Tentang Medika

Foto saya
Bandung, jawa barat, Indonesia
Mencoba memenuhi keingitahuan terhadap kegiatan Pemerintahan, dengan membahas hal-hal umum sampai yang mendetail mengenai kultur,struktur serta prosedur dalam proses penyelenggaraannya

Selasa, 25 Januari 2011

KOORDINASI PEMERINTAH DAERAH DENGAN DPRD

KOORDINASI PEMERINTAHAN DAERAH (KOORDINASI PEMERINTAH DAERAH DENGAN DPRD)

Koordinasi DPRD dan Kepala Daerah
Dalam sejarah administrasi publik pernah dipersoalkan pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif secara riil, Meskipun memiliki fungsi yang berbeda tetapi sifat dari fungsi tersebut saling mengisi sehingga diperlukan koordinasi yang baik agar keduanya dapat berjalan bersama. Keterkaitan antara keduanya secara tegas dirumuskan dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) Pasal 19 ayat 2 bahwa keduanya sebagai mitra sejajar yang sama-sama melakukan tugas sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Itu berarti bahwa salah satu dari keduanya tidak boleh ada yang disubordinatkan. Tidak ada peran yang bisa disubstitusikan oleh lembaga lain. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang sepatutnya diteropong untuk diketahui bersama antara keduanya dalam membangun hubungan yang ideal dan harmonis yakni:
Pertama, koordinasi dalam legitimasi kekuasaan. Kedua lembaga (legislatif dan eksekutif) ini sama-sama mendapat legitimasi rakyat, keduanya dipilih rakyat secara langsung. Yang membedakan legitimasi tersebut adalah derajatnya. Tak dapat disangkal bahwa legitimasi kepala daerah/wakil kepala daerah lebih besar dibanding dengan DPRD.
Disebut demikian karena walaupun sama-sama dipilih langsung oleh rakyat tetapi kedudukan DPRD masih diuntungkan oleh mekanisme internal partai politik (parpol) seperti nomor urut walaupun jumlah suara tidak sesuai dengan bilangan pembagi pemilih (BPP).
Kedua, koordinasi terhadap masyarakat di daerah. Bagi eksekutif, masyarakat adalah pihak yang harus dilayani, dipuaskan dengan berbagai kebijakan populis yang dibuat bersama legislatif. Sedangkan bagi DPRD yang berasal dari parpol, masyarakat adalah konstituen dan basis politik yang sangat mempengaruhi evolusi partai yang berjalan linear dengan kepentingan individunya. Masyarakat baik bagi parpol maupun pemerintah daerah adalah sumber legitimasi, dan mandat politik atau kekuasaan.
Ketiga, posisi politik masing-masing. Baik DPRD maupun pemerintah daerah merupakan mitra sejajar dan penyelenggara pemerintahan di daerah (Pasal 19). Peran tersebut harus diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayananan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkaan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.
Keempat, koordinasi dalam memahami tugas, wewenang, kewajiban dan bahkan larangan yang sudah digariskan oleh UU Pemda. Misalnya untuk kepala daerah/wakil kepala daerah (Pasal 25, 26, 27, dan 28) dan untuk DPRD (Pasal 42, 43, 45, dan 54). Ketika memasuki wilayah praktis-politis untuk meletakkan hubungan kemitraan dengan eksekutif, DPRD hanya memperhatikan fungsinya seperti yang diamanatkan oleh UU Pemda Pasal 41 menyangkut tiga (3) hal: Pertama, hubungan (dalam konteks) legislasi.

Dalam proses pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintah Daerah, terdapat hubungan yang bersifat koordinatif antara DPRD dengan Kepala Daerah:
Pertama, Hubungan antara kedua lembaga negara ini di sini adalah pada saat membuat peraturan daerah (perda). Kedua lembaga sama-sama berhak untuk membuat perda (Pasal 140 ayat 1). Tetapi pada saat pembahasan tentang perda yang substansinya sama maka yang harus didahulukan adalah perda yang dibuat oleh legislatif, sedangkan perda yang dibuat oleh eksekutif sebagai bahan perbandingan (Pasal 140 ayat 2). Sebisa mungkin, sebuah perda memiliki kandungan filosofis, sosiologis, yuridis; atau dalam bahasa hukum seperti yang tertera dalam Pasal 137 - syarat perda dan Pasal 138 - asas perda). Sementara satu-satunya perda yang dibuat oleh pemda yang juga dibahas bersama DPRD adalah perda tentang Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD-Pasal 181). Sebelum menjadi sebuah perda yang bersifat tetap, maka perda harus melalui beberapa tahap yakni a) sosialisasi, b) penetapan, dan c) pengundangan. Ini harus dilakukan a) demi kualitas kandungan dan sisi pandang yang komperhensif dari sebuah perda, b) agar perda tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (136 ayat 4). Sehingga sebisa mungkin, masyarakat dilibatkan secara aktif terlebih pers, LSM dan Intelektual kampus (Pasal 139 ayat 1).
Kedua, hubungan (dalam konteks) anggaran. Semua urusan pemerintahan di daerah didanai oleh APBD. APBD tersebut harus mendapat persetujuan dari DPRD karena APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah (Pasal 179) dalam melakukan pelayanan publik dalam masa satu tahun anggaran. Eksekutif kendati memiliki hak untuk membuatnya, tidak berarti harus menafikan DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama (Pasal 181). Dengan demikian keterlibatan DPRD di sini adalah membahas dan atau memberikan persetujuan atas rancangan APBD yang dibuat oleh eksekutif (Pasal 42 b). Walau pada akhirnya, eksekutif merupakan pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah (Pasal 156 ayat 1).
Ketiga, hubungan (dalam konteks) pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh DPRD sebenarya merupakan manifestasi dari mekanisme check and balances dalam sistem demokrasi. Sedangkan beberapa fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD tersebut adalah sebagai berikut:
a) mengawasi pelaksanaan peraturan daerah dan perundang-undangan lainnya, b) mengawasi pelaksanaan keputusan pemerintah daerah (gubernur, bupati/walikota), c) mengawasi pelaksanaan APBD, d) mengawasi kebijakan pemerintah daerah, dan e) mengawasi pelaksanaan kerja sama internasional di daerah (Pasal 42 ayat 1 huruf c), serta mengawasi KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (idem, huruf j).
Ketika DPRD melakukan tugas-tugas pengawasan tersebut dan ternyata banyak hal yang diharapkan tidak terlaksana dengan baik oleh eksekutif maka DPRD dapat menggunakan hak-haknya seperti pada Pasal 43 ayat (1) yaitu hak menyatakan pendapat, hak interpelasi dan hak angket. Penggunaan ketiga hak ini oleh DPRD memungkinkan pemerintah daerah di-impeach. Sehingga kemungkinan munculnya implikasi negatif dari pemberian hak yang sangat besar kepada DPRD (legislative heavy) juga perlu mendapat perhatian, yaitu kemungkinan terjadinya “konflik” yang berkepanjangan antara kepala daerah dan DPRD. Karena kalau mau jujur, DPRD kita selalu memainkan peran “partisan” bukan sebagai delegate atau trustee sebagaimana gagasan dasar respresentasi.
Implementasi fungsi-fungsi yang dimiliki DPRD yang terdiri fungsi legistlasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan, dan fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat ternyata secara simultan berpengaruh terhadap kinerja Kepala Daerah, dengan demikian maka implementasi tugas fungsi legistlasi DPRD merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dengan kinerja Kepala Daerah. Hal ini terjadi karena baik buruknya implementasi fungsi legislasi yang dilakukan oleh DPRD akan berimbas atau berdampak terhadap baik buruknya kinerja Kepala Daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar