 mencakup:
a. keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa;
b. kecintaan pada alam dan sesama manusia;
c. kecintaan pada tanah air dan bangsa;
d. kedisiplinan, keberanian, dan kesetiaan;
e. tolong-menolong;
f. bertanggung jawab dan dapat dipercaya;
g. jernih dalam berpikir, berkata, dan berbuat;
h. hemat, cermat, dan bersahaja; dan
i. rajin dan terampil.
(2) Nilai kepramukaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan inti kurikulum pendidikan
kepramukaan.
Pasal 9
Kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 terdiri
atas:
a. kecakapan umum; dan
b. kecakapan khusus.
Pasal 10 . . .
- 8 -
Pasal 10
(1) Kegiatan pendidikan kepramukaan dilaksanakan
dengan menggunakan sistem among.
(2) Sistem among merupakan proses pendidikan
kepramukaan yang membentuk peserta didik agar
berjiwa merdeka, disiplin, dan mandiri dalam
hubungan timbal balik antarmanusia.
(3) Sistem among sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilaksanakan dengan menerapkan
prinsip kepemimpinan:
a. di depan menjadi teladan;
b. di tengah membangun kemauan; dan
c. di belakang mendorong dan memberikan motivasi
kemandirian.
Bagian Kedua
Jalur dan Jenjang
Pasal 11
Pendidikan kepramukaan dalam Sistem Pendidikan
Nasional termasuk dalam jalur pendidikan nonformal yang
diperkaya dengan pendidikan nilai-nilai gerakan pramuka
dalam pembentukan kepribadian yang berakhlak mulia,
berjiwa patriotik, taat hukum, disiplin, menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur bangsa, dan memiliki kecakapan hidup.
Pasal 12
Jenjang pendidikan kepramukaan terdiri atas jenjang
pendidikan:
a. siaga;
b. penggalang;
c. penegak; dan
d. pandega.
Bagian Ketiga . . .
- 9 -
Bagian Ketiga
Peserta Didik, Tenaga Pendidik, dan Kurikulum
Pasal 13
(1) Setiap warga negara Indonesia yang berusia 7 sampai
dengan 25 tahun berhak ikut serta sebagai peserta
didik dalam pendidikan kepramukaan.
(2) Peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. pramuka siaga;
b. pramuka penggalang;
c. pramuka penegak; dan
d. pramuka pandega.
(3) Peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam pendidikan kepramukaan disebut sebagai
anggota muda.
Pasal 14
(1) Tenaga pendidik dalam pendidikan kepramukaan
terdiri atas:
a. pembina;
b. pelatih;
c. pamong; dan
d. instruktur.
(2) Tenaga pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan standar tenaga pendidik.
(3) Tenaga pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam pendidikan kepramukaan disebut sebagai
anggota dewasa.
Pasal 15 . . .
- 10 -
Pasal 15
Kurikulum pendidikan kepramukaan yang mencakup
aspek nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
dan kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
disusun sesuai dengan jenjang pendidikan kepramukaan
dan harus memenuhi persyaratan standar kurikulum yang
ditetapkan oleh badan standardisasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Satuan Pendidikan Kepramukaan
Pasal 16
Satuan pendidikan kepramukaan terdiri atas:
a. gugus depan; dan
b. pusat pendidikan dan pelatihan.
Bagian Kelima
Evaluasi, Akreditasi, dan Sertifikasi
Pasal 17
(1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu
pendidikan kepramukaan sebagai bentuk akuntabilitas
penyelenggaraan pendidikan kepramukaan kepada
pihak yang berkepentingan.
(2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, tenaga
pendidik, dan kurikulum, pada setiap jenjang dan
satuan pendidikan kepramukaan.
(3) Evaluasi terhadap peserta didik dilakukan oleh
pembina.
(4) Evaluasi . . .
- 11 -
(4) Evaluasi terhadap tenaga pendidik dilakukan oleh
pusat pendidikan dan pelatihan nasional yang
dibentuk oleh kwartir nasional.
(5) Evaluasi terhadap kurikulum pendidikan kepramukaan
dilakukan oleh pusat pendidikan dan pelatihan
nasional yang dibentuk oleh kwartir nasional.
Pasal 18
(1) Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan
kegiatan dan satuan pendidikan kepramukaan pada
setiap jenjang pendidikan kepramukaan.
(2) Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat
terbuka dan dilakukan oleh lembaga akreditasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
(1) Sertifikat berbentuk tanda kecakapan dan sertifikat
kompetensi.
(2) Tanda kecakapan diberikan kepada peserta didik
sebagai pengakuan terhadap kompetensi peserta didik
melalui penilaian terhadap perilaku dalam
pengamalan nilai serta uji kecakapan umum dan uji
kecakapan khusus sesuai dengan jenjang pendidikan
kepramukaan.
(3) Sertifikat kompetensi bagi tenaga pendidik diberikan
oleh pusat pendidikan dan pelatihan kepramukaan
pada tingkat nasional.
BAB IV . . .
- 12 -
BAB IV
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 20
(1) Gerakan pramuka bersifat mandiri, sukarela, dan
nonpolitis.
(2) Satuan organisasi gerakan pramuka terdiri atas:
a. gugus depan; dan
b. kwartir.
Pasal 21
Gugus depan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(2) huruf a meliputi gugus depan berbasis satuan
pendidikan dan gugus depan berbasis komunitas.
Pasal 22
(1) Gugus depan berbasis satuan pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 meliputi
gugus depan di lingkungan pendidikan formal.
(2) Gugus depan berbasis komunitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 meliputi gugus depan
komunitas kewilayahan, agama, profesi, organisasi
kemasyarakatan, dan komunitas lain.
Pasal 23
Kwartir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2)
huruf b terdiri atas:
a. kwartir ranting;
b. kwartir cabang;
c. kwartir daerah; dan
d. kwartir nasional.
Bagian Kedua . . .
- 13 -
Bagian Kedua
Pembentukan dan Kepengurusan Organisasi
Pasal 24
Gugus depan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(2) huruf a dibentuk melalui musyawarah anggota
pramuka.
Pasal 25
(1) Gugus depan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
dapat membentuk kwartir ranting.
(2) Kwartir ranting sebagaimana pada ayat (1) dapat
membentuk kwartir cabang.
Pasal 26
(1) Kwartir cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (2) dapat membentuk kwartir daerah.
(2) Kwartir daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat membentuk kwartir nasional.
Pasal 27
(1) Kepengurusan kwartir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 dipilih oleh pengurus organisasi gerakan
pramuka yang berada di bawahnya secara demokratis
melalui musyawarah kwartir.
(2) Kepengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak terikat dengan jabatan publik.
Bagian Ketiga
Kwartir Ranting, Kwartir Cabang, Kwartir Daerah, dan Kwartir Nasional
Pasal 28
(1) Kwartir ranting sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 huruf a merupakan satuan organisasi gerakan
pramuka di kecamatan.
e. bahwa . . .
(2) Kwartir . . .
- 14 -
(2) Kwartir ranting mempunyai tugas memimpin dan
mengendalikan gerakan pramuka dan kegiatan
kepramukaan di kecamatan.
(3) Kwartir ranting sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibentuk oleh paling sedikit 5 (lima) gugus depan
melalui musyawarah ranting.
(4) Kepengurusan kwartir ranting dibentuk melalui
musyawarah ranting.
(5) Kepemimpinan kwartir ranting bersifat kolektif.
(6) Musyawarah ranting sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) merupakan forum untuk:
a. pertanggungjawaban organisasi;
b. pemilihan dan penetapan kepengurusan
organisasi kwartir ranting; dan
c. penetapan rencana kerja organisasi.
Pasal 29
(1) Kwartir cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
huruf b merupakan organisasi gerakan pramuka di
kabupaten/kota.
(2) Kwartir cabang mempunyai tugas memimpin dan
mengendalikan gerakan pramuka dan kegiatan
kepramukaan di kabupaten/kota.
(3) Kwartir cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibentuk melalui musyawarah cabang.
(4) Kepengurusan kwartir cabang dibentuk melalui
musyawarah cabang.
(5) Kepemimpinan kwartir cabang bersifat kolektif.
(6) Musyawarah cabang sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) merupakan forum untuk:
a. pertanggungjawaban organisasi;
b. pemilihan dan penetapan kepengurusan organisasi
kwartir cabang; dan
Pasal 30 . . .
- 15 -
c. penetapan rencana kerja organisasi.
Pasal 30
(1) Kwartir daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
huruf c merupakan organisasi gerakan pramuka di
provinsi.
(2) Kwartir daerah mempunyai tugas memimpin dan
mengendalikan gerakan pramuka dan kegiatan
kepramukaan di provinsi.
(3) Kwartir daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibentuk melalui musyawarah daerah.
(4) Kepengurusan kwartir daerah dibentuk melalui
musyawarah daerah.
(5) Kepemimpinan kwartir daerah bersifat kolektif.
(6) Musyawarah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) merupakan forum untuk:
a. pertanggungjawaban organisasi;
b. pemilihan dan penetapan kepengurusan organisasi
kwartir daerah; dan
c. penetapan rencana kerja organisasi.
Pasal 31
(1) Kwartir nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 huruf d merupakan organisasi gerakan pramuka
lingkup nasional.
(2) Kwartir nasional mempunyai tugas memimpin dan
mengendalikan gerakan pramuka serta kegiatan
kepramukaan lingkup nasional.
(3) Kwartir nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibentuk melalui musyawarah nasional.
(4) Kepengurusan kwartir nasional dibentuk melalui
musyawarah nasional.
(5) Kepemimpinan kwartir nasional bersifat kolektif.
(6) Musyawarah . . .
- 16 -
(6) Musyawarah nasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) merupakan forum musyawarah tertinggi
untuk:
a. pertanggungjawaban organisasi;
b. pemilihan dan penetapan kepengurusan organisasi
kwartir nasional;
c. perubahan dan penetapan anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga; dan
d. penetapan rencana kerja strategis organisasi.
Bagian Keempat
Organisasi Pendukung
Pasal 32
(1) Satuan organisasi gerakan pramuka sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 huruf b, huruf c, dan huruf
d sesuai dengan tingkatannya dapat membentuk:
a. satuan karya pramuka;
b. gugus darma pramuka;
c. satuan komunitas pramuka;
d. pusat penelitian dan pengembangan;
e. pusat informasi; dan/atau
f. badan usaha.
(2) Ketentuan mengenai organisasi pendukung gerakan
pramuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga.
Bagian Kelima . . .
- 17 -
Bagian Kelima
Majelis Pembimbing
Pasal 33
(1) Pada setiap gugus depan dan kwartir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dapat dibentuk
majelis pembimbing.
(2) Majelis pembimbing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertugas memberikan bimbingan moral dan
keorganisatorisan serta memfasilitasi penyelenggaraan
pendidikan kepramukaan.
(3) Majelis pembimbing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas unsur:
a. Pemerintah;
b. pemerintah daerah; dan
c. tokoh masyarakat.
(4) Majelis pembimbing dari unsur tokoh masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c harus
memiliki komitmen yang tinggi terhadap gerakan
pramuka.
Pasal 34
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi,
tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja
gugus depan, kwartir, dan majelis pembimbing
ditetapkan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga gerakan pramuka.
(2) Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga gerakan
pramuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh musyawarah nasional.
Bagian Keenam . . .
- 18 -
Bagian Keenam
Atribut
Pasal 35
(1) Gerakan pramuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 ayat (2) memiliki atribut berupa:
a. lambang;
b. bendera;
c. panji;
d. himne; dan
e. pakaian seragam.
(2) Atribut gerakan pramuka sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didaftarkan hak ciptanya.
BAB V
TUGAS DAN WEWENANG
Pasal 36
Pemerintah dan pemerintah daerah bertugas:
a. menjamin kebebasan berpendapat dan berkarya dalam
pendidikan kepramukaan;
b. membimbing, mendukung, dan memfasilitasi
penyelenggaraan pendidikan kepramukaan secara
berkelanjutan dan berkesinambungan; dan
c. membantu ketersediaan tenaga, dana, dan fasilitas
yang diperlukan untuk pendidikan kepramukaan.
Pasal 37
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah berwenang untuk
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pendidikan kepramukaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pengawasan . . .
- 19 -
(2) Pengawasan terhadap pelaksanaan penyelengaraan
pendidikan kepramukaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri, dan gubernur,
serta bupati/walikota.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 38
Setiap peserta didik berhak:
a. mengikuti pendidikan kepramukaan;
b. menggunakan atribut pramuka;
c. mendapatkan sertifikat dan/atau tanda kecakapan
kepramukaan; dan
d. mendapatkan perlindungan selama mengikuti kegiatan
kepramukaan.
Pasal 39
Setiap peserta didik berkewajiban:
a. melaksanakan kode kehormatan pramuka;
b. menjunjung tinggi harkat dan martabat pramuka; dan
c. mematuhi semua persyaratan dan ketentuan
pendidikan kepramukaan.
Pasal 40
Orang tua berhak mengawasi penyelenggaraan pendidikan
kepramukaan dan memperoleh informasi tentang
perkembangan anaknya.
Pasal 41 . . .
- 20 -
Pasal 41
Orang tua berkewajiban untuk:
a. membimbing, mendukung, dan membantu anak dalam
mengikuti pendidikan kepramukaan; dan
b. membimbing, mendukung, dan membantu satuan
pendidikan kepramukaan sesuai dengan kemampuan.
Pasal 42
Masyarakat berhak untuk berperan serta dan memberikan
dukungan sumber daya dalam kegiatan pendidikan
kepramukaan.
BAB VII
KEUANGAN
Pasal 43
(1) Keuangan gerakan pramuka diperoleh dari:
a. iuran anggota sesuai dengan kemampuan;
b. sumbangan masyarakat yang tidak mengikat; dan
c. sumber lain yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Selain sumber keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah
dapat memberikan dukungan dana dari anggaran
pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah.
(3) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, selain berupa uang dapat juga berupa
barang atau jasa.
Pasal 44 . . .
- 21 -
Pasal 44
Pengelolaan keuangan gerakan pramuka dilaksanakan
secara transparan, tertib, dan akuntabel serta diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 45
Satuan organisasi gerakan pramuka dilarang:
a. menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan
Pemerintah; atau
b. memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan
kepentingan bangsa dan negara.
Pasal 46
(1) Satuan organisasi gerakan pramuka yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
dapat dibekukan oleh Pemerintah atau pemerintah
daerah.
(2) Satuan organisasi gerakan pramuka yang telah
dibekukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
tetap melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 dapat dibubarkan berdasarkan
putusan pengadilan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 47
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. organisasi gerakan pramuka dan organisasi lain yang
menyelenggarakan pendidikan kepramukaan yang ada
sebelum Undang-Undang ini diundangkan tetap diakui
keberadaannya;
b. satuan . . .
- 22 -
b. satuan atau badan kelengkapan dari organisasi
sebagaimana dimaksud dalam huruf a tetap
menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung jawab
organisasi yang bersangkutan;
c. aset yang dimiliki oleh organisasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf a tetap menjadi aset organisasi
yang bersangkutan; dan
d. anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi
sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib
disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini
dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 48
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
gerakan pramuka yang bertentangan dengan ketentuan
Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 49
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 23 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 24 November 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 November 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 131
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
selengkapnya baca.....