Tentang Medika

Foto saya
Bandung, jawa barat, Indonesia
Mencoba memenuhi keingitahuan terhadap kegiatan Pemerintahan, dengan membahas hal-hal umum sampai yang mendetail mengenai kultur,struktur serta prosedur dalam proses penyelenggaraannya

Rabu, 23 Maret 2011

PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (LEGAL DRAFTING)

PEDOMAN UMUM
PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (LEGAL DRAFTING)

Modul. Berikut adalah judul Modul yang dipakai dalam Diklat Penyusunan Peraturan Perundang-undangan:
1. Modul 1 - Negara Republik Indonesia Sebagai Negara Hukum
2. Modul 2 - Proses Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
3. Modul 3 - Prosedur Penyusunan dan Pembentukan Peraturan Perundangundangan
4. Modul 4 - Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
5. Modul 5 - Bahasa Perundang-undangan
6. Praktek - Penyusunan Rancangan Naskah Akademik dan Raperda.
1. Modul 1 - Negara Republik Indonesia Sebagai Negara Hukum
a. Konsep Negara Hukum.
1) Sejarah Negara Hukum;
2) Unsur-unsur negara hukum;
3) Indonesia sebagai Negara Hukum.
b. Landasan Penyusunan Peraturan Perundangan-undangan.
1) Prinsip-prinsip Peraturan Perundang-undangan;
2) Azas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
3) Azas Pemberlakuan Peraturan Perundang-undangan.
c. Jenis Dan Hirarki Peraturan Perundang-Undangan.
1) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
2) Peraturan Pemerintah;
3) Peraturan Presiden;
4) Peraturan Daerah; dan
5) Peraturan Perundang-Undangan lain.
2. Modul 2 - Proses Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
a. Lembaga Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan.
1) Peraturan Perundang-undangan;
2) Lembaga Pembentuk Undang-Undang;
3) Lembaga Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan diluar Undang-Undang;
4) Lembaga Pembentuk Peraturan lain diluar Hirarkhi Perundangundangan.
b. Proses Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
1) Pengertian Pembentukan Perundang-undangan;
2) Pengertian Legal Drafting dan Legal Drafter;
3) Program Legislasi Nasional dan Program Legislasi Daerah;
4) Tahap proses Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah;
5) Naskah Akademis.
3. Modul 3 - Prosedur Penyusunan dan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
a. Prosedur Penyusunan ProgramLegislasi Nasional.
1) Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas);
2) Tata Cara Penyusunan Prolegnas;
3) Pengelolaan Prolegnas; dan
4) Pembiayaan Prolegnas.
b. Prosedur Penyusunan Rancangan Undang-Undang.
1) Umum;
2) Penyusunan Rancangan Undang-Undang berdasarkan Prolegnas;
3) Penyusunan Rancangan Undang-Undang diluar Prolegnas; dan
4) Harmonisasi.
c. Prosedur Pembentukan Peraturan PUU.
1) Penyampaian Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat;
2) Rancangan Undang-Undang yang disusun Dewan Perwakilan Rakyat (inisiatif);
3) Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; dan
4) Partisipasi Masyarakat.
4. Modul 4 - Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan
a. Prinsip Dasar Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan:
1) Indonesia sebagai negara Hukum;
2) Pemegang Peran dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
3) Ciri-ciri Peraturan Perundang-undangan;
4) Dimensi pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
5) Prinsip Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
b. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
1) Asas Formil;
2) Asas Materiil;
3) Prinsip Ketaatan Hirarki Peraturan Perundang-undangan.
c. Unsur Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan;
1) Teknik Peraturan Perundang-undangan;
2) Pedoman Penyusunan Teknik Peraturan Perundang-undangan;
3) Perumusan dan Perencanaan Penyusunan Peraturan Perundangundangan;
4) Pengaturan/penelitian ulang kandungan norma/materi muatan;
5) Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan.
d. Materi Muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
1) Materi Muatan PUU;
2) Arah Pembahasan Materi Muatan;
3) Materi Muatan Undang-Undang;
4) Materi Muatan Peraturan Daerah.
e. Sistematika Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
1) Kerangka Peraturan Perundang-undangan;
2) Hal-Hal Khusus yang ada di dalam Peraturan Perundang-undangan;
3) Bentuk Rancangan Peraturan Perundang-undangan (Raperda).
5. Modul 5 - Bahasa Perundang-Undangan
a. Ragam Bahasa Perundang-Undangan.
1) Tiga Kebenaran Dasar;
2) Rasa Bahasa Perundang-Undangan;
3) Teknik Pengacuan, Tata Bahasa dan Tabulasi;
4) Pilihan Kata/Istilah;
5) Kegiatan Berkomposisi.
b. Mencermati Bahasa Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
1) Pengertian;
2) Syarat Bahasa Perundang-Undangan.
Modul 1
Negara Kesatuan Republik Indonesia Sebagai Negara Hukum
KONSEP NEGARA HUKUM
1. Sejarah Negara Hukum
Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan sejarah manusia, oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, pada dataran implementasi ternyata memiliki karakteristik beragam.
Pemikiran-pemikiran tentang konsep Negara Hukum sebelum konsep Negara Hukum berkembang seperti sekarang ini, diantaranya dikemukakan oleh beberapa ahli berikut ini:
a. Plato mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai cikalbakal pemikiran tentang Negara hukum. Dalam nomoi Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik.
b. Aristoteles mengemukakan ide Negara hukum yang dikaitkannya dengan arti Negara yang dalam perumusannya masih terkait kepada “polis”. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam Negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum. Manusia perlu dididik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang akhirnya akan menjelmakan manusia yang bersifat adil. Apabila keadaan semacam itu telah terwujud, maka terciptalah suatu negara hukum”, karena tujuan Negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas keadilan.
c. Machiavelli, seorang sejarawan dan ahli Negara telah menulis bukunya yang terkenal ”II Prinsipe (The Prince)” , mengemukakan dalam usaha untuk mewujudkan supaya suatu Negara menjadi suatu Negara nasional raja harus merasa dirinya tidak terikat oleh norma-norma agama atau pun norma-norma akhlak. Raja dianjurkan supaya jangan berjuang dengan mentaati hukum; raja harus menggunakan kekuasaan dan kekerasan seperti halnya juga binatang.
d. Jean Bodin juga menganjurkan absolutisme raja. Beliau berpendapat bahwa dasar pemerintah absolut terletak dalam kedaulatan yaitu kekuasaan raja yang superior.
e. Thomas Hobbes dalam teorinya yaitu teori Hobbes, perjanjian masyarakat yang tidak dipakai untuk membangun masyarakat (civitas) melainkan untuk membentuk kekuasaan yang disebabka kepada raja. Jadi raja bukan menerima kekuasan dari masyarakat melainkan ia memperoleh wewenang dan kuasanya kepada raja, maka kekuasaan raja itu mutlak.
Perlawanan terhadap kekuasaan yang mutlak dari raja secara konkret dilaksanakan dengan memperjuangkan sistem konstitusional, yaitu system pemerintahan yang berdasarkan konstitusi. Pemerintahan tidak boleh dilakukan menurut kehendak raja saja, melainkan harus didasarkan pada hukum konstitusi. Perjuangan konstitusional yang membatasi kekuasaan raja banyak dipengaruhi oleh berbagai perkembangan, diantaranya:
a. Reformasi
b. Renaissance
c. Hukum Kodrat
d. Timbulnya kaum bourgeoisi beserta aliran Pencerahan Akal (Aufklarung).
Seiring dengan berkembang jaman dan tuntutan masayarakat pada waktu, lahir pula gagasan atau pemikiran untuk melindungi hak-hak asasi manusia yang dipelopori oleh pemikir-pemikir Inggris dan Prancis yang sangat mempengaruhi tumbangnya absolutisme dan lahirnya Negara Hukum.
2. Unsur-unsur Negara Hukum
Setelah mengalami beberapa pengembangan pemikiran konsep negara hokum kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum di antaranya:
a. Sistem pemerintah negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
b. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau Peraturan Perundang-Undangan;
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
d. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
e. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benarbenar tidak memihak dan tidak berada di bawah pangaruh eksekutif;
f. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;
g. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
3. Negara Indonesia sebagai Negara Hukum
Negara Indonesia sebagai negara hukum dapat dilihat pada:
a. Bab I Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Indonesia adalah Negara Hukum;
b. Pembukaan dicantumkan kata-kata: Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia;
c. Bab X Pasal 27 ayat (1) disebutkan segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan itu dengan dengan tidak ada kecualinya;
d. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dihapus disebutkan dalam Sistem Pemerintahan Negara, yang maknanya tetap bisa dipakai, yaitu Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat);
e. Sumpah/janji Presiden/Wakil Presiden ada kata-kata ”memegang teguh Undang-Undang Dasar dan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”;
f. Bab XA Hak Asasi Manusia Pasal 28i ayat (5), disebutkan bahwa ”Untuk penegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam Peraturan Perundang-Undangan;
g. Sistem hukum yang bersifat nasional;
h. Hukum dasar yang tertulis (konstitusi), hukum dasar tak tertulis (konvensi);
i. Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan;
j. Adanya peradilan bebas.

LANDASAN PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANGAN

1. Prinsip Peraturan Perundang-Undangan
a. Dasar Peraturan Perundang-Undangan selalu Peraturan Perundang-Undangan.
b. Hanya Peraturan Perundang-Undangan tertentu saja yang dapat dijadikan
Landasan Yuridis.
c. Peraturan Perundang-Undangan yang masih berlaku hanya dapat dihapus,
dicabut, atau diubah oleh Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat atau
yang lebih tinggi.
d. Peraturan Perundang-Undangan baru mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan Lama.
e. Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah.
f. Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat umum.
g. Setiap Jenis Peraturan Perundang-Undangan materi muatannya berbeda.

2. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
a. Asas Formil
Asas formil dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik yaitu meliputi:
1) Kejelasan tujuan;
2) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
3) Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
4) Dapat dilaksanakan;
5) Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6) Kejelasan rumusan;
7) Keterbukaan
b. Asas Materiil
Materi Peraturan Perundang-Undangan mengandung asas:
1) Pengayoman;
2) Kemanusiaan;
3) Kebangsaan;
4) Kekeluargaan;
5) Kenusantaraan;
6) Kebhinnekatunggalikaan;
7) Keadilan yang merata;
8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
9) Ketertiban dan kepastian hukum;
10) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

3. Asas Pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan
Ada 3 (tiga) asas pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan yakni asas yuridis, asas filosofis, asas sosiologis. Teknik penyusunan Peraturan Perundang-Undangan merupakan hal lain yang tidak mempengaruhi keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan, namun menyangkut baik atau tidaknya rumusan suatu Peraturan Perundang-Undangan.
JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan TAP MPR tersebut, jenis
Peraturan Perundang-Undangan adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia;
3. Undang-undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.
Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
1. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur;
2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
3. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dengan itu, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
4. Selain Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, dan keberadaanya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur;
Penyebutan jenis Peraturan Perundang-undangan di atas sekaligus merupakan hirarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, suatu Peraturan Perundang-undangan selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya sampai pada Peraturan Perundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya. Konsekuensinya, setiap Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut.
A. Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. Berdasarkan Ketetapan MPR yang pernah ada yaitu Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dan Tap MPRS No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 pada posisi yang paling tinggi, hal ini disebabkan karena Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan Negara.
Hal yang sama juga diterapkan didalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana menempatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan jenis Peraturan Perundang-undangan yang tertinggi. Dengan demikian, materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak bolehbertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertulis bagi bangsa Indonesia.
B. Undang-Undang
Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 dan TAP MPR. Yang berwenang membuat Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden. Ada beberapa kriteria agar suatu masalah diatur dengan Undang-Undang, antara lain sebagai berikut :
1. Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang dibentuk atas perintah Ketetapan MPR;
3. Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang terdahulu;
4. Undang-Undang dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah Undang-Undang yang sudah ada;
5. Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan hak asasi manusia;
6. Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan orang banyak.
C. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Jenis Peraturan Perundang-undangan ini (setara Undang-Undang) merupakan kewenangan Presiden karena pembentukannya tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, meskipun pada akhirnya harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan ditetapkan menjadi Undang-Undang. Kewenangan Presiden ini dilakukan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan:
1. Perpu harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut;
2. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan;
3. Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, Perpu tersebut harus dicabut.
Dengan demikian, Perpu hanya dikeluarkan "dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa". Dalam praktik "hal ikhwal kegentingan yang memaksa" diartikan secara luas, tidak hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman, tetapi juga kebutuhan atau kepentingan yang dipandang mendesak. Yang berwenang menentukan apakah suatu keadaan dapat dikategorikan sebagai "kegentingan yang memaksa" adalah Presiden. Di samping itu, Perpu berlaku untuk jangka waktu terbatas, yaitu sampai dengan masa siding Dewan Perwakilan Rakyat berikutnya. Terhadap Perpu yang diajukan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat juga hanya dapat menyetujui atau menolak saja. Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa, misalnya; menyetujui Perpu tersebut dengan melakukan perubahan.
D. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah baru dapat dibentuk apabila sudah ada Undang-Undangnya. Ada beberapa karakteristik Peraturan Pemerintah, yaitu:
1. Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa ada Undang-Undang induknya.
2. Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana, jika Undang-Undang induknya tidak mencantumkan sanksi pidana.
3. Peraturan Pemerintah tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan Undang-Undang induknya.
4. Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meskipun Undang-Undang yang bersangkutan tidak menyebutkan secara tegas, asal Peraturan Pemerintah tersebut untuk melaksanakan Undang-Undang.
5. Tidak ada Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 atau TAP MPR.
E. Peraturan Presiden
Peraturan Presiden merupakan Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945. Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Presiden disebutnya adalah Keputusan Presiden, karena pada waktu itu Keputusan Presiden mempunyai dua sifat, yaitu Keputusan Presiden yang bersifat sebagai pengaturan (regelling) dan Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan (beschikking).
Namun setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan disebutkan Keputusan Presiden, sedangkan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur disebut Peraturan Presiden.
F. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Yang berwenang membuat Peraturan Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah. Peraturan Daerah dibedakan antara Peraturan Daerah Provinsi, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dan Gubernur serta Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota.
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Peraturan Daerah dapat merupakan pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, maka materi (substansi) Peraturan Daerah seyogyanya tidak bertentangan dengan dan berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat).
Sedangkan untuk Peraturan Daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi, maka substansi Peraturan Daerah tersebut tidak harus berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat), tetapi harus menyesuaikan pada kondisi otonomi (kemampuan) daerah masing-masing.
Peraturan Daerah adalah sebangun dengan Undang-Undang, karena itu tata cara pembentukannya pun identik seperti tata cara pembentukan Undang-Undang dengan penyesuaian-penyesuaian. Salah satu perbedaan yang terdapat dalam Peraturan Daerah adalah adanya prosedur atau mekanisme pengesahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi untuk materi (substansi) Peraturan Daerah tertentu, misalnya materi mengenai retribusi.
G. Peraturan Perundang-Undangan Lain
Jenis Peraturan Perundang-Undangan lain sebagaimana yang disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pasal 7 ayat (4) antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Lebih lanjut disebutkan bahwa “hirarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar