Tentang Medika

Foto saya
Bandung, jawa barat, Indonesia
Mencoba memenuhi keingitahuan terhadap kegiatan Pemerintahan, dengan membahas hal-hal umum sampai yang mendetail mengenai kultur,struktur serta prosedur dalam proses penyelenggaraannya

Selasa, 15 Maret 2011

KOALISI KABINET

JAKARTA, KOMPAS.com — Polemik evaluasi koalisi dan kabinet yang panjang begitu melelahkan publik. Sebagian besar pihak menilai polemik ini muncul karena buruknya komunikasi politik elite Demokrat dengan Ketua Dewan Pembinanya, Susilo Bambang Yudhoyono. Keributan yang dimunculkan elite Demokrat kerap dibantah oleh sejumlah tindakan SBY terhadap partai anggota koalisinya.
Namun, pengamat politik Yudi Latief menilai justru polemik ini muncul dari skenario yang dimunculkan sendiri oleh Presiden SBY, baik sebagai pucuk tertinggi partai maupun pucuk tertinggi pemerintahan. Skenario ini dimunculkan sebagai taktik untuk mengundang publik dan pelaku politik lainnya untuk mengevaluasi sendiri anggota partai koalisi yang disebut "nakal" oleh Demokrat pascapembahasan usulan hak angket perpajakan di parlemen.
"Saya kira taktik. Tak mungkin orang-orang Demokrat itu melakukan public statement kalau itu tanpa persetujuan atau tanpa koridor yang digariskan oleh partai. Pasti semua pernyataan itu memenuhi satu skenario yang disetujui atau dibiarkan oleh petinggi partainya. Saya kira itu manuver-manuver yang dikembangkan untuk menguji air, menguji reaksi. Kalau yang disetel adalah orang-orang Demokrat secara tidak langsung atau Mensesneg, Presiden kan punya banyak alasan untuk menghindar kalau pernyataan-pernyataan dari orang Demokrat itu menuai reaksi negatif," ungkapnya di Gedung DPR RI, Kamis (10/3/2011).
Yudi menganalogikan kisruh koalisi dan wacana reshuffle sebagai sinetron picisan dan, menurutnya, setiap sinetron memiliki sutradara yang bertugas memperpanjang jam tayangnya. Yudi menegaskan, sutradara dalam kisruh kali ini adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri. Karena tujuan dari sutradara hanyalah untuk memperpanjang jam tayang, maka logika tak lagi menjadi penting dan bisa dikesampingkan. Maka, muncullah kebingungan antara sikap partai dan Presiden SBY sendiri, lalu muncul juga persepsi tak sejalannya kata dan perbuatan. Diminta segera merombak kabinet, malah katanya tengah melakukan evaluasi. Menurut Yudi, ini hanya taktik Presiden SBY untuk memperpanjang waktu mencari cara yang lebih aman untuk melakukan reshuffle.
"Dalam isu koalisi dan reshuffle, motifnya begitu cetek, ingin mengalihkan ke isu lain dan ternyata tak jadi lagi, sedang evaluasi katanya, kalau begitu, berarti sedang mencari cara yang lebih aman. Bukan dievaluasi berdasarkan kinerja, tapi lagi cari cara yang paling aman," tambahnya.
Tak punya pilihan, Presiden SBY sebagai sutradara, lanjut Yudi, memiliki wewenang untuk mengubah susunan pemainnya. Sebelumnya, Golkar dan PKS rencananya akan didepak demi memperpanjang cerita sinetron dan menggantinya dengan aktor-aktris baru PDI-P dan Gerindra. Sayangnya, niat itu terganjal karena kepastian sikap Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri yang kali ini sikapnya masih mudah ditebak. PDI-P menolak masuk kabinet dan koalisi serta tetap mempertahankan Golkar di dalam koalisi.
"Dan ini membuat Golkar selalu kembali mengambil keuntungan dari kepastian (sikap) Megawati. Ternyata secara intitusional PDI-P tak bisa ditarik, jadi menyingkirkan Golkar dari koalisi artinya memperpendek jam tayang. Pernyataan bahwa SBY menyerah kepada Golkar tak benar. Ini kan cuma karena Presiden tak punya pilihan lain," tambahnya.
Yudi sendiri mengaku sudah bosan dengan pembicaraan evaluasi koalisi dan rencana perombakan kabinet yang tak jelas juntrungannya hingga sekarang. Yudi menyayangkan pula jika hal ini terus dibesar-besarkan di berbagai media massa. Padahal, diulangnya kembali, tak ada intensinya.
"Semuanya pepesan kosong, kalau katanya dalam rangka memperbaiki kinerja, itu omong kosong. Ini hanya mengukuhkan, logika itu diabaikan dan negara itu tak ada kepastian, hanya beringsut dari isu satu ke isu lain, rakyat menjadi korban. Kalau soal kinerja selesai, tapi ujungnya adalah bagaimana bertahan terus sampai 2014."
"Dengan sikap buruk Presiden seperti ini membuat negara tertawan pada perbuatan-perbuatan partikular. Contohnya, dalam konflik antar-agama, Presiden tak tegas, ancaman konflik kini berada di titik terbawah. Akan menimbulkan keliaran-keliaran baru karena ketegasan pemerintah tak ada," tandasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar