Tentang Medika

Foto saya
Bandung, jawa barat, Indonesia
Mencoba memenuhi keingitahuan terhadap kegiatan Pemerintahan, dengan membahas hal-hal umum sampai yang mendetail mengenai kultur,struktur serta prosedur dalam proses penyelenggaraannya

Jumat, 21 Januari 2011

DIMENSI DAN TIPE BUDAYA POLITIK

DIMENSI DAN TIPE BUDAYA POLITIK

1. Dimensi-dimensi Budaya Politik
Untuk memudahkan analisis pengaruh budaya politik, maka dapat kita gunakan 4 parameter dimensi menurut Lucian W. Pye. Pye membagi dimensi tersebut menjadi hirarki dan equality, liberty and coercion, loyalty and commitment, dan trust and distrust.
Hirarki dan Equality. Hampir semua sturktur administrative punya stuktur hirarkis baik dalam hal personil maupun otoritas. Nilai-nilai budaya sehubungan dengan otoritas dan impersonalitas suatuaturan penting untuk menentukan akseptabilitas

praktek-praktek manajemen hirarkis yang tersedia. Dalam hubungan dengan masalah hirarki dan equality ini, penting diajukan pertanyaan bagaimana cara rekrutmen untuk posisi administratif? Anda tentu masih ingat ‘achievement’ dan ‘ascription’ dalam konteks bagaimana masyrakat merekrut orang untuk sebuah posisi, bukan? Dalam masyarakat yang berorientasi ‘achievement’ posisi seorang individu ditentukan oleh ability-nya. Kemajuan di masyarakat ditentukan oleh apa yang orang dapat lakukan, bukan oleh dari mana ia lahir. Di sisi lain, masyarakat askriptif merekrut individu ke dalam satu posisi (birokrasi) berdasarkan criteria askriptif seperti kelas, status, ras, bahasa, kasta, gender, singkatnya berdasarkan karakter personal yang eksklusif. Kriteria ‘achievement’ banyak dihubungkan dengan masyarakat ‘modern’ sementara kriteria ‘askriptif’ kepada masyarakat tradisional. Birokrasi sering dikatakan sebagai wujud masyarakat modern dan sebab itu dalam pola rekrutment harus mengikut pada pola ‘achievement.’ Para pemilih boleh saja memilih elit tradisional untuk mengatur Negara, tetapi birokrasi secara teori lebih memilih orang terbaik dengan mengabaikan posisi sosial-ekonomi atau karakteristik askriptif lainnya. Secara teori ini mungkin benar, tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian. Dalam terminology tradisional, birokrasi merupakan kepanjangan tangan pemerintah yang secara sosiologis posisinya berada di atas pemerintah. Namun, lewat perkembangan evolutif, terjadi upaya-upaya penyamaan posisi antara warganegara dan pemerintah. Birokrasi tidak lagi bercorak ‘raja’ tetapi lebih bercorak ‘pelayan’ yang secara sosiologi posisinya adalah sama, warganegara kebanyakan.


Liberty and Coercion. Dekat hubungannya dengan ide hirarki dan equality, adalah liberty dan lawannya, coercion. Hampir semua masyarakat telah mengalami perubahan historis, perubahan yang mengubah sistem nilai mereka. Dari dahulu yang berada melulu di bawah kendali pemerintah kini hendak menentukan bagaimana pemerintahan itu di-exercise. Setiap birokrasi kini harus menentukan batasan kebebasan dan koersi sehubungan dengan implementasi sebuah keputusan. Sanksi mungkin lebih dapat diterapkan pada birokrasi-birokrasi Negara bercorak ekonomi seperti bank pemerintah, cukai, dan sejenisnya. Namun, bagaimana halnya dengan kepolisian? Pola punishment di Negara-negara modern dan demokratis adalah lebih rumit ketimbang di Negara-negara otoritarian. Stabilitas suatu masyarakat demokratis bergantung pada derajat consensus nilai yang diterapkan baik oleh penegak hukum dan penerimaan warganegara. Misalnya, bagaimana polisi (birokrasi Negara) menangani protes-protes yang berkembang di tengah masyarakat demokratis. Di satu sisi merupakan hak mereka mengekspresikan keinginan atas pemerintah, di sisi lain aparatur Negara harus tetap menjamin ketenteraman dan ketertiban sosial. Cina dan Korea Selatan merupakan dua contoh bagaimana dimensi liberty dan coercion ini terus menjadi dilemma.
Loyalitas dan Komitmen. Dimensi ketiga adalah loyalitas dan komitmen. Keduanya mengacu pada seberapa besar individu memberikan loyalitas dan komitmennya kepada bangsa. Untuk banyak kasus Negara berkembang, juga beberapa Negara maju, orang masih mengidentifikasi dengan basis primordialnya. Masih banyak loyalitas diberikan kepada bahasa, keluarga, agama, kasta, atau suku bangsa, dan bukan kepada bangsa selaku keseluruhan. Di Eropa kini, loyalitas lebih banyak ditujukan kepada Uni Eropa bukan kepada Negara mereka masing-masing. Dampak dari rendahnya komitmen terhadap Negara-bangsa telah menggejala. Ini utamanya terjadi tatkala komitmen lebih bersifat subnasional. Pertama, eksistensi perpecahan sosial cenderung mengarahkan kerja birokrasi. Contohnya, baik Belanda maupun Swiss telah mengatur kesepakatan aturan birokrasi seputar bahasa dan agama. Kedua, hubungan antara administrator dan klien (warganegara). Sehubungan dengan hubungan kelas sosial dan rekrutmen pejabat, kita harus berikan perhatian pada komposisi etnik dalam birokrasi. Dominasi suatu etnik dalam birokrasi mengemuka utamanya di Negara-negara berkembang, khususnya di Negara-negara yang mewarisi birokrasi colonial. Sebagai contoh konflik etnik di Rwanda, Burundi, Nigeria, merupakan dampak dari dominasi
sector public (termasuh angkatan bersenjata) oleh satu kelompok etnik atas lainnya. Ini juga terjadi di Irlandia, sehubungan dengan dominasi Protestan di Irlandia Utara yang mayoritas Katolik. Di Kanada ini terjadi antara wilayah-wilayah yang berbahasa Inggris dengan Perancis.
Trust and Distrust. Tingkat trust dan distrust di kalangan warganegara adalah penting. Political trust jadi penjelasan popular dalam menguraikan sukses-sukses relative di sistem-sistem politik yang berbeda. Perbedaan dalam level dan perkembangan kekuasaan pembuatan keputusan di Negara-negara sat ini merefleksikan pola-pola budaya politik di masyarakat tersebut. Pempolaan trust di budaya politik memainkan peran penting dalam penjelasan ini. Untuk itu perlu dibedakan dua komponen political trust ini. Pertama adalah komponen trust di tingkat individual, yang dilawankan dengan sinisme personal. Variabel ini adalah derajat di mana individu dalam masyarakat mempercayai orang lain di luar keluarganya. Dalam surveynya, Almond dan Verba menemukan 55% orang Amerika, 49% orang Inggris, 7% orang Italia percaya bahwa orang lain itu “bisa dipercaya.” Pentingnya trust and distrust dalam konteks budaya politik adalah kurangnya social trust berakibat pada kemungkinan kondisi “mengatur/memerintah sendiri” di kalangan masyarakat. Di masyarakat yang derajat trust-nya tinggi, aktivitas warganegara dapat dimanfaatkan untuk mendukung antara pemerintah dan warganegara.

2. Tipe-tipe Budaya Politik
a. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks,menuntut kerja sama yang luas untuk memper¬padukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap militan atau sifat tolerasia.
- Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
- Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat men¬ciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
- Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
- Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini. Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyim¬pangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.

b. Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :
a. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
b. Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
c. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.

No Budaya Politik Uraian / Keterangan
1. Parokial a. Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.
b. Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.
c. Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan akan perubahan yang komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.
d. Kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik.
e. Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik berada pada
jenjang sangat minim.
f. Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif dari pada kognitif.

2. Subyek/Kaula
a. Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.
b. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah
c. Hubungannya terhadap sistem plitik secara umum, dan terhadap output, administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.
d. Sering wujud di dalam masyarakat di mana tidak terdapat struktur input yang terdiferensiansikan.
e. Orientasi subyek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.

3. Partisipan
a. Frekuensi orientasi politik sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.
b. Bentuk kultur dimana anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem politik secara komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif (aspek input dan output sistem politik)
c. Anggota masyarakat partisipatif terhadap obyek politik
d. Masyarakat berperan sebagai aktivis.

Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.
Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.
Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya politik partisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik. Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah,

sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.
Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah politik. Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu :
a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)
b. Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)
c. Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture)
Berdasarkan penggolongan atau bentuk-bentuk budaya politik di atas, dapat dibagi dalam tiga model kebudayaan politik sebagai berikut :
Model-Model Kebudayaan Politik
Demokratik Industrial Sistem Otoriter Demokratis Pra Industrial
Dalam sistem ini cukup banyak aktivis politik untuk menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberian suara yang besar. Di sini jumlah industrial dan modernis sebagian kecil, meskipun terdapat organisasi politik dan partisipan politik seperti mahasiswa, kaum in-telektual dengan tindakan persuasif menentang sis-tem yang ada, tetapi seba-gian besar jumlah rakyat hanya menjadi subyek yang pasif. Dalam sistem ini hanya terdapat sedikit sekali parti-sipan dan sedikit pula keter-libatannya dalam peme-rintahan

Pola kepemimpinan sebagai bagian dari budaya politik, menuntut konformitas atau mendorong aktivitas. Di negara berkembang seperti Indonesia, pemerintah diharapkan makin besar peranannya dalam pembangunan di segala bidang. Dari sudut penguasa, konformitas menyangkut tuntutan atau harapan akan dukungan dari rakyat. Modifikasi atau kompromi tidak diharapkan, apalagi kritik. Jika pemimpin itu merasa dirinya penting, maka dia menuntut rakyat menunjuk¬kan kesetiaannya yang tinggi. Akan tetapi, ada pula elite yang menyadari inisiatif rakyat yang menentukan tingkat pembangunan, maka elite itu sedang mengembang akan pola kepemimpinan inisiatif rakyat dengan tidak mengekang kebebasan.
Suatu pemerintahan yang kuat dengan disertai kepasifan yang kuat dari rakyat, biasanya mempunyai budaya politik bersifat agama politik, yaitu politik dikembang a¬kan berdasarkan ciri-ciri agama yang cenderung mengatur secara ketat setiap anggota masyarakat. Budaya tersebut merupakan usaha percampuran politik dengan ciri-ciri keagamaan yang dominan dalam masyarakat tradisional di negara yang baru berkembang. David Apter memberi gambaran tentang kondisi politik yang menimbulkan suatu agama politik di suatu masyarakat, yaitu kondisi politik yang terlalu sentralistis dengan peranan birokrasi atau militer yang terlalu kuat. Budaya politik para elite berdasarkan budaya politik agama tersebut dapat mendorong atau menghambat pembangunan karena massa rakyat harus menyesuaikan diri pada kebijaksanaan para elite politik.sebut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar